Saatnya Menciptakan
Sistem Pengawasan Pondok Pesantren Opini Tempo : Redaktur Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 18
September 2022
KEMATIAN Albar Mahdi,
santri di Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, menunjukkan
buruknya pengawasan tempat pendidikan berasrama di Tanah Air. Bertahun-tahun
menimba ilmu di pondok pesantren terbesar di Indonesia tersebut, remaja 17
tahun itu pulang tanpa nyawa ke kampung halamannya di Palembang, Sumatera
Selatan. Albar mengembuskan napas
terakhir karena dianiaya dua kakak kelasnya, MFA dan IH, pada Senin pagi, 22
Agustus lalu. Ia bersama kedua temannya dituduh bertanggung jawab atas
kehilangan sejumlah perlengkapan setelah berkemah di Desa Wilangan, Sambit,
Ponorogo. Dadanya dipukul. Kaki dua temannya terluka akibat pukulan kayu. Kepolisian Resor Ponorogo
menetapkan kedua senior santri Gontor itu menjadi tersangka. Namun pengelola
pesantren dan pihak lain yang terlibat perkara ini harus ikut diseret ke
ranah hukum. Kepada orang tuanya, pengurus pesantren Gontor menyatakan Albar
meninggal karena sakit. Kebohongan ini disokong surat keterangan dokter.
Kongkalikong ini terbongkar setelah keluarga melihat luka lebam di tubuh
korban. Mereka yang ikut dalam rekayasa kematian Albar tak patut lagi menjadi
pendidik. Kekerasan di lingkungan
pesantren sudah berstatus darurat. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak mencatat 37 kasus kekerasan di lingkungan pesantren
sepanjang 2018-2019. Sebanyak 33 persen di antaranya berbentuk kekerasan
fisik dan sisanya kasus pelecehan seksual. Sejak awal 2022, ada empat santri
lain yang meninggal karena dianiaya senior. Publik juga dikagetkan dengan
pemerkosaan belasan santri perempuan oleh pengasuh pondok pesantren di
Bandung, Jawa Barat, pada Januari lalu. Semua kejahatan berada di
ruang tertutup lingkungan pesantren. Ini menjadi bukti pengawasan di
pesantren masih sangat lemah. Ada 34.075 pesantren yang berada di bawah
Kementerian Agama. Pemerintah beralasan kekurangan tenaga untuk memantau
aktivitas dan pendidikan di lingkup internal pesantren. Masih banyak pesantren
yang menutup diri dari dunia luar. Padahal risiko munculnya kekerasan makin
kecil jika pesantren dikelola secara terbuka. Kondisi ini diperparah oleh
kebijakan pola asuh dengan melibatkan kakak kelas. Dalam banyak kasus,
seperti yang terjadi di Gontor, pelaku perundungan adalah para senior. Salah satu solusi
mengakhiri siklus kekerasan ini adalah melarang para senior menjadi
penyelenggara kegiatan ekstrakurikuler. Sebagai lembaga negara yang
membawahkan pesantren, Kementerian Agama seharusnya membangun sistem
pengawasan terpadu semua pesantren. Contohnya menciptakan
aplikasi pengawasan berbasis aplikasi Android. Beberapa pesantren sudah
menerapkan sistem ini. Program ini berisi saluran pengaduan darurat untuk
orang tua dan para santri yang mengalami penganiayaan atau pelecehan seksual.
Sebab, banyak pesantren justru memutus komunikasi antara santri dan keluarga.
Pengelola pondok pesantren
juga mesti berbenah. Kekerasan verbal dan fisik, dengan alasan apa pun, tak
patut diterapkan di sistem pendidikan. Melindungi anak didik sama pentingnya
dengan menyelenggarakan pendidikan. Bagaimana mungkin seorang santri bisa
memahami pelajaran kalau dia kerap merasa terancam di dalam pesantren. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/opini/166952/saatnya-menciptakan-sistem-pengawasan-pondok-pesantren |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar