Apa Fungsi BPDLH
dalam Mitigasi Krisis Iklim Abdul Manan : Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 30
Oktober 2022
PEMERINTAH Indonesia
menaikkan target penurunan emisi gas rumah kaca pada 2030 dari 29 persen
menjadi 31,89 persen dengan usaha sendiri. Sedangkan jika ada bantuan dana
asing melalui Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH), target naik dari
41 persen menjadi 43,2 persen. Rasio ini didasari prediksi emisi pada tahun tersebut
sebanyak 2,87 miliar ton setara CO2. Emisi sebanyak itu adalah
resultante pembangunan. Meski punya hutan tropis terbesar di dunia, Indonesia
masuk daftar 10 besar produsen emisi dunia. Karena itu, Perserikatan
Bangsa-Bangsa meminta tiap negara membuat target penurunan emisi untuk
mencegah pemanasan global 1,5 derajat Celsius pada 2030. Caranya: melindungi
lingkungan. Lingkungan yang rusak melepaskan emisi karbon menjadi gas rumah
kaca di atmosfer yang mengakibatkan krisis iklim. Bentuk krisis iklim adalah
pelbagai bencana: kekeringan, gagal panen, rob, banjir, curah hujan tak
menentu, suhu ekstrem. Untuk mencapai target
penurunan emisi Indonesia itu, biaya yang dibutuhkan lebih dari Rp 4.000
triliun. Anggaran pemerintah hanya mampu menyediakan 30 persen. Sisanya
dipenuhi lewat kolaborasi dengan pemerintah daerah, pihak swasta, dan
masyarakat. Salah satu instrumen insentif penurunan emisi bagi pihak
non-pemerintah adalah perdagangan karbon. Pada 20 Oktober 2022,
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan peraturan nomor 21 tentang
tata laksana penerapan nilai ekonomi karbon. Ini peraturan teknis
penyelenggaraan perdagangan karbon dalam negeri. BPDLH menjadi jangkar
pendanaannya, terutama bantuan asing untuk program-program pelindungan lingkungan. Direktur Utama BPDLH Djoko Hendratto mengatakan, meski
BPDLH baru terbentuk pada 2019, tingkat kepercayaan negara dan lembaga
internasional tinggi. Dana yang masuk dari luar negeri kian banyak. Untuk apa
saja? Berikut ini penjelasan Djoko kepada Abdul Manan, Iwan Kurniawan, Fery
Firmansyah, Khairul Anam, dan Tara Reysa dari Tempo pada 29 September lalu di
kantornya. Apa
tujuan pemerintah membentuk BPDLH? Sejak Konferensi Bumi di
Rio de Janeiro, Brasil, pada 1992, ada kesadaran melindungi lingkungan tidak
bisa hanya jadi beban pemerintah. Tapi Perjanjian Paris 2015 memandatkan
pemerintah tiap negara yang harus memimpin pelindungan itu. Tidak bisa lagi
ke pasar. Dulu tidak ada peluang kolaborasi pemerintah dan swasta. Bantuan
dana penurunan emisi, seperti pengurangan deforestasi dan degradasi lahan
(REDD+), harus melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Artinya, tidak
ada pihak lain yang berwenang mencampuri pemerintah. Pemerintah
jadi mengalami kesulitan sendiri? Kan, tidak bisa dana masuk
ke APBN kemudian ditandai secara khusus. Akibatnya, pendanaan untuk REDD+
enggak bisa jalan. Begitu masuk ke APBN, yang menentukan pemerintah dan Dewan
Perwakilan Rakyat. Tata kelola seperti itu jelas tidak sesuai dengan apa yang
diharapkan pemilik dana. Dengan alasan itulah kemudian dicarikan inovasi agar
bisa paralel kerja sama dana pemerintah dengan swasta atau dana luar yang
ingin masuk untuk melindungi lingkungan. Itu latar belakang pembentukan
BPDLH. Apa
dasar filosofisnya? Kalau lingkungan Indonesia
baik dan mampu menyerap banyak emisi karbon, yang untung negara lain juga.
Tentu kita juga untung karena lingkungan baik. Karena itu, perlu model untuk
menampung pendanaan kolaborasi. Di awal, konsepnya datang dari Menteri
Keuangan Sri Mulyani bersama Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti
Nurbaya. Saat diundang beliau, saya menangkap konsepnya titip bantuan.
Seperti loker di kolam renang. Loker punya pemilik kolam renang, tapi isinya
milik saya. Penggunanya saya. Dalam terminologi internasional, itu disebut
trustee. Karena ada di wilayah pemerintah Indonesia, tentu wajib sesuai
dengan peraturan kita. Karena itu, kementerian dan lembaga negara yang
mengampunya akan mengawal agar kebijakannya tidak bertabrakan, selaras,
sama-sama untuk lingkungan. Penyumbang
dana boleh menentukan penyalurannya untuk apa saja? Seluruh tatanan penyaluran
dana itu harus dituangkan dalam mandat. Mandat itu yang menentukan
kementerian dengan pemilik dananya. Kami hanya mengawasi tujuan ke sana. Itu
sifat penitipan tersebut. Fungsi BPDLH seperti itu. Lembaga
apa saja yang boleh menitipkan dana? Siapa pun boleh. Bahkan
bukan hanya pemerintah negara lain, tapi juga lembaga multidonor seperti Bank
Dunia, UNDP (Program Pembangunan PBB). Filantrop perorangan juga boleh. Perusahaan
juga boleh? Mengapa tidak? Bagaimana
kalau perusahaan perusak lingkungan? Boleh saja, tapi kan
fungsi titip anggaran adalah untuk membenahi lingkungan. Kalau mereka selama
ini merusak lingkungan, kalau dia menitipkan dana untuk membenahi lingkungan,
malah jadi benar, kan? Yang tidak boleh itu dana teroris. Atau untuk
greenwashing. Itu enggak boleh. BPDLH
berani menolak? Mengapa tidak? Norwegia
kami tolak. Tapi akhirnya mereka ngikutin kita. Apa
pertimbangan dulu menghentikan kerja sama perdagangan karbon dengan Norwegia? Pertanyaannya: Anda beli
barang atau Anda mau memberikan hibah? Atau membuat proyek? Mereka memutuskan
beli barang, ya, sudah, silakan ambil. Tapi Anda enggak boleh ikut campur.
Putus itu karena mereka ingin ikut mengatur kewenangan pemerintah untuk
program-program dalam kerja sama. Sekarang
sudah rujuk…. Sekarang oke. Ia ingin
dananya untuk proyek green. (Djoko
Hendratto bersama Duta Besar Norwegia untuk Indonesia, Rut Krüger Giverin,
menandatangani kerja sama penurunan emisi melalui reduksi deforestasi dan
degradasi lahan yang terputus pada 2021 pada 19 Oktober 2022. Norwegia akan
membayar penurunan emisi sebanyak US$ 11,2 juta untuk penghindaran
deforestasi 2016-2017 dan mendukung program emisi negatif sektor kehutanan Forestry
and Other Land Use atau FOLU Net Sink 2030.) Dalam
dua tahun terakhir, siapa saja donor yang masuk? Ada Green Climate Fund
(GCF), FGF, BioCarbon. Yang sudah berjalan Ford Foundation. Ada pembangkit
listrik tenaga surya (PLTS) atap dari Global Environment Facility (GEF). Ada
dana debt for nature swap (DNS). Juga komitmen Bank Dunia. Dana rehabilitasi
mangrove Rp 400 juta. Kemudian ada dana reboisasi dari Kementerian Lingkungan
Hidup yang totalnya sekitar Rp 8 triliun. Jadi
berapa total dana dari negara dan lembaga internasional yang sudah masuk
BPDLH? GCF itu US$ 103 juta,
Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) US$ 110 juta, BioCarbon Fund US$ 70
juta, kemudian DNS sekitar Rp 56 miliar, Ford Foundation US$ 1 juta, kemudian
dana PLTS dari GEF Rp 23 miliar. Kalau
dari APBN? Yang sudah masuk baru Rp
2,1 triliun. Apakah
juga ada dari korporasi? Sampai sekarang belum. Untuk
apa saja semua uang itu? Melanjutkan dan
memperbaiki program dana bergulir yang disalurkan melalui Kementerian Kehutanan. (BPDLH
adalah kelanjutan Badan Layanan Umum Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan [BLU
P3H] di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang mengelola dana
reboisasi sejak 1999. BLU P3H banyak menyalurkan kredit bagi usaha kecil dan
masyarakat untuk melindungi hutan. Misalnya kredit tunda tebang: masyarakat
menjaminkan pohon untuk mendapatkan kredit usaha.) Skemanya
seperti apa? Ada dua: langsung
menyalurkan kepada penerima manfaat (beneficiary) atau melalui lembaga
penyalur. Keperluannya mengarah pada reboisasi. Misalnya pemberian pinjaman
kepada masyarakat-masyarakat di sekitar hutan yang mereka tanami pohon tapi
di samping itu mereka mempunyai usaha lain. Nah, pohon ini sebagai jaminan
kami memberikan pinjaman. Jenis
usahanya apa saja? Macam-macam. Bisa
kelontong, bisa juga tani di sela-sela hutan itu. Bisa juga ternak sapi,
kambing, atau agroforestri. Poinnya penerima kredit adalah pemelihara hutan.
Sepanjang ia ke arah itu, dan usaha itu untuk menghidupinya, bisa kami beri
pinjaman. Berapa
yang sudah mendapat manfaat? Sekitar 28 ribu orang,
tersebar di beberapa provinsi dan kabupaten. Hampir semua provinsi. Karena
kredit, bunganya berapa persen? Tiga-empat persen. Kalau
kerja sama dengan Ford Foundation apa bentuknya? Masyarakat adat termasuk.
Cara menyalurkannya melalui call for proposal. Jadi Ford dan kami menentukan
proposal yang layak disetujui. Bagaimana menilainya? Itu sudah ada
standarnya. Ada tim sendiri, bukan dari BPDLH. Bagaimana
mengatur dan mengawasi penyaluran dananya? Kami tunjuk direktur
proyek yang membawahkan profesional-profesional. Para profesional direkrut
secara bebas bersama pemilik dana. Itu untuk memastikan tidak ada kepentingan
dan berbasis proyek sehingga betul-betul efisien. Jadi memang dana itu nanti
dipotong sebagian untuk membayar tenaga profesional. Kalau
dengan pendanaan yang tersedia sekarang, proposal seperti apa yang bisa
diajukan? Tergantung temanya. Sesuai
dengan yang direncanakan setiap pemilik dana. Kalau
proposal yang tersedia sekarang apa saja? Dana Terra (program dana
untuk kesejahteraan dan ekonomi berkelanjutan masyarakat adat serta komunitas
lokal). Satu lagi PLTS atap, tapi itu bentuknya insentif. Insentif? Jika Anda membeli panel
surya Rp 100 juta, lewat program ini akan kami berikan cashback 30 persen
dari harga. Tapi yang menentukan itu Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral dan Perusahaan Listrik Negara. Mereka yang menentukan seseorang layak
atau tidak mendapat cashback. Berapa
dana yang bisa diakses dari insentif PLTS atap ini? Sekitar Rp 23 miliar. Berapa
dana yang sudah tersalurkan? Kalau enggak salah Rp 4
miliar. Penerimanya rata-rata masyarakat; individu; usaha mikro, kecil, dan
menengah. Lembaga bisnis ada beberapa. Total yang sudah ada komitmen sekitar
Rp 12 atau Rp 15 miliar. Sampai
kapan program PLTS atap ini berlangsung? Dananya harus habis tahun
ini. Program
di BPDLH sangat bergantung pada penyumbang dana. Bagaimana BPDLH membantu pencapaian
target menurunkan emisi? Tidak bisa kami yang
menentukan. Harus kementerian yang mengampunya karena mereka sudah mempunyai
rencana pemulihan lingkungan. Begitu dana datang, kami sampaikan kepada
kementerian. Kamu mau ambil yang mana agar tidak tumpang-tindih dengan dana
APBN. Persoalannya, ketertarikan donor ini macam-macam. Ada yang fokusnya ke
hutan seperti Norwegia. Kalau Jerman dan Inggris kombinasi, tapi cenderung ke
energi. Bagaimana
menyelaraskannya dengan target nol emisi bersih 2060? Pertanyaan yang sangat
sulit tapi menarik. Untuk bisa mencapai net zero emission, pemerintah enggak
bisa bekerja sendiri. Inovasi ada di sektor swasta. Itulah kenapa kita buka
bahwa ini sifatnya hanya semacam tempat lewat untuk menampung inovasi,
ide-ide mereka. Yang bisa mencapai net zero itu pelakunya, sektor swasta, bukan
pemerintah saja. Pemerintah hanya seberapa bagian. Kemarin kita undang semua
pemilik program penurunan emisi. Sudah ada puluhan proyek. Apa
fokus proyeknya? Masih FOLU, kehutanan dan
penggunaan lahan. Ada beberapa proyek energi terbarukan. Mungkin, karena
melihat perkembangan ini, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menaikkan
target penurunan emisi dalam NDC (Kontribusi yang Ditentukan secara
Nasional). Artinya, dengan program-program yang beliau terapkan, termasuk
pembentukan BPDLH, target menurunkan emisi lebih optimistis. Kalau
proyeksi ke depan, apakah peluang lembaga-lembaga itu untuk menitipkan
dananya makin besar? Iya. Dana yang masuk makin
besar. Artinya ada trust. Pemberi dana melihat ada potensi. Kami belum
melakukan roadshow, lho. Apa
manfaat bagi para penyumbang dana ini? Mereka juga orang bisnis
yang dituntut melakukan green, kan? Di negaranya enggak ada program
pelindungan lingkungan. Norwegia contohnya. Mereka sudah enggak bisa lagi
memperbaiki iklim atau menurunkan emisi. Mereka sudah negara industri. Tugas
mereka sekarang membayar pembangunan menjadi negara industri itu. Lembaga
seperti Bank Dunia dan UNDP punya anggaran berapa untuk lingkungan? Saya enggak tahu. Tapi
negara-negara maju sudah berkomitmen dalam United Nations Framework
Convention on Climate Change akan menyalurkan US$ 100 miliar setiap tahun ke
negara-negara berkembang. Hubungan
BPDLH dengan Kementerian Keuangan seperti apa? Menteri Keuangan di
samping steering committee, beliau pembina teknis. Kelembagaan kami di bawah
Kementerian Keuangan. Tapi kebijakannya di bawah sepuluh kementerian yang
tergabung dalam komite pengarah. Apakah
itu tidak berpengaruh terhadap independensi BPDLH? Pertanyaannya bukan
independensi, tapi keselarasan tugas pemerintah dengan pemilik dana. Kalau
pemilik dana enggak mau, ya, enggak bisa. Kalau enggak cocok, pada saat
pembicaraan, ia enggak ngasih mandat ke kita, kan, enggak jadi. Tahun
depan target total dana yang masuk ke BPDLH berapa? Tahun depan ada dana
bencana Rp 4,3 triliun, dana mangrove Rp 3 triliun, dana bergulir Rp 2,3
triliun. Sampai 2026 Rp 27-30 triliun. Bagaimana
mencegah korupsi? Sulit. Duit tidak ada di
kami. Duit ada di custodian karena konsep kami adalah trustee. Jadi kami
hanya mengelolanya, uangnya dari trustee. Kami enggak usah korupsi. Kami
sudah dapat fee atas itu. Berapa
jumlah personel BPDLH? BPDLH ramping saja, tergantung
dana yang dikelola. Kalau
yang inti? Mungkin 160 orang. Pendanaan
operasionalnya dari APBN? Dari fee. Apakah
BPDLH boleh berbisnis? Enggak boleh. Kami
dapatnya dari fee itu aja. Kalau
suatu saat enggak ada lembaga yang titip uang ke BPDLH, apa yang terjadi? Rugi. Tapi sebagai BLU
kami bisa minta pemerintah. Tapi sampai sekarang enggak pernah minta. Dalam
peraturan Menteri Lingkungan tentang nilai ekonomi karbon, BPDLH berperan
dalam perdagangan karbon. Seperti apa? Kami masih menunggu arahan
lebih lanjut tentang kepastian mandatnya. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/wawancara/167279/apa-fungsi-bpdlh-dalam-mitigasi-krisis-iklim |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar