Survei
Abal-Abal Gaudensius
Suhardi: Dewan Redaksi Media Group |
MEDIA NDONESIA, 21 Juli 2022
TEMAN saya
langsung protes sambil menunjukkan berita di mediaindonesia.com pada 4 Juni
2022. Dia protes atas berita yang menyebutkan popularitas Puan ungguli Ganjar. “Semua lembaga survei menyebutkan Ganjar Pranowo,
Prabowo Subianto, dan Anies Baswedan berada di peringkat atas capres 2024.
Kok, di berita ini disebutkan popularitas Puan Maharani 69,3%, sedangkan
Ganjar hanya 61,4%,” temanku meneruskan protesnya. Ia kembali menikmati kopi
panas dengan menyeruputnya. Saya langsung gerah ketika kawan itu menuding
lembaga survei membela yang bayar. Kata saya, benar bahwa ada lembaga riset
abal-abal yang bisa dibayar untuk memanipulasi data. Akan tetapi, jauh lebih banyak
lagi lembaga survei yang punya integritas. Teman saya itu tidak bisa membedakan popularitas dan
elektabilitas. Popularitas ialah tingkat keterkenalan di mata publik.
Meskipun populer, belum tentu layak dipilih yang dilihat dari tingkat
elektabilitasnya. Popularitas dan elektabilitas merupakan dua hal berbeda,
tapi keduanya saling mendukung. Bangsa ini patut berterima kasih kepada lembaga
survei yang menjadi bintang penunjuk arah dalam kegelapan pemilu. Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 98/PUU-VII/2009 menyebutkan survei opini publik
tidak hanya meneliti mengenai popularitas calon presiden dan wakil presiden
yang bertarung dalam pemilu. Survei, menurut MK, juga meneliti pengetahuan
pemilih mengenai tata cara pemilu, rekam jejak (track record) dan pemahaman
rakyat tentang program yang ditawarkan calon presiden dan wakil presiden yang
berguna untuk meningkatkan kualitas pemilu. Sejak 2004, survei menjadi pilihan yang cepat untuk
mengukur persepsi pemilih terhadap kandidat atau partai. Arya Fernandes dari
CSIS menjelaskan bahwa kehadiran lembaga survei yang mengalami perkembangan
signifikan setelah 2004 disumbang oleh sejumlah akademisi yang baru
menyelesaikan pendidikan di luar negeri. Di antaranya, keberadaan Lembaga
Survei Indonesia (LSI) yang didirikan Saiful Mujani dan Denny Januar Ali pada
awal 2000. Sejak itu, lembaga survei tumbuh bak cendawan pada
musim hujan. Terdapat 40 lembaga survei yang terdaftar di Komisi Pemilihan
Umum pada Pemilu 2019. Angka itu malah turun dari Pemilu 2014 dengan 56 lembaga
survei yang terdaftar di KPU. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu
menempatkan survei menjadi bagian dari partisipasi masyarakat. Terkait dengan
penghitungan cepat hasil pemilu, menurut Pasal 449 ayat (4), wajib
memberitahukan sumber dana, metodologi yang digunakan, dan hasil penghitungan
cepat yang dilakukannya bukan merupakan hasil resmi penyelenggara pemilu. Amat disayangkan jika kewajiban lembaga survei itu
hanya terkait dengan kegiatan hitung cepat hasil pemilu. Artinya, lembaga
survei yang saat ini getol melakukan survei terkait dengan popularitas dan
elektabilitas calon presiden tidak dikenai kewajiban untuk mengumumkan sumber
pendanaan. Atas dasar itulah diam-diam saya membenarkan
tudingan teman saya bahwa lembaga survei membela yang bayar. Meski demikian,
tidaklah susah-susah amat membedakan kegiatan survei berdasarkan pesanan atau
murni sebagai kegiatan ilmiah. Cara membedakannya ialah hasil riset abal-abal pasti
bertolak belakang dengan hasil riset kebanyakan lembaga survei. Saat ini,
hampir semua lembaga survei menempatkan Ganjar, Prabowo, dan Anies pada
urutan teratas. Jika ada nama yang tiba-tiba menyodok ke peringkat atas dari
sisi elektabilitas, patut diduga itu riset abal-abal alias pesanan sponsor. Kiranya lembaga survei menjunjung tinggi muruah
putusan MK Nomor 9/PUU-VII/2009 yang menyebutkan jajak pendapat atau survei
merupakan ilmu dan sekaligus seni. Menurut MK, penyusunan sampel dan angket, penyediaan
perlengkapan survei, serta analisis hasilnya merupakan ilmu penelitian
pendapat publik berdasarkan metode dan teknik yang sudah mantap dan absah,
sedangkan seninya terletak dalam penyusunan pertanyaan dan pilihan kata yang
dipakai dalam pertanyaan. Kata teman saya, agar lembaga survei tetap dipercaya
masyarakat, mestinya ia tetap merawat profesionalitas, integritas, dan
independensi. Ketika mengumumkan popularitas atau elektabilitas capres, elok
nian bila lembaga survei itu berterus terang apakah saat itu ia berstatus
sebagai lembaga riset atau konsultan politik. “Saat ini sulit dibedakan
antara lembaga survei yang berperan sebagai pollster dan konsultan politik,”
katanya. Karena sulit membedakannya, saya membisiki teman
itu, nikmati saja hasil survei yang ada. Toh, pada akhirnya hanya partai atau
gabungan partai politik yang memenuhi ambang batas yang boleh mengajukan
calon presiden. Mereka yang berada di peringkat atas hasil survei belum tentu
mendapatkan perahu. ● Sumber :
https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/2508-survei-abal-abal |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar