Ketidakpastian
Global A
Prasetyantoko: penulis artikel ekonomi |
KOMPAS, 26 Juli 2022
Ketidakpastian
adalah musuh terbesar perencanaan. Dan, ekonomi adalah soal proyeksi serta
kalkulasi strategi yang diturunkan dalam anggaran. Semakin hari, proyeksi ekonomi
makin tak pasti sehingga diperlukan imajinasi tentang masa depan berbasis
data yang tersedia saat ini. Akhirnya, perencanaan adalah dialektika antara
visi (cita-cita) dan realitas yang bisa dengan cepat berganti sesuai dengan
perubahan situasi. Pendekatan
ini dikenal sebagai perencanaan berbasis skenario (scenario planning).
Perusahaan Royal Dutch Shell sudah sejak 1970-an mengembangkan pendekatan ini
saat menghadapi ketidakpastian harga minyak akibat konflik politik di kawasan
Timur Tengah dan era hiper-inflasi. Tampaknya pendekatan ini sangat relevan
dengan perkembangan terkini saat ketidakpastian kian meninggi. Sejauh
ini konsensus proyeksi perekonomian global beberapa tahun ke depan adalah
stagflasi atau era di mana pertumbuhan ekonomi rendah, sementara inflasi
tinggi. Konsekuensinya, tingkat kesejahteraan akan menurun. Stagflasi telah
menjadi baseline scenario atau situasi yang paling mungkin terjadi. Di
beberapa negara, resesi menjadi skenario terburuk (worst-case scenario) yang
mungkin terjadi. Perekonomian
global bisa terhindar dari stagflasi jika mampu melakukan transformasi sisi
penawaran, seperti efisiensi faktor produksi dan perbaikan sistem logistik.
Sayangnya, justru aspek ini yang terus memburuk sejak perang dagang, pandemi,
dan kini diperparah dengan krisis Ukraina. Dengan kata lain, skenario terbaik
(best-case scenario) secara global nyaris tak mungkin terjadi. Bagaimana
skenario perekonomian domestik di tengah ketidakpastian global? Dan, apakah
kita mampu menciptakan best-case scenario? Skenario
Indonesia Bank
Pembangunan Asia baru saja menerbitkan laporan tambahan Asian Development
Outlook edisi Juli 2022. Laporan ini merevisi ke bawah pertumbuhan kawasan
Asia yang pada April lalu diproyeksikan 5,2 persen menjadi 4,5 persen
terseret perlambatan global. Sementara Asia Timur direvisi dari 4,7 persen
menjadi 3,8 persen akibat perlambatan pertumbuhan China yang diperkirakan
hanya akan tumbuh 4 persen saja tahun ini. Pertumbuhan kawasan Asia Selatan
juga direvisi dari 7 persen menjadi 6,5 persen. Stagflasi
global telah menyeret kinerja pertumbuhan ekonomi di hampir semua kawasan
Asia. Meski begitu, kawasan Asia Tenggara justru mengalami kenaikan proyeksi
pertumbuhan ekonomi dari 4,9 persen menjadi 5 persen. Pertumbuhan ekonomi
Indonesia oleh ADB proyeksinya dinaikkan dari perkiraan semula sebesar 5
persen menjadi 5,2 persen. Kuatnya
permintaan domestik dan peningkatan ekspor disebut sebagai faktor utamanya
perbaikan kinerja perekonomian Indonesia. Pulihnya aktivitas ekonomi
pascapandemi telah mendorong penciptaan lapangan kerja yang secara agregat
telah menciptakan penerimaan masyarakat. Dan, penguatan penerimaan ini pada
gilirannya mendorong permintaan pada barang dan jasa yang direspons dengan
optimisme sektor dunia usaha. Optimisme dunia usaha ditandai dengan
peningkatan kredit sektor swasta yang pada gilirannya mendorong aktivitas
investasi. Selain
didorong perbaikan permintaan domestik, peningkatan proyeksi pertumbuhan
ekonomi ditopang penguatan kinerja ekspor. Penerimaan ekspor meningkat
seiring lonjakan harga komoditas, seperti batubara, minyak sawit, dan nikel.
Kenaikan harga minyak juga punya implikasi terhadap pembengkakan subsidi
bensin, listrik, dan gas, tetapi sejauh ini peningkatan penerimaan fiskal
masih lebih besar. Meski begitu, pertanyaannya apakah fiskal akan terus
menopang subsidi atau dialihkan untuk alokasi yang lebih produktif. Skenario
stagflasi global ternyata memberikan efek yang tidak seragam. Tidak demikian
dengan dampak kenaikan harga, hampir semua negara di seluruh dunia tak mampu
mengelakkannya. Inflasi kawasan Asia Tenggara dinaikkan perkiraannya dari 3,7
persen menjadi 4,7 persen. Sementara inflasi Indonesia yang semula
diperkirakan 3,7 persen dinaikkan menjadi 4 persen. Masalahnya,
jika inflasi terus tinggi dan suku bunga mulai naik, pada gilirannya
pertumbuhan ekonomi juga akan tergerus. Salah satu kunci mempertahankan
pertumbuhan adalah mengelola kebijakan moneter yang pro-pertumbuhan sekaligus
pro-stabilitas. Itulah mengapa, meskipun inflasi Juni sudah mencapai 4,3
persen, Bank Indonesia masih mempertahankan suku bunga acuan sebesar 3,5
persen. Inflasi
Juni lebih banyak didorong volatilitas harga pangan yang cenderung meningkat,
sementara inflasi inti dan harga yang dipengaruhi pemerintah masih relatif terkendali.
Persoalannya, situasi global tak menunjukkan perbaikan situasi sehingga
potensi harga pangan dan energi tinggi akan terus terjadi. Situasinya
mirip dengan Amerika Serikat dan negara maju lainnya di mana respons
kebijakan bank sentral dinilai terlambat oleh satu kubu pendapat. Namun, kubu
lain berpendapat, inflasi kali ini tak disebabkan ekses likuiditas, tetapi
inefisiensi produksi. Akibatnya, suku bunga saja tak akan mampu menyelesaikan
persoalan sehingga tak perlu terburu-buru menaikkannya. Situasi
global memang mengkhawatirkan. Perang tak memberikan keuntungan pada satu
negara pun. Masa depan sungguh dipertaruhkan dengan begitu tingginya
ketidakpastian. Kita beruntung, perekonomian domestik tak mengalami tekanan
sebagaimana dialami banyak negara lain. Meski begitu, jika situasi
ketidakpastian ini tak segera selesai, tak ada jaminan situasi kita akan
aman. Bisa jadi skenario buruk yang terjadi. Dalam
situasi seperti ini, kebijakan moneter dan fiskal harus terkoordinasi dengan
baik agar kenaikan suku bunga meski tak bisa dihindari tidak mengorbankan
pertumbuhan. Begitu pula dengan kebijakan fiskal yang harus lebih fleksibel
dengan tetap berorientasi pada peningkatan produktivitas domestik. Pengalihan
subsidi kepada kelompok menengah atas serta mengalihkannya untuk kelompok
menengah bawah perlu dilakukan secara proporsional. Respons
terhadap ketidakpastian adalah kelenturan dalam menyusun perencanaan. Dan,
untuk itu dibutuhkan kemampuan imajinasi yang kuat tentang masa depan atau
yang dikenal sebagai ”What-If Scenario”. ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/25/ketidakpastian-global |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar