Praktik Greenwashing
Anak Usaha Michelin di Hutan Karet Jambi Opini Tempo : Redaktur Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 23
Oktober 2022
PRAKTIK greenwashing atau
“pencucian hijau” kurang menjadi perhatian pemerintah Indonesia. Padahal, di
tengah permintaan yang naik akan produk yang bebas dosa deforestasi atau
perusakan alam, label hijau menjadi kebutuhan industri besar. Itulah yang
terlihat di Jambi: perusahaan yang membabat hutan alam justru mendapatkan
obligasi hijau. Syahdan, PT Royal Lestari
Utama memiliki konsesi hutan tanaman industri seluas 61.495 hektare lewat
anak usahanya, PT Lestari Asri Jaya, di sisi barat Taman Nasional Bukit Tiga
Puluh. Mereka menanam karet untuk memasok kebutuhan pabrik ban asal Prancis,
Michelin. Produsen ban terbesar dunia itu menguasai 49 persen saham PT Royal.
Saham mayoritasnya milik Barito Pacific Group, konglomerasi taipan Prajogo
Pangestu. Berdalih reforestasi hutan
di Tebo, Jambi, itu, PT Royal mendapatkan obligasi hijau (green bond) US$ 95
juta dari Fasilitas Keuangan Lanskap Tropis—kolaborasi Program Lingkungan
Hidup Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) dengan bank BNP Paribas—pada 2018.
Dalih reforestasi ini menggelikan karena karet adalah tanaman monokultur yang
justru menghilangkan lanskap asal berupa hutan alam. Penanaman karet oleh PT
Royal seharusnya masuk kategori deforestasi, alih-alih reforestasi. Klaim
keliru itulah yang membuat WWF, lembaga lingkungan internasional,
mengundurkan diri dari inisiatif ganjil ini. Lembaga audit lingkungan juga
mengkonfirmasi bahwa PT Lestari Asri menghilangkan 3.500 hektare hutan selama
2012-2014. Maka PBB seharusnya tidak
memberikan pendanaan hijau untuk perusahaan yang justru membabat hutan.
Apalagi operasi perusahaan tersebut juga berkonflik dengan masyarakat di
sekitar hutan. Operasi perusahaan bahkan menggusur Orang Rimba, masyarakat
adat yang menghuni lanskap hutan konsesi. Belum lagi soal kehilangan
keanekaragaman hayati. Lokasi perkebunan karet merupakan kawasan penyangga
taman nasional, tempat melintas pelbagai satwa liar seperti gajah Sumatera.
Perubahan hutan menjadi kebun monokultur seharusnya menjadi catatan khusus
PBB dan bank Paribas. Jangankan memberikan obligasi hijau yang bunganya lebih
rendah, menyediakan utang komersial untuk operasi perusahaan yang membabat
hutan saja terlarang. Masalahnya, hukum tentang
greenwashing tak pernah jelas. Larangannya hanya ada dalam konsep pembiayaan
berkelanjutan atau ESG (lingkungan, sosial, dan tata kelola). Meski larangan
greenwashing tersirat dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup, aturan teknis dan hukumannya
belum ada. Sejatinya greenwashing
jauh lebih berbahaya dibanding pembalakan liar. Karena terbungkus klaim
penyelamatan lingkungan, seperti dalam kasus kebun karet PT Lestari Asri di
Jambi itu, greenwashing justru berbuah pembiayaan besar. Michelin bahkan
mungkin mendapat keuntungan berlipat karena bisa memasarkan bannya dengan
label hijau, sehingga harganya lebih mahal, sekaligus meningkatkan nilai
pasar dan reputasi. Jika Indonesia serius
hendak mencapai target net sink—emisi negatif di sektor kehutanan dan
penggunaan lahan lain—pada 2030, praktik greenwashing harus diberantas. Tanpa
aturan yang jelas dan tegas, deforestasi yang memicu krisis iklim akan terus
terjadi. Celakanya, penggundulan hutan itu kini bisa berlabel hijau. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar