Lebih
Cerdas dalam Protes Perubahan Iklim Lynda Ibrahim : Konsultan
bisnis dan penulis |
KOMPAS, 30 Oktober 2022
Akhir-akhir
ini, beberapa insiden aksi mengagetkan dunia. Semua mengatasnamakan isu-isu
penting sebagai landasannya. Sekelompok
aktivis membuangi isi botol susu di sejumlah supermarket di Inggris atas nama
hak asasi hewan dan kesinambungan alam. Atas nama gerakan anti-energi fosil,
sekelompok aktivis menyiramkan sup tomat ke lukisan Vincent van Gogh di
Galeri Nasional di London, kelompok lainnya melempari lukisan Claude Monet di
Museum Barberini di Potsdam, sedangkan kelompok yang berbeda lagi mengelem
diri lalu menumpahkan sup tomat ke lukisan Johannes Vermeer di Den Haag. Bukan
cuma kaget, jujur saya bingung faedahnya di mana. Saya
sepakat bahwa perubahan iklim yang terjadi sekarang memerlukan perubahan
drastis kebijakan pemerintahan dan perilaku individu. Saya juga sepakat
kadang perlu protes keras. Tapi keras beda dengan sia-sia. Ketiga aksi di
atas bukan hanya salah sasaran, melainkan juga berpotensi mengalienasi
lapisan masyarakat yang harusnya dicerahkan. Contoh,
soal menumpahkan isi botol susu di supermarket. Inggris sedang dilanda
inflasi tinggi yang menyulitkan rakyat biasa membeli bahan makanan, kenapa
malah dibuang-buang? Yang akan mengepel lantai supermarket itu juga adalah
pegawai terendah yang biasanya imigran. Sementara itu, apa dampak sensasi ini
terhadap elite penguasa sistem peternakan modern yang merusak iklim, atau
pejabat pemerintah? Tidak ada. Jadi sudahlah pesan tak sampai, penerima
dampak aksi malah rakyat kecil. Serupa
dengan aksi vandalisasi karya seni. Betul memang kedua mahakarya dilindungi
kotak kaca, tetapi aksi begini akan mendorong museum dunia bersiaga
melindungi semua karya yang akhirnya menaikkan biaya asuransi dan
operasional—berpotensi membuat museum lebih eksklusif saat arah seni
sebenarnya lebih inklusif. Pasal kedua, membuang-buang makanan, saat harganya
sedang mahal pula! Lebih konyolnya lagi, karena para aktivis ini mengelem
tubuh ke dinding di sekitar lukisan, butuh orang lain untuk repot membebaskan
mereka menggunakan cairan solusi yang, ironisnya, terbuat dari minyak. Arogan,
konyol, ironis, dan sia-sia Sebenarnya
banyak cara yang lebih simpatik, minimal tidak mengalienasi, dalam
mengampanyekan cara hidup yang lebih berkesinambungan. Dunia
mode adalah salah satu yang dikecam pedas karena merayu konsumen untuk
membeli pakaian baru setiap musim, padahal produksinya mengisap sumber daya
seperti energi dan air. Beberapa tahun terakhir dunia mode bebenah dan mulai
mencari metode produksi yang lebih berkesinambungan. Dalam buku Fashionopolis
(2019), jurnalis Dana Thomas menjabarkan beberapa ikhtiar yang dilakukan,
mulai dari desainer kelas dunia seperti Stella McCartney sampai industri
denim Jepang di Kojima untuk menciptakan pakaian berumur panjang dan bergaya
klasik demi meredam keinginan berbelanja pakaian baru tiap saat. Slow
fashion, bukan fast fashion yang populer sejak awal 2000-an. Di
Indonesia, Toton Januar, satu-satunya desainer mode Indonesia yang pernah
menang penghargaan Woolmark Asia, sejak 2017 berupaya mendayagunakan material
yang sudah tersedia ketimbang memakai bahan baru. Digelar
pada Bazaar Fashion Festival baru-baru ini, 90 persen koleksi terbaru Toton
menggunakan sisa material dari koleksi sebelumnya, denim bekas pakai yang
direkonstruksi, dan bahkan barang bekas rumah tangga, seperti taplak, karpet,
dan tirai jendela. Jenama ini juga berhenti memakai kulit binatang.
Kepiawaian desain Toton membuat koleksi terbaru ini tetap berkelas dan
bergaya, terlihat dari sambutan meriah para undangan saat di akhir pergelaran
para model berdiri statis dan penonton diberi kesempatan mengamati desain
dari dekat. Sejauh
Mata Memandang (SMM) melebarkan ikhtiar lebih jauh dengan mendukung
konservasi Taman Nasional Gunung Leuser di Aceh sejak akhir 2020 dengan
berbagai kegiatan. Pada ArtJog 2022, SMM mendirikan instalasi multimedia dan
interaktif menggunakan material bekas produksinya, di mana pengunjung digugah
untuk meninggalkan pesan pribadi tentang kelangsungan Bumi. Pesan-pesan
pengunjung ini dijahitkan ke busana pembuka pergelaran SMM minggu ini di
Jakarta Fashion Week ke-15. Di
luar dunia mode, ada beberapa ikhtiar untuk kembali ke gaya hidup yang lebih
menghargai proses pembuatan dan kualitas ketimbang kepuasan instan. Di bisnis
wastra, ada Sekar Kawung, yang walau sempat terhambat pandemi, bersikukuh
mengolah tenun dari benang ramah lingkungan melalui program pemberdayaan
perempuan di, salah satunya, Tuban. Untuk Hari Batik kemarin, jenama baru Kelir
dan ahli batik Zahir Widadi memperkenalkan kembali teknik pewarnaan alami
indigo yang didasarkan dari metode lawas pembatik Pekalongan. Lebih jauh ke
hulu ada Asia Pacific Rayon yang menawarkan viscose rayon, serat selulosa
yang lebih ramah lingkungan dalam rantai produksinya. Bukan
hanya sandang, melainkan juga papan. Untuk lantai rumah, ada Tegel Kunci di
Yogyakarta yang melestarikan proses produksi bertahap yang mengandalkan kerja
tangan dan sinar matahari sebagai alternatif terhadap keramik modern
pabrikan. Tentu
mudah menyinisi ini semua sebagai trik berjualan. Saya pun tak buta
menjamurnya label eco-friendly yang acap dipakai sebagai dalih harga premium.
Di sisi lain saya percaya keniscayaan skala dan momentum—mendukung ikhtiar
seperti ini dalam jangka panjang akan menciptakan momentum dan menormalisasi
kebiasaan baru, yang ujungnya membangun pasar. Walau tak dalam skala industri
massal seperti sekarang, model bisnis berkesinambungan yang tetap terjangkau
bagi khalayak ramai memungkinkan dibentuk dalam jangka panjang, semoga
sebelum kerusakan Bumi kian parah. Kita bisa sinis dan mengalienasi, atau
mendukung ikhtiar yang ada sambil mengubah praktik hidup pribadi. Protes
atas kerusakan iklim memang penting. Protes keras diperlukan di saat genting.
Tapi ada pilihan jalan untuk protes tanpa merusak mahakarya seni atau
membuangi makanan di saat inflasi atau paceklik. Please-lah. ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/10/29/lebih-cerdas-dalam-protes-perubahan-iklim |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar