Stagflasi Menghantui
Mukhaer Pakkanna : Rektor
Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta
SINDONEWS, 20
Juli
2022
TREN kenaikan
inflasi tahunan makin nyata. Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 1 Juli
2022, inflasi Indonesia melesat secara tahunan mencapai level tertinggi sejak
Juni 2017, dan pada Juni 2022 berada pada level 4,35%. Lebih tinggi
dibandingkan Mei 2022 yang 3,55%. Kenaikan itu
dominan dipicu faktor suplai dan imported inflation. Kendati demikian,
ekonomi Indonesia masih ditolong oleh tingginya harga ekspor komoditas
(batubara, sawit, nikel, dan lainnya), sehingga terjadi windfall dalam
penerimaan negara. Di sudut lain,
pertumbuhan ekonomi nasional kuartal II 2022, diestimasi mulai bergerak
slowdown (bergerak turun). Tentu, masih jauh lebih baik dari beberapa negara
berkembang dan negara maju lainnya yang telah mengalami resesi, krisis, dan
kontraksi. Lembaga keuangan internasional seperti, IMF dan Bank Dunia, mengestimasi,
pertumbuhan ekonomi Indonesia juga akan tergerus jika ketidakpastian ekonomi
dunia terus menggelayut. Stagnasi dan
kontraksi pertumbuhan ekonomi yang dibayangi inflasi tinggi telah menjadi
”hantu” ekonomi dunia saat ini. Bahkan, jauh sebelum invasi Rusia ke Ukraina
pun, negara-negara maju seperti Amerika, Inggris, Perancis, telah berhadapan
dengan grafik inflasi tinggi. Harga minyak
mentah, gas, minyak sawit, bahan pangan, energi, dan barang substitusi
misalnya, telah tergerek naik dan telah memantik eskalasi masalah. Setalian
dengan itu, perubahan iklim global, juga turut menyeret kompleksitas
problema, sehingga angka pengangguran dan kemiskinan segera akan membubung.
Padahal, pandemi Covid-19 dan dampak sosial ekonominya, juga masih jauh disebut
pulih. Per definisi,
stagflasi merupakan varian dari konjungtor ekonomi yang setiap rentang waktu
tertentu menghantui aktivitas ekonomi makro. Di saat inflasi merangkak naik,
kemudian diiringi pertumbuhan ekonomi nasional bergerak turun, stagflasi mulai
membayangi. Ihwal ini kian mengkhawatirkan jika disertai tingginya angka
pengangguran. Fenomena ini
tentu agak berbeda saat kontraksi ekonomi pada masa pandemi Covid-19 (2020
dan 2021) lalu, yaitu pertumbuhan rendah atau minus, diiringi pengangguran tinggi
serta konsumsi rumah tangga melemah, sehingga berdampak pada laju inflasi
bergerak rendah. Namun, sejak
invasi Rusia ke Ukraina, otomatis rantai pasokan terganggu, sehingga
cost-push inflation makin nyata. Asumsi makro harga minyak US$63 per barel yang
dipatok APBN 2022, telah mendorong terkereknya harga minyak dunia menjadi di
atas USD100 per barrel. Indonesia merupakan net importir minyak mentah, di
mana produksinya hanya 700.000 barel bph. Sementara, konsumsinya 1,4 juta bph
hingga 1,5 juta bph. Demikian pula
pada gas. Pada 2021, Indonesia mengimpor gas dari AS sebesar 3,78 juta ton.
Angka tersebut porsinya 58,93% dari total impor gas nasional. Padahal,
Indonesia memiliki sumber daya energi yang bisa menjadi bahan bakar
alternatif pengganti LPG, seperti batu bara, yang dilakukan proses gasifikasi
menjadi Dimethyl Ether (DME) dan gas alam yang melimpah di Tanah Air. Tentu,
jika kondisi itu terus berlangsung memicu defisit minyak dan gas untuk selalu
mengandalkan impor. Di sisi
pengeluaran, memberikan tekanan pada APBN 2022. Dengan target defisit APBN
4,85%, alokasi anggaran subsidi energi Rp134,02 triliun, terdiri dari subsidi
jenis BBM tertentu dan LPG 3 kg sebesar Rp77,54 triliun serta subsidi listrik
Rp56,47 triliun. Meroketnya
harga minyak dan gas ini akan terus memantik kenaikan harga pada bulan-bulan
berikutnya. Mengonfirmasi riset Maybank dalam IHK (Indeks Harga Konsumen),
bobot energi menyumbang 10–18%: Indonesia (17,5%), Filipina (14,8#), Malaysia
(13,7%), dan Thailand (12%). Merujuk data
S&P Global Commodity Insights (2/2), Rusia melarang ekspor amonium nitrat
(AN), bahan dasar pembuatan pupuk. Tentu, ini bakal memantik kenaikan harga
pupuk. Sebanyak 15,75% pupuk impor Indonesia berasal dari Rusia. Jika
hambatan amonium nitrat dan pupuk di Rusia berlangsung lama, harga pupuk
subsidi akan melangit, memengaruhi biaya pertanian. Dampaknya, Nilai Tukar
Petani (NTP) kembali terperosok. Di lain sisi,
konferensi Food & Agriculture Organization (FAO) di Roma, Italia, pada 10
- 11 Maret 2022, juga mengestimasi skenario jangka pendek (2022-2023), harga
pangan dan pakan internasional akan meningkat 8-22%. Harga gandum naik 21,5%,
jagung naik 19,5%, biji-bijian, terutama bunga matahari naik 17,9% dan
berakibat naiknya minyak nabati lain sebagai substitusi. Eskalasi
ketegangan geopolitik yang diikuti dengan pengenaan sanksi pelbagai negara
terhadap Rusia, telah berdampak pada defisit transaksi perdagangan,
pergerakan harga komoditas dan turbulensi pasar keuangan global.
Negara-negara yang kurang memiliki basis sumberdaya alam/mineral yang kuat
dan tingkat ketergantungan impor pangan dunia yang tinggi akan makin
kelimpungan. David Malpass, Presiden Bank Dunia (4/3/2022) pun “angkat
tangan”, invasi Rusia ke Ukraina memantik perlambatan pertumbuhan ekonomi
global. Maka, dampak
terburuk stagflasi adalah berkurangya lapangan kerja formal, berkonsekuensi
tingkat pengangguran yang tinggi. Data Survei Angkatan Kerja Nasional
(Sakernas) oleh BPS (Maret 2022) mencatat, jumlah pekerja yang terserap di
sektor informal meningkat dibandingkan dengan kondisi pra-pandemi. Pada Agustus
2019, pekerja informal 55,72% dari total angkatan kerja (70,49 juta orang),
sedangkan pada Agustus 2021, meningkat ke 59,45% (77,91 juta orang. Tingginya
angka pekerja informal itu mengirim sinyal, begitu banyaknya angkatan kerja
yang bekerja mandiri, seperti, pekerja kaki lima (PKL), buruh bangunan, buruh
tani, buruh nelayan, asisten rumah tangga, dan lainnya. Pekerja-pekerja
informal ini adalah bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Mereka perlu
pendampingan, pelatihan, dan advokasi. Eskalasi ketidakpastian ini
diperkirakan akan berlangsung lama. Terdongkraknya penerimana negara dari
devisa ekspor batubara, sawit, nikel, dan lainnya, yang harganya naik
signifikan akibat gejolak geopolitik, seyogianya windfall income tersebut--
diperkirakan oleh pemerintah mencapai Rp420 triliun per 30 Juni 2022,
diarahkan pada program-program nyata pada pemberdayaan yang tepat sasaran,
termasuk pengadaan dan perbaikan jaringan infrastruktur internet untuk
mendukung kualitas pendidikan dan aksesibilitas masyarakat rentan. ● Sumber
: https://nasional.sindonews.com/read/831957/18/stagflasi-menghantui-1658315268?showpage=all |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar