Menguji
Inklusivisme Agamawan R20 Imam Malik Riduan : Dosen
Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon; Kandidat Doktor pada School of
Social Sciences Western Syndney University, Australia |
KOMPAS, 30 Oktober 2022
Agama memiliki kapasitas untuk tampil sebagai salah
satu jalan keluar bagi persoalan dunia. Pesan itulah yang tampaknya ingin
disampaikan oleh forum agamawan R20 (Religion of Twenty) pada 2-3 November
2022 di Bali. Pemerintah Indonesia sebagai pemegang presidensi G20
memberikan dukungan penuh kepada inisiatif Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil
Staquf itu dengan menjadikan ajang R20 sebagai official engagement G20.
Dengan demikian, presidensi G20 telah memproklamasikan agama sebagai komponen
yang tidak bisa ditinggalkan dalam mendesain solusi persoalan global. Dengan
kata lain, beberapa saat lagi Indonesia akan menutup era peminggiran agama
dari ranah publik untuk kemudian berbalik mengampanyekannya sebagai bagian
dari solusi bagi tantangan global. Ketua panitia acara ini, Ahmad Suaedy, dalam tulisannya
di Kompas (22/10/2022), mengatakan, acara ini akan dihadiri oleh setidaknya
100 pemimpin agama dunia dan 200 tokoh agama dari Indonesia. Tokoh-tokoh
agama itu, menurut dia, datang dari berbagai latar belakang aliran dan sekte. Tidak seperti seminar dan konferensi serta
forum-forum lain, kata Ahmad Suaedy dalam artikelnya, forum ini memberikan
kesempatan kepada para pemimpin agama dan sekte itu untuk melakukan refleksi
tentang kekurangan dan kelebihan serta tradisi yang negatif ataupun yang
positif untuk kemudian mencari jawaban bersama atas apa yang bisa dilakukan
oleh agama-agama ini untuk memecahkan berbagai masalah kemanusiaan di dunia. Melalui tulisan pendek itu, panitia R20 memberikan
tiga sinyal penting agar cita-cita menjadikan agama sebagai solusi dapat
terwujud. Pertama, inklusivisme. Kedua, kesadaran akan adanya persoalan dalam
ekspresi keberagamaan. Ketiga, pentingnya menumbuhkan sikap-sikap reflektif
untuk menggali jawaban atas solusi persoalan global dari dalam entitas agama.
Untuk menjadikan tiga pesan tersebut sebuah gerakan internasional, terlebih
dahulu sikap meminggirkan agama dari ranah publik haruslah diakhiri. Agama sebagai masalah Agama yang diprediksi hanya akan mengisi ruang-ruang
pribadi pemeluknya, setidaknya sampai awal abad ke-20 ini, masih eksis
memberi pengaruh bagi kehidupan sosial. Para pemikir terkemuka, seperti
Durkheim, Marx, Weber, dan Freudm berpendapat bahwa pengaruh agama secara
bertahap akan memudar seiring dengan gelombang sekularisasi akibat masifnya
rasionalisasi, birokratisasi, dan urbanisasi. Usaha-usaha meminggirkan agama
telah banyak terjadi, konsensus mengenai terpinggirnya agama dari ruang
publik sampai saat ini tidak terbukti. Sayangnya, kini agama lebih dikenal sebagai entitas
yang menghambat laju modernisasi. Sikap konservatif kelompok-kelompok agama
dianggap sebagai tantangan bagi kemajuan dunia. Secara sangat mengejutkan
Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf dengan jujur mengakui hal tersebut.
Pengakuan itulah yang kiranya menjadi kata kunci yang dapat kita gunakan
untuk membedah logika R20. Untuk lebih jelasnya penulis, secara verbatim, akan
mengingatkan apa yang telah dikatakan oleh Ahmad Suaedy yang mengutip
statement Gus Yahya sebagai inisiator R20 dalam tulisannya di media ini. ”KH
Yahya Cholil Staquf melihat situasi dunia dan kemanusiaan kini mengharuskan
keterlibatan langsung agama … Ini bukan karena agama punya jawaban terhadap
isu-isu tersebut, melainkan justru ada masalah besar di dalam agama-agama itu
sendiri yang selama ini coba dihindari untuk dibicarakan dan dicari
pemecahannya.” Secara jujur, inisiator R20 insaf bahwa agama telah
menjadi bagian dari persoalan yang ingin dicarikan solusi. Mengenai posisi
agama atas persoalan global telah menjadi perdebatan yang panjang.
Juergensmeyer (2004) dalam Is Religion the Problem? menggambarkan terjadinya
perubahan imajinasi terhadap agama, dalam hal ini Islam, sejak tragedi 9/11. Bayangan tentang agama yang sederhana dan membawa
ketenangan telah digantikan oleh gambaran agama yang politis, bahkan dalam
hal-hal tertentu sangat dekat dengan kekerasan. Apakah kini topeng agama
telah terkuak dan yang tampak adalah wajah aslinya, atau sebenarnya agama
hanyalah korban? Demikian pertanyaan yang dilontarkan Director of Global and
International Studies at the University of California, Santa Barbara, itu.
Sayangnya, pertanyaan kritis itu sampai saat ini belum menemukan jawabannya. Senyatanya kita bisa beranjak meninggalkan
perdebatan mengenai posisi agama dan menjadikan kedua pertanyaan yang
dilontarkan oleh Juergensmeyer sebagai titik tolak untuk memberikan
kontribusi kepada kemajuan dunia. Gus Yahya sebagai pemimpin organisasi Islam
dengan pengikut terbanyak di dunia ini memilih berangkat dari fakta adanya
kelompok agama tertentu yang menggunakan idiom-idiom agama untuk menyulut api
perlawanan terhadap narasi pembangunan global. Sejatinya penulis tidak terlalu sepakat dengan titik
dari mana Gus Yahya bertolak. Namun, kesadaran untuk mengakui adanya
persoalan dan semangat untuk menjadi bagian dari solusi dari seorang tokoh
sebesar Gus Yahya harus diapresiasi. Gagasan ini tentu tidak lahir dari
pikiran politis semata tanpa didasari perenungan yang mendalam. Cara kaum beragama memecahkan masalah Agama saat ini lebih sering dianggap hanya sebagai
sumber legitimasi, baik oleh kelompok yang mendukung maupun menentang arus
global. Agama dalam sejarahnya telah secara unik memiliki fungsi ganda,
menjadi justifikasi bagi gerakan progresif, dan pada saat yang sama menjadi
sumber legitimasi bagi terjadinya kekacauan. Studi yang dilakukan oleh Omelicheva dari Departemen
Ilmu Politik Universitas Kansas berargumen bahwa sebagai sebuah sistem
kepercayaan, Islam (baca agama) memanifestasikan dirinya melalui
wacana-wacana, yang tidak hanya memberikan kejelasan pada praktik-praktik
keagamaan dan kepercayaan, tetapi juga berfungsi sebagai instrumen kontrol
dan regulasi sosial. Karena itu, tidak berlebihan jika ketua panitia R20
menyebut forum R20 ini sebagai jalur pacu (runway) untuk keberhasilan
presidensi G20 tahun 2022 di Indonesia. Agama sudah saatnya untuk tidak merasa puas hanya
dengan menjadi tukang stempel. Agama harus sudah mulai mencari jalan keluar
atas persoalan global dari khazanah yang ada dalam dirinya. Lalu bagaimana
cara komunitas beragama mencari solusi? Salah satu pembeda antara kaum beragama dan kelompok
lainnya dalam mencari solusi atas permasalahan mereka adalah pada pelibatan
Tuhan. Kelompok beragama selalu melibatkan Tuhan, dalam kadarnya
masing-masing, dalam setiap langkah yang mereka ambil. Penulis belum
menemukan hasil penelitian dalam konteks Indonesia mengenai hal ini. Laporan sebuah penelitian yang melibatkan 197 jemaah
gereja di Midwestern Amerika serikat memberikan clue kepada kita mengenai
pelibatan Tuhan dalam usaha seorang beragama. Peneliti, Keneth I dan tim,
memaparkan ada tiga model pelibatan Tuhan dalam kegiatan penganut agama saat
menyelesaikan masalahnya. Ketiganya secara berurutan adalah self directing,
deferring, dan collaborative. Kelompok pertama, self-directing, teridentifikasi
sebagai orang-orang yang menganggap Tuhan telah memberikan karunia berupa
kemampuan untuk menyelesaikan masalah dan kebebasan memilih solusi apa yang
seharusnya mereka ambil. Untuk itu, bagi seorang religius yang masuk kategori
ini, Tuhan tidak berperan secara langsung dalam proses pemecahan masalah
(problem solving). Orang dengan tipe kedua akan menunggu Tuhan
memberikan petunjuk sebelum mereka mengambil sikap untuk menyelesaikan
masalahnya. Mereka menganggap Tuhan adalah sumber solusi, karena itu menunggu
tanda-tanda dari Tuhan sebelum bereaksi atas apa pun adalah sikap paling
religius menurut mereka. Kemudian kelompok ketiga, collaborative, memilih
memosisikan Tuhan sebagai partner dalam hidup. Orang-orang yang masuk pada
kategori ini mengatakan, ”Tuhan selalu bersama kami dan memberikan kekuatan.” Penulis tidak berani menerka-nerka model manakah
yang akan dipakai pada perhelatan yang anti-mainstream itu. Bisa jadi R20
akan memunculkan kategori keempat yang belum pernah ada. Di luar semua
kategori itu, mengamati cara para pemuka agama menyelesaikan masalah tetaplah
sesuatu yang menarik. Apalagi, acara ini disediakan sebagai landasan pacu
untuk presidensi G20 yang motonya adalah ”Recover Together, Recover
Stronger”. Tidak ada kelompok yang tertinggal Terlepas di mana Tuhan diposisikan oleh agamawan R20
di Bali nanti, inklusivisme tetaplah harus diupayakan. Seperti yang juga
ditulis oleh Suaedy, inisiatif R20 tidak bisa dilepaskan dari pengalaman
Nahdlatul Ulama yang keluar dari kedua mainstream cara pandang relasi agama
dan negara. Menurut Suaedy, NU bukanlah organisasi masyarakat eksklusif yang
memaksakan doktrin agama, juga bukan ormas yang selalu bersepakat dengan
skenario sekularisasi. Klaim ini akan diuji dalam mekanisme kerja R20 dalam
proses mengambil keputusan. Disadari atau tidak, arus sekularisasi telah
meminggirkan sebagian masyarakat beragama. Munculnya istilah kelompok radikal
atau ekstremis dalam diskursus relasi agama dan negara adalah bukti adanya
kelompok masyarakat yang keberadaannya tidak dikehendaki oleh pengusung
sekularisme. Panitia R20 tidak boleh membiarkan ada kelompok yang
tertinggal, seekstrem apa pun cara pandangnya, dalam membicarakan agama dan
persoalan global. Sejauh apa pun perbedaan cara pandang kelompok yang
dianggap radikal, mereka tetaplah komunitas yang memiliki hak bersuara dalam
perbincangan mengenai agama. Pelibatan kelompok ekstrem dalam menyusun
konsensus R20 akan menjadi salah satu kunci bagi kesuksesan NU untuk terus
menjadi aktor pengubah peradaban. ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/10/27/menguji-inklusivisme-agamawan-r20 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar