Perkebunan Tebu untuk
Swasembada Gula Mengancam Hutan Khairul Anam : Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 23
Oktober 2022
BERPULUH tahun mengelola
hasil hutan, Perusahaan Umum Kehutanan Negara atau Perum Perhutani baru
mencicipi manisnya bisnis tebu. Dari sisi waktu, lama musim tanam hingga
panen tebu cuma sembilan bulan hingga setahun, jauh lebih cepat daripada kayu
jati yang memerlukan waktu 40 tahun untuk bisa dipanen. Karena itu pula
Perhutani terlibat dalam program swasembada gula dengan menyediakan lahan
hutan untuk perkebunan tebu. "Gara-gara tebu,
Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Jombang langsung jadi KPH plus. Sebelumnya
keuangan mereka minus terus," kata Direktur Utama Perhutani Wahyu
Kuncoro kepada Tempo, Jumat, 21 Oktober lalu. Di Jombang, Perhutani
membuka kebun tebu seluas 386 hektare di hutan produksi yang sudah tak
produktif sejak 2021. Perhutani juga menanam tebu di KPH Ngawi, Jawa Timur.
Di dua kawasan itu Perhutani kini mengelola 613 hektare kebun tebu sejak
tahun lalu. Agak ganjil memang,
perusahaan umum yang dipercaya mengelola hutan malah menanam tebu yang masuk
kategori tanaman perkebunan. Tapi, menurut Wahyu, itulah satu-satunya cara
untuk membuka celah pendapatan bagi Perhutani. Selama ini Perhutani hanya
mengandalkan hasil hutan. Dari pendapatan Perhutani yang mencapai Rp 4,7
triliun pada 2021, sebanyak 80 persen berasal dari kayu dan getah pinus.
Rinciannya: Rp 2 triliun dari kayu jati dan Rp 1,9 triliun dari getah pinus.
Dua produk ini adalah komoditas dengan masa tanam panjang, yang membutuhkan
waktu puluhan tahun untuk menyumbang pendapatan. "Saya usulkan membuat
bisnis jangka pendek dan menengah buat Perhutani," ucap Wahyu, yang
menjabat deputi Kementerian Badan Usaha Milik Negara pada 2015-2019. Jadilah tebu masuk lingkup
bisnis Perhutani dengan nama program Wanatani, mengacu pada tanaman pangan
yang disemai di hutan. Pada 2020, perusahaan yang mengelola 2,4 juta hektare
hutan di Jawa itu mencanangkan target ambisius, yaitu membuka 18 ribu hektare
kebun tebu di hutan nonproduktif sampai 2024. "Ngawi dan Jombang jadi
lokasi proyek percontohan," ujar Wahyu. "Tahun ini saya siapkan
untuk buka lagi 1.700 hektare kebun tebu." Wahyu yakin akan potensi
tebu karena tanaman itu bukan barang baru di Perhutani. Ribuan hektare lahan
Perhutani di Jawa Timur telah disulap oleh pesanggem atau petani penggarap
lahan hutan menjadi kebun tebu secara diam-diam. Pemerintah pun telah
memberikan izin 24.589 hektare lahan Perhutani diubah menjadi kebun tebu
kepada sejumlah perusahaan. Alasan pemerintah, lahan Perhutani layak
dimanfaatkan untuk mengejar target ketahanan pangan. Salah satu caranya
adalah mengolah tebu sebagai bahan baku gula. Kini, ketika pemerintah menyiapkan
peraturan presiden tentang percepatan program swasembada gula, lahan
Perhutani menjadi sasaran. Dalam rancangan aturan itu pemerintah menargetkan
pembukaan kebun tebu baru mencapai 700 ribu hektare. Dan Perhutani punya 62
ribu hektare yang akan ditanami tebu. ••• AWAN kelabu menggelayut di
langit Desa Rejuno, Kecamatan Karangjati, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, Jumat,
21 Oktober lalu. Seorang pria mengayuh sepeda dan memboncengkan seikat besar
daun jagung untuk pakan ternak. Daun jagung itu diambil dari lahan di hutan
wilayah Resort Pemangkuan Hutan Teguhan Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan
Rejuno. Daerah itu menjadi bagian
dari Kesatuan Pemangkuan Hutan Saradan seluas 37.936,6 hektare. Sebanyak 6
persen di antaranya berupa hutan lindung, sisanya hutan produksi. Hutan itu
masuk empat wilayah administratif di Jawa Timur, yaitu Madiun (66 persen),
Ngawi (14 persen), Bojonegoro (19 persen) dan Nganjuk (1 persen). Di hutan itu banyak warga
yang menanam tanaman selain kayu. Mereka bagian dari Lembaga Masyarakat Desa
Hutan (LMDH) Rukun Makmur Desa Rejuno. Para pesanggem yang tergabung dalam
LMDH menanam jagung dan ketela di lahan yang dikelola Perum Perhutani itu
dengan skema pinjam garap. Bertahun-tahun pekerjaan
itu dilakoni para pesanggem di lahan yang sama. Namun sejak 2017 sebagian
dari mereka harus hengkang. Lahan yang sebelumnya mereka garap harus
berpindah tangan ke PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XI, badan usaha milik
negara sektor perkebunan. Pada tahun itu, PTPN XI
mulai membuka kebun tebu baru. Hasil panennya digiling oleh beberapa pabrik
gula milik PTPN, seperti Pagotan (Kabupaten Madiun), Rejosari (Magetan),
Purwodadi (Magetan), dan Soedono (Ngawi). “Perhutani sebagai penyedia lahan
dan PTPN sebagai penggarap,” kata Ketua LMDH Rukun Makmur Desa Rejuno, Senung
Budiarto. Senung tidak merinci
jumlah pesanggem yang terpaksa berpindah lahan gara-gara kebun tebu baru PTPN
itu. Namun dia ingat, pada awal kerja sama Perum Perhutani dengan PTPN,
sempat timbul kontroversi. Sejumlah petani di hutan keberatan pindah karena
sudah mengolah lahan itu bertahun-tahun. Kontroversi meredup
setelah para pesanggem dilibatkan dalam pengelolaan kebun tebu. Sebanyak 200
dari 800 pesanggem dipekerjakan PTPN dalam pembibitan, penanaman,
pemeliharaan, dan pengamanan kebun. Senung menghitung luas
lahan hutan untuk budi daya tebu di wilayah Desa Rejuno sekitar 420 hektare.
Angka itu masih di bawah target sejak program tersebut bergulir lima tahun
lalu, yakni 480 hektare. PTPN, Senung melanjutkan, hanya menanam tebu di
lahan datar, menghindari kontur yang berlekuk-lekuk dan curam. Direktur Utama Perhutani
Wahyu Kuncoro mengatakan pembukaan kebun tebu baru oleh PTPN XI di lahan
Perhutani itu adalah penerapan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Nomor P.81/MenLHK/Setjen/Kum.1/10/2016 tentang Kerjasama Penggunaan
dan Pemanfaatan Kawasan Hutan untuk Mendukung Ketahanan Pangan. Lewat peraturan tersebut,
pemerintah memberikan hak kepada siapa pun yang memohon izin menggunakan
hutan produksi, termasuk area Perhutani, untuk kegiatan usaha ketahanan
pangan. Peraturan ini menjadi salah satu regulasi yang mendasari pembukaan
food estate di sejumlah daerah. Hingga 2022, Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah memberikan izin pengelolaan hutan
produksi seluas 24.589 hektare untuk kebun tebu baru. Namun sampai September
lalu baru 2.634 hektare alias 10,7 persen yang telah ditanami. “Mereka baru
tahu konversi hutan jadi tebu itu susahnya setengah mati,” ucap Wahyu. “Saya
sudah diminta mengevaluasi izin yang sudah keluar tapi tak ditanami sama
sekali. Selain mengizinkan PTPN
XI, Perhutani memberi izin kepada PTPN X, PTPN IX, serta sejumlah pabrik gula
swasta, yaitu PT Kebun Tebu Mas, PT Wahyu Daya Mandiri, dan PT Usaha Ridha
Semesta. Mereka mendapat izin pengelolaan lahan 10 tahun. PT Wahyu Daya
Mandiri pernah tersangkut korupsi pengadaan mesin penggilingan tebu di Pabrik
Gula Djatiroto PTPN XI periode 2015-2016 yang merugikan negara hingga Rp 15
miliar. Adapun PT Usaha Ridha Semesta adalah perusahaan dengan lahan berizin
terluas, yaitu 11 ribu hektare. ••• PEMBUKAAN lahan kebun tebu
menjadi tantangan program swasembada gula. Bertahun-tahun pemerintah
memberikan jatah impor gula kepada sejumlah perusahaan dengan harapan mereka
menambah kebun tebu agar pasokan bahan bakunya bisa dipenuhi dari pasar dalam
negeri. Namun harapan itu tak terpenuhi karena berbagai masalah, seperti
perusahaan yang membuka kebun tebu jauh dari pabrik gula. Salah satunya
dilakukan PT Gendhis Multi Manis yang membangun pabrik gula di Blora, Jawa
Tengah, tapi membuka kebun tebu di Kalimantan. Pembukaan hutan untuk
kebun tebu juga tak lepas dari persoalan. Di Bojonegoro, Jawa Timur, pada
Juni lalu ratusan pesanggem berunjuk rasa menolak konversi kebun tebu oleh
Perhutani. Sebab, konversi kebun tebu akan menghilangkan penghasilan mereka
yang selama ini menggarap tanaman lain di lahan Perhutani. Sampai saat ini pemerintah
tidak mencatatkan penambahan luas kebun tebu signifikan. Yang terjadi malah
penyusutan kebun, dari 470 ribu hektare pada 2014 menjadi 443 ribu hektare
pada 2021. Karena itu, dalam rancangan peraturan presiden tentang percepatan
swasembada gula nasional, pemerintah mencanangkan target membuka lahan tebu
700 ribu hektare agar swasembada gula konsumsi tercapai pada 2030. Saat ini
Indonesia mengimpor gula konsumsi sebanyak 1 juta ton per tahun dan gula
rafinasi 3 juta ton per tahun untuk industri.
Target 700 ribu hektare
itu antara lain dipenuhi dari perhutanan sosial yang bakal dikelola petani
hingga badan usaha milik negara. BUMN diperintahkan membuka 70 persen dari
kebutuhan atau 490 ribu hektare. Sebanyak 350 ribu hektare dibebankan ke
PTPN, sisanya digarap PT Rajawali Nusantara Indonesia dan Perhutani. Salah satu perusahaan
pelat merah yang terlibat dalam program ini adalah Sugar Co, holding yang
membawahkan sejumlah pabrik gula. Direktur Utama Sugar Co Aris Toharisman
menghitung kebutuhan lahan baru itu akan dipenuhi dari penggunaan lahan
Perhutani dan konversi kebun PTPN yang sudah tidak produktif. “Kami konversi
dari tanaman karet dan kakao yang tidak produktif jadi tebu,” ujarnya pada
Rabu, 19 Oktober lalu. PTPN, Sugar Co, dan
Perhutani punya sejumlah skema untuk memperluas kebun tebu. Ada 62 ribu
hektare lahan Perhutani yang bisa diubah menjadi kebun tebu buat program
swasembada gula. Perhutani sudah mencanangkan target mengembangkan perkebunan
tebu secara mandiri sampai 18 ribu hektare pada 2024. Sisanya dikerjasamakan
dengan PTPN dan Sugar Co. Nilai investasinya diperkirakan sebesar Rp 40 juta
per hektare. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar