Rendahnya Perspektif
Gender Menangani Kekerasan Seksual Opini Tempo : Redaktur Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 30
Oktober 2022
MENTERI Koperasi dan Usaha
Kecil dan Menengah Teten Masduki harus mengevaluasi seluruh jajaran aparatur
sipil negara di lembaganya dan memastikan mereka memahami prinsip keadilan
gender dan hak asasi manusia. Tanpa perubahan perspektif yang mendasar,
langkah Teten menggandeng aktivis perempuan untuk membentuk tim independen
penanganan kasus kekerasan seksual bisa jadi hanya pencitraan demi meredam
kemarahan khalayak ramai. Protes publik merebak
setelah pekan lalu media daring Konde.co mengungkapkan taktik penyelesaian
kasus kekerasan seksual di Kementerian Koperasi dan UMKM. Kasus ini bermula
pada Desember 2019, ketika empat pegawai Kementerian memerkosa seorang
karyawan kontrak pada saat mengikuti kegiatan resmi di sebuah hotel di Bogor,
Jawa Barat. Korban mengadukan kasus ini ke polisi, lalu keempat pelaku sempat
ditahan. Sayangnya, penanganan
kasus ini berbalik arah setelah para pelaku bersiasat mengelabui keluarga
korban. Mereka membujuk korban menikah dengan salah satu pemerkosa, lalu
menggunakan pernikahan itu sebagai dalih untuk menghentikan penyidikan.
Polisi dan pihak Kementerian Koperasi disebut-sebut merestui “solusi” ini. Belakangan, penyelesaian
yang diklaim sebagai model restorative justice ini justru membuat korban
terpuruk. Dia dipindahkan dari tempat kerjanya semula di Kementerian Koperasi
dan tak mendapat kompensasi berupa nafkah rutin yang dijanjikan dalam
pernikahan rekayasa dengan pemerkosanya. Penjelasan Kementerian
Koperasi bahwa keluarga korban turut menyetujui pernikahan, bahkan ikut
memohon keringanan hukuman untuk pemerkosa, menafikan fakta bahwa ada relasi
kuasa yang timpang antara petinggi pemerintah, aparatur penegak hukum, dan
keluarga korban. Ditekan dari segala arah, korban dibuat tak punya pilihan
selain menyerah. Bukan hanya itu. Setelah
polisi menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan untuk kasus
pemerkosaan ini, salah satu pelaku malah mendapat rekomendasi Kementerian
untuk memperoleh beasiswa pendidikan S-2. Para pelaku lain juga melenggang.
Surat pemberian sanksi dari Kementerian berupa penurunan golongan buat para
pelaku baru terbit setelah kasus ini ramai diberitakan media. Sanksi ringan semacam itu
untuk kasus kekerasan seksual seberat ini mencerminkan kuatnya cara berpikir
misoginis di kalangan pegawai Kementerian Koperasi. Tak hanya tidak berpihak
kepada korban, kebijakan itu benar-benar melecehkan hak asasi dan martabat
korban. Publik tak akan terkejut jika banyak kasus kekerasan seksual di
lembaga-lembaga pemerintah diselesaikan dengan cara semacam itu. Apalagi cara keliru
penyelesaian kasus kekerasan seksual semacam ini bukanlah yang pertama. Pada
2021, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan mencatat ada
sedikitnya 393 dari 1.731 kasus kekerasan seksual yang diselesaikan di luar
jalur hukum. Tampaknya Surat Edaran
Kepala Kepolisian RI Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif
dalam Perkara Pidana baru dipahami di permukaan. Alih-alih berpegang pada
prinsip dasar keadilan gender dengan mengutamakan pemulihan korban, secara
sepihak polisi bisa seenaknya menghentikan penyidikan dengan alasan sudah ada
penyelesaian damai. Tapi ironi terbesar kasus
ini adalah fakta bahwa baru enam bulan lalu Dewan Perwakilan Rakyat
mengesahkan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Tak
hanya menegaskan definisi kekerasan seksual dan sanksinya, undang-undang itu
juga mengatur penyediaan akses perlindungan dan pemulihan kepada korban. Yang
luput diatur adalah perubahan cara berpikir semua aparatur sipil negara agar
berorientasi pada keadilan gender. Tanpa itu, gunung es kekerasan seksual
akan terus bertambah di negeri ini. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/opini/167283/rendahnya-perspektif-gender-menangani-kekerasan-seksual |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar