Bagaimana Sirop Obat
Membuat Anak-Anak Gagal Ginjal Akut Egi Adyatama : Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 23
Oktober 2022
TELEPON hitam di satu
ruang bawah tanah di Gedung Kiara Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr Cipto
Mangunkusumo (RSCM), Jakarta Pusat, menjadi “hantu” bagi keluarga pasien
gagal ginjal akut. Pada Jumat, 21 Oktober lalu, wajah mereka terlihat cemas
setiap kali telepon berdering. Tak ada yang berani mengangkatnya. Mereka
meminta orang lain di sekitarnya untuk menjawab panggilan. Nedy, ayah seorang pasien,
yang ditemui Tempo di luar ruangan itu pada Kamis, 20 Oktober lalu,
mengatakan panggilan telepon berasal dari perawat yang bertugas di lantai
empat, tempat anak-anak dirawat. Para perawat biasanya memberi tahu jika ada
anak yang membutuhkan orang tuanya, ada berkas administratif yang harus
diurus, atau memberi tahu rencana cuci darah. Menurut Nedy, yang paling
ditakuti keluarga pasien adalah kabar buruk dari perawat. Ia bercerita, ada
keluarga yang ditelepon dan diberi tahu bahwa kondisi anaknya kritis. “Saat
dia ke atas, anaknya sudah meninggal,” ujar Nedy menceritakan pengalamannya.
Dalam sepekan terakhir, tiga anak meninggal akibat gagal ginjal akut. Hari itu, RSCM merawat
sebelas pasien gagal ginjal akut atau acute kidney injury. Sepuluh di
antaranya dirawat di ruangan pediatric intensive care unit (PICU) dan satu
anak ditempatkan di intensive care unit. Sejak Januari lalu, RSCM merawat 49
anak penderita gagal ginjal akut. Direktur Utama RSCM Lies
Dina Liastuti mengatakan dari jumlah itu 31 anak meninggal. Hanya tujuh
pasien yang dinyatakan sembuh dan bisa pulang. “Kami sudah menambah ranjang
mulai September lalu untuk mengantisipasi lonjakan jumlah pasien,” tutur
dokter spesialis jantung dan pembuluh darah ini. Putri Nedy, Aisha, yang
masih berumur sepuluh bulan, menjadi pasien gagal ginjal akut dan dirawat
sejak Ahad, 16 Oktober lalu. Ia ditempatkan di ruangan PICU dan harus
dipisahkan dari orang tuanya. Nedy dan orang tua pasien lain hanya bisa
sesekali bertemu dengan anak mereka. Setiap kali menengok putri
sulungnya, Nedy merasa pilu. Laki-laki 28 tahun itu tak tega melihat Aisha
harus dirawat intensif. Ia pun merasa stres menyaksikan selang mengantar darah
putrinya masuk-keluar mesin hemodialisis. Saat Tempo menemui Nedy, Aisha baru
sekali menjalani cuci darah. Ia bisa menjalani cuci darah kedua jika tubuhnya
tak kunjung mengeluarkan urine. Demi menyambung nyawa
putrinya, Nedy menguatkan hati. “Saya sudah diberi tahu kemungkinan terburuk
sejak awal. Saya hanya bisa berharap Aisha segera sembuh,” tuturnya. Bersama anggota keluarga
pasien lain, Nedy berjaga di ruang berukuran sekitar 25 meter persegi. Ia
bersyukur karena rumah sakit menyediakan ruangan khusus bagi keluarga pasien
gagal ginjal. “Kami banyak dibantu oleh rumah sakit,” katanya. Pada Jumat, 21 Oktober
lalu, wartawan Tempo berkesempatan masuk ke ruangan yang dilengkapi alas
tersebut. Delapan anggota keluarga pasien, semuanya perempuan, terlihat saling
berdekatan, sebagian di antaranya merebahkan badan. Di selasar luar, sejumlah
laki-laki menggelar tikar dan karpet. Sesekali, keluarga pasien
melemparkan guyonan. Mereka juga saling menawarkan kudapan kepada orang
sekitarnya. Satu kali, seorang ibu tiba-tiba menangis karena mengingat
anaknya yang sedang dirawat. Ruangan langsung hening. Memegang pundak si
empunya air mata, seorang anggota keluarga pasien berusaha menenangkan ibu
itu dan mengajaknya berserah kepada Sang Pencipta. ••• HINGGA Jumat, 21 Oktober
lalu, Kementerian Kesehatan melaporkan ada 241 anak yang menderita gagal
ginjal akut. Mereka tersebar di 22 provinsi. Sebanyak 133 anak di antaranya
tak tertolong. Ini berarti tingkat kematian akibat gagal ginjal akut mencapai
55 persen. Angka kasus gagal ginjal
pada anak ditengarai meningkat pada Agustus lalu. Ikatan Dokter Anak
Indonesia mencatat ada 36 kasus pada bulan itu. Jumlahnya melonjak menjadi 78
kasus pada September lalu. Peristiwa serupa juga terjadi di Gambia, Afrika
Barat, yang melaporkan 70 anak meninggal hingga Jumat, 14 Oktober lalu. Anak-anak yang menderita
gagal ginjal akut ditengarai mengkonsumsi sirop obat yang tercemar tiga
senyawa berbahaya, yaitu etilena glikol, dietilena glikol, dan etilena glikol
butil eter. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah mencabut peredaran
lima obat sirop yang mengandung senyawa tersebut. Ashalina Kamila Zuhdi yang
masih berusia satu setengah tahun juga mengalami gagal ginjal setelah
mengkonsumsi salah satu obat yang dilarang diedarkan oleh BPOM. Ibunya,
Maulida Yulianti, yang tinggal di Pelaihari, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan
Selatan, bercerita bahwa Ashalina mengkonsumsi obat itu sepanjang 12-17
Agustus lalu bersama antibiotik. Sejumlah orang tua pasien
gagal ginjal yang dihubungi Tempo juga mengaku menggunakan obat yang telah
dilarang oleh BPOM. Sebagian di antaranya mengaku memilih obat itu karena
direkomendasikan oleh dokter yang mereka temui. Harganya tak sampai Rp 10
ribu. Setelah mengkonsumsi obat
itu, Ashalina tak bisa buang air kecil dan air besar. “Popoknya kosong sama
sekali. Makan dan minumnya juga kurang,” tutur Maulida kepada Tempo melalui
pesan Instagram pada Jumat, 21 Oktober lalu. Maulida lantas membawa
putrinya ke Rumah Sakit Pelaihari. Ashalina sempat didiagnosis mengalami
pembengkakan hati. Namun hasil rontgen menunjukkan dia mengalami gagal
ginjal. Ia dirujuk ke Rumah Sakit Sari Mulia di Banjarmasin, sekitar satu
setengah jam perjalanan dari Pelaihari. Berangkat ke RS Sari Mulia
pada 22 Agustus lalu, Maulida menemui kenyataan pahit. Putrinya tak bisa
dirawat karena tes Covid-19 menunjukkan hasil positif. Ashalina dirujuk ke
Rumah Sakit Ulin, Banjarmasin. Di sana, kondisinya terus memburuk. Badannya
membengkak. “Baju dan kaus yang dia
pakai setiap hari sampai tak muat,” kata Maulida. Ashalina tak lama dirawat
di rumah sakit itu. Pada 22 Agustus lalu, ia mengembuskan napas penghabisan. Pembengkakan tubuh juga
dialami oleh Cyrene Melody, anak balita berusia 2 tahun 7 bulan, pasien gagal
ginjal akut yang tinggal di Tondano, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. Ibu
Melody, Curie Mamonto Loho, menyaksikan berat anaknya bertambah dari 13
kilogram menjadi 16,5 kilogram saat dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Dr Sam
Ratulangi, Tondano. Meski tubuh Melody
membesar, nafsu makannya tak membaik. Curie lantas memberikan es krim
kesukaan Melody setelah mendapat izin dari dokter rumah sakit. Tiga es krim
dihabiskan oleh Melody. Dirawat tiga hari di sana, Melody dirujuk ke Rumah
Sakit Umum Pusat Kandou, Manado, pada Jumat, 29 Juli lalu. Kondisi Melody tak kunjung
membaik. Dokter memasang alat bantu pernapasan. Tak lama kemudian, cairan
keluar dari mulutnya. “Dia menangis dan minta dipeluk,” ujar Curie saat
dihubungi Tempo pada Kamis, 20 Oktober lalu. Melalui akun Tiktok
@curieloho pada Jumat, 21 Oktober lalu, Curie membagikan video yang direkam
pada Sabtu, 30 Juli lalu. Terekam di video itu, ayah Melody mencoba mengajak
berbicara putrinya. Saat itu wajah Melody terlihat pucat dan tubuhnya
terbungkus selimut merah bermotif bintang. Ayahnya berbisik di
telinga Melody dan berucap, “Papa sayang.” Mendengar itu, Melody tersenyum
dan bersuara pelan, “Yeaaa….” Matanya lalu kembali terpejam. Sehari kemudian,
Melody meninggal. ••• MENTERI Kesehatan Budi
Gunadi Sadikin memperkirakan jumlah penderita gagal ginjal akut akan
bertambah beberapa waktu ke depan. “Bisa empat-lima kali lipat,” katanya pada
Kamis, 20 Oktober lalu. Sepekan sebelumnya, Budi membentuk tim investigasi
untuk menelusuri penyebab gagal ginjal akut pada ratusan anak. Kementerian Kesehatan
telah merilis daftar 102 obat yang dikonsumsi para penderita gagal ginjal
akut. Tapi Menteri Budi belum mengambil kesimpulan ihwal penyebab tingginya
angka kasus tersebut. Ia menunggu hasil penelusuran tim investigasi. Ketua Harian Yayasan
Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi mempertanyakan keseriusan pemerintah
mengawasi peredaran obat. “Kalau sampai betul penyebabnya adalah obat yang
dikonsumsi, produsennya harus diberi sanksi berat,” ucapnya. Tulus menyatakan keluarga
korban bisa mengajukan gugatan kelompok atau class action terhadap perusahaan
farmasi yang menjadi biang kerok kasus gagal ginjal akut. Gugatan ini
dimungkinkan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Namun, ia
mengingatkan, class action membutuhkan upaya yang besar dan waktu lama. Nihlatu Zaidah, ibu Rayyan
Zikra, anak balita berusia 3 tahun 7 bulan yang meninggal pada 18 Agustus
lalu akibat gagal ginjal akut, belum memikirkan kemungkinan mengajukan
gugatan. Nihlatu yang tengah hamil berharap pemerintah serius membenahi
sistem kesehatan dan mencari pihak yang bertanggung jawab dalam kasus gagal
ginjal akut. “Saya tak mau nanti anak saya mengalami masalah yang sama dengan
kakaknya,” ujar Nihlatu. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar