Jejak Pengabdian Sunario Sastrowardoyo,
Penasihat Kongres Pemuda II Iswara N Raditya : Jurnalis Tirto.id |
TIRTO.ID, 27 Oktober 2022
Jauh sebelum
Indonesia berpeluang menjadi negara utuh yang berdiri sendiri dan berdaulat
penuh, Sunario Sastrowardoyo sudah memikirkan konsep yang dirasanya paling
tepat untuk wilayah luas yang dulu dikenal sebagai Nusantara itu. Mr.
Sunario–begitu ia akrab disapa–berkeyakinan bahwa Indonesia tidak cocok
dijadikan sebagai negara federal. Baginya, negara kesatuan adalah yang paling
ideal. Namanya dan
perannya memang jarang diungkit, tapi Sunario sudah menguraikan pikirannya
itu di momen penting Kongres Pemuda II pada 27-28 Oktober 1928 di Jakarta.
Kala itu, dia diminta jasanya sebagai penasihat panitia dan diberi waktu
khusus untuk berpidato. Mengutip
pemikiran filsuf Prancis, Ernest Renant, dalam artikel berjudul “Qu'est-ce
Qu'une Nation”, Sunario tidak sepakat dengan konsep negara federal dengan
memaparkan kemajemukan yang dimiliki bangsa Indonesia. Berbicara pada
sesi terakhir di depan peserta kongres melalui pidatonya yang bertajuk
"Pergerakan Pemuda dan Persatuan Indonesia”, Sunario berkeyakinan bahwa
perbedaan ras, bahasa, agama, kepentingan, hingga melimpahnya sumber daya
alam akan membuat bangsa ini lebih kuat jika punya keinginan untuk hidup
bersama, atau dalam istilah Renant: le desir de vivre ensemble. Menurut
Sunario, sebuah bangsa merupakan hasil masa silam yang penuh usaha,
pengorbanan, dan pengabdian. Dengan kata lain, bangsa adalah suatu
solidaritas besar yang terbentuk karena adanya kesadaran bahwa orang telah
berkorban banyak dan bersedia memberikan pengorbanan yang lebih besar lagi
demi kepentingan bersama. Bertolak dari
Kongres Pemuda II yang kemudian menghasilkan ikrar Sumpah Pemuda dengan
menyepakati “Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa” itu, apa yang dipaparkan
Sunario akhirnya terwujud setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945
kendati baru mendapatkan kedaulatan secara penuh sejak 27 Desember 1949. Lalu,
bagaimana riwayat dan jejak peran Sunario di alam Pergerakan Nasional hingga
Indonesia merdeka? Advokat Pembela Rakyat Sunario
Sastrowardoyo lahir di Madiun, Jawa Timur, pada 28 Agustus 1902. Ia anak
tertua dari 14 bersaudara. Ditilik nama belakangnya, Sunario terpaut jalinan
kekerabatan dengan Dian Sastrowardoyo, salah seorang pelaku seni peran wanita
paling mumpuni di Indonesia saat ini. Ya, Dian Sastro merupakan cucu
Sumarsono Sastrowardoyo yang tidak lain adalah saudara kandung Sunario,
adiknya yang ke-11. Sunario
berasal dari keluarga Jawa yang terpandang. Ayahnya, Sutejo Sastrowardoyo,
menjabat sebagai wedana (pembantu bupati yang membawahi beberapa camat). Maka
tidak heran jika Sunario dan adik-adiknya berkesempatan mengenyam pendidikan
yang cukup baik di masa kolonial. Namun, ayah
Sunario bukan abdi pemerintah Belanda yang setia. Sutejo Sastrowardoyo bahkan
sering berurusan dengan aparat kolonial, terutama terkait krisis air yang
kerap melanda Madiun sehingga menyengsarakan petani di daerah itu (Sagimun
Mulus Dumadi, 90 Tahun Prof. Mr. Sunario: Manusia Langka Indonesia, 1992:28). Sunario
nantinya juga bertindak sama, berkaca dari upaya sang ayah membela rakyat.
Seperti dituliskan Asvi Warman Adam dalam buku Membongkar Manipulasi Sejarah
(2009:39), setelah memperoleh gelar Meester in de Rechten bidang ilmu hukum
dari Universitas Leiden (Belanda) pada akhir 1925, ia pulang ke tanah air
sebagai pengacara dan sering mengadvokasi rakyat yang berurusan dengan aparat
kolonial. Tak lama
setelah kembali ke Indonesia dari Belanda, Sunario juga turut mendirikan
Partai Nasional Indonesia (PNI) pada 1927 bersama tokoh-tokoh bangsa lainnya
seperti Sukarno, Cipto Mangunkusumo, Raden Mas Sartono, dan Iskak
Cokroadisuryo (Nyak Wali Alfa Tirta, Mr. Sartono: Karya dan Pengabdiannya,
1985:59). Memikirkan Bangsa Sedari Muda Sebelum tampil
memukau di Kongres Pemuda II pada 1928, Sunario sebenarnya sudah menunjukkan
kiprahnya semasa kuliah di Belanda. Ia aktif bersama Indische Vereeniging
atau Perhimpunan Indonesia (PI), organisasi para pelajar/mahasiswa Indonesia
yang sedang menuntut ilmu di negeri kincir angin. Saat itu,
Ketua PI adalah Nazir Datuk Pamoentjak (menjabat 1924-1925), Sunario
Sastrowardoyo sebagai Sekretaris II, dan Mohammad Hatta –yang kemudian
menjadi Ketua PI terlama dari 1926 sampai 1930– adalah Bendahara I (Abdul
Rivai, Student Indonesia di Eropa, 2000:278). Terkait konsep
bentuk negara, Hatta ternyata berbeda pendapat dengan Sunario kendati
keduanya berkarib. Sunario mengakui itu dengan mengungkapkan bahwa Hatta
lebih cenderung memilih konsep federasi untuk negara Indonesia kelak,
sementara dirinya tetap yakin terhadap negara kesatuan (Zulfikri Suleman,
Demokrasi untuk Indonesia, 2010:203). Pemikiran
tentang kebangsaan sebenarnya sudah menjadi fokus Sunario semasa di Leiden
dan aktif di Perhimpunan Indonesia itu, ketika usianya masih sangat muda, 23
tahun. Ia berandil besar dalam merumuskan Manifesto Politik yang dirilis PI
dari Belanda pada 1925. Manifesto
Politik PI itu, menurut Sartono Kartodirdjo (dalam Asvi Warman Adam,
2009:38), sebenarnya lebih fundamental dari Sumpah Pemuda tahun 1928.
Manifesto Politik 1925 pada intinya berisi prinsip-prinsip perjuangan yakni
unity (persatuan), equality (kesetaraan), dan liberty (kemerdekaan).
Sementara Sumpah Pemuda “hanya” menonjolkan persatuan melalui slogan populer
"satu nusa, satu bangsa, satu bahasa". Sunario
Sastrowardoyo adalah satu-satunya tokoh yang terlibat sentral di dua
peristiwa yang menjadi tonggak sejarah nasional itu, yakni Manifesto Politik
Perhimpunan Indonesia tahun 1925 serta Kongres Pemuda II tahun 1928 yang
melahirkan Sumpah Pemuda. Kongres Pemuda
II itu sendiri bisa terlaksana berkat perjuangan Sunario. Ia ditugaskan
meminta izin kepada pemerintah kolonial agar diperbolehkan menggelar kongres
tersebut secara resmi. Meskipun sempat dipersulit dengan berbagai macam
alasan, akhirnya izin berhasil didapatkan (Bambang Sularto, Wage Rudolf
Supratman, 2012:131). Sunario juga
merupakan tokoh kepanduan, ia berusaha keras memupuk rasa kebangsaan kepada
generasi muda meskipun masih hidup di alam penjajahan. Sunario memimpin
Indonesische Nationale Padvinderij Organisatie (INPO), salah satu organisasi
kepanduan yang berpusat di Batavia atau Jakarta (Umasih, Sejarah Pemikiran
Indonesia Sampai dengan Tahun 1945, 2006:387). Menlu, Dubes, Hingga Rektor Sunario
Sastrowardoyo turut menyangga berdirinya Republik Indonesia sejak awal
kemerdekaan. Sempat menjadi anggota, lalu berhimpun di badan pekerja Komite
Nasional Indonesia Pusat (KNIP), ia kemudian dipercaya menjabat sebagai
Menteri Luar Negeri (Menlu) RI sejak 9 April 1957 hingga 10 Juli 1959. Hatta adalah
penggagas konsep politik luar negeri yang dianut Indonesia yakni bebas-aktif.
Rekan Sunario sejak di Belanda saat sama-sama menjadi aktivis Perhimpunan
Indonesia ini merangkap jabatan Wakil Presiden sekaligus Menlu selama masa
Republik Indonesia Serikat (RIS) yakni dari 20 Desember 1949 hingga 6
September 1950. Nah, saat
giliran Sunario menjabat Menlu, politik bebas-aktif itu dijabarkannya secara
nyata. Salah satunya ketika hubungan Indonesia-Australia sedikit memanas
terkait persoalan Irian (Papua) Barat (lebih lanjut baca: P.J. Drooglever,
Tindakan Pilihan Bebas: Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri, 2010). Pada masa
Sunario pula, Indonesia menghelat Kongres Asia Afrika (KAA) di Bandung pada
18-24 April 1955. Selain itu, ia meneken kesepakatan dengan Perdana Menteri
RRC, Chou En Lai, pada 22 April 1955, tentang masalah dwi-kewarganegaraan
terkait perantauan Cina. Sebelumnya, orang Cina yang datang ke Indonesia bisa
mengantongi kewarganegaraan ganda (Sunario Sastrowardoyo, Banteng Segitiga,
1988:89). Setelah
pensiun dari kancah politik usai masa tugasnya sebagai Duta Besar RI untuk
Inggris purna pada 1961, Sunario mengabdikan dirinya ke dunia pendidikan. Ia
adalah guru besar sekaligus rektor Universitas Diponegoro Semarang, juga
rektor IAIN Al-Jami'ah Al-Islamiyah Al-Hukumiyah, cikal-bakal UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tahun 1974,
Sunario ditunjuk untuk ambil bagian dalam Panitia Lima bersama Mohammad
Hatta, Ahmad Subardjo, A.A. Maramis, dan A.G. Pringgodigdo. Panitia yang
dibentuk oleh pemerintah RI pada masa Presiden Soeharto ini digagas karena
saat itu muncul perdebatan mengenai siapa sebenarnya yang telah merumuskan
Pancasila. Kebanggaan Dian Sastro Sunario
dikaruniai panjang umur, sampai 94 tahun. Dian Sastrowardoyo, sang cucu
meskipun bukan turunan langsung, mengaku pernah berjumpa dengan kakak sulung
dari kakeknya itu saat dirinya masih anak-anak, dan pemeran sosok Kartini
versi layar lebar terbaru ini merasa sangat bangga. "Saya
waktu kecil pernah ketemu Eyang Nario. Saya berumur 5 tahun dan beliau sudah
tua sekali. Eyang kakung saya (Sumarsono Sastrowardoyo) adiknya yang ke-11,
beda usianya jauh sekali," sebutnya melalui Instagram pada peringatan
Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2016 lalu. “Bangga dan
terinspirasi sekali punya eyang seperti beliau. Rasanya ingin saya teruskan
perjuangannya, perjuangan kaum muda di zaman mereka,” lanjut Dian Sastro. Sunario
Sastrowardoyo meninggal dunia di Jakarta pada 18 Mei 1997, hari ini tepat dua
dasawarsa silam, dengan mewariskan jejak pengabdian untuk bangsa dan negara
yang teramat panjang. ● |
Sumber : https://tirto.id/jejak-pengabdian-sunario-sastrowardoyo-penasihat-kongres-pemuda-ii-coZu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar