Polemik PSE Lingkup Privat: Ancaman
Blokir hingga Pasal Karet Adi Briantika : Jurnalis Tirto.id |
TIRTO.ID, 22 Juli 2022
Peraturan
Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) Nomor 5 Tahun 2020 tentang
Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat menuai polemik. Bukan hanya
persoalan administrasi PSE dan ancaman pemblokiran saja, tapi juga ada ‘pasal
karet dan multitafsir’ termaktub dalam regulasi yang diteken Menteri Komunikasi
dan Informatika, Johnny G. Plate. Salah satunya
Pasal 9 ayat (4) huruf b yang menyebutkan bahwa informasi elektronik dan/atau
dokumen elektronik dilarang meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban
umum. Poin “meresahkan masyarakat” dan “mengganggu ketertiban umum” dinilai
tak jelas indikatornya. Direktur
Eksekutif Remotivi, Yovantra Arief berpendapat, definisi ‘meresahkan dan
mengganggu ketertiban umum’ tidak dijelaskan gamblang dalam peraturan itu.
Sementara pemerintah juga mencantumkan soal ‘pornografi anak’ dan ‘terorisme’
–dua hal terakhir lebih jelas indikatornya—. “Meresahkan
masyarakat itu seperti apa? Bisa saja (pemerintah) menyebutkan sebagai ajakan
untuk makar, misalnya, atau ajakan untuk melakukan kekerasan terhadap
kelompok tertentu. Itu lebih jelas,” ucap dia kepada reporter Tirto, Kamis,
21 Juli 2022. Ketidakjelasan
ini bisa menimbulkan banyak interpretasi, kata Yovamtra. Hal tersebut, tak
cuma warga yang berpotensi jadi korban kriminalisasi aturan ini, bahkan
jurnalis pun bisa jadi korban. Umpama, ada
pemberitaan perihal dugaan korupsi oleh pejabat daerah. Lalu, jurnalis
memberitakan hal tersebut dan muncul keresahan penduduk daerah tersebut
karena rasuah yang dilakukan si pemimpin wilayah. “Warga yang resah dengan
kondisi sekitar, itu hal yang baik. Karena kalau tidak resah, orang tak mau
melakukan perubahan. Maka pasal ini akan sangat berbahaya bagi demokrasi.” Yovantra
menilai tidak mungkin jajaran Kominfo tak paham memberikan indikator tingkat
kejelasan. Bahkan pemerintah bisa bekerja sama dengan koalisi masyarakat
sipil untuk merumuskan definisi yang lebih spesifik. Lalu, apa yang
menyebabkan pemerintah ‘hobi’ menyisipkan ‘pasal karet’ yang merugikan
rakyat? Yovantra
berpendapat hal ini seolah menjadi tren. Ambil saja contoh RKUHP yang
memasukkan pasal penghinaan presiden. “Saya rasa ini tren. Tren di mana
pemerintah akhirnya lebih peduli soal bagaimana warga menggunakan media
sosial,” ucap dia. Seakan-akan
mengajak para pengguna media sosial agar ‘lebih sopan’ di dunia maya itu.
Definisi sopan itu bisa saja seperti tidak mengkritik pemerintah atau publik
tak perlu resah terhadap kelakuan pemerintah. “Kalau pakai
definisi yang sama, sebenarnya Kominfo sekarang sedang membuat keresahan
publik. Dia mengancam memblokir Google dan sebagainya, publik resah.
Bagaimana tidak resah? Publik pakai (aplikasi) itu semua. Semua orang resah,
tapi tak bakal ada yang melaporkan Kominfo meresahkan masyarakat, kan?”
terang Yovantra. Kendali Utuh yang Pincang Peneliti
Bidang Hukum di The Indonesian Institute, Hemi Lavour Febrinandez menilai,
kewajiban bagi PSE untuk mendaftarkan diri ke Kominfo akan menjadi awal
kontrol penuh negara di ruang digital. Hal tersebut dapat dilihat dari
regulasi yang dijadikan sebagai dasar hukum dan kecenderungan pemerintah
untuk melakukan moderasi konten di internet. Misalnya
melirik persoalan ini dari kacamata perlindungan data pribadi masyarakat
sebagai pengguna. Pasal 3 ayat (4) aturan ini yang memerintahkan PSE Lingkup
Privat untuk memberikan perlindungan data pribadi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan, ketentuan ini saja sebenarnya sudah bermasalah. “Ketentuan
terkait pengumpulan hingga pemprosesan data pribadi hanya diatur secara
parsial dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tanpa adanya
undang-undang khusus yang memayungi aturan pelaksana tersebut,” kata dia
kepada reporter Tirto, Kamis (21/7/2022). UU ITE juga
tidak dapat dijadikan sebagai cantolan utama terkait mekanisme penggunaan
data pribadi ini. Hanya terdapat satu ayat, yaitu Pasal 26 ayat (1) UU ITE
yang memuat ketentuan tentang data pribadi. Ketiadaan pengaturan hukum yang
spesifik terkait perlindungan data pribadi membuat kewajiban bagi PSE untuk
mendaftarkan diri merupakan langkah yang terburu-buru oleh pemerintah. “Seharusnya
pemerintah bersama dengan DPR selaku pembuat undang-undang segera mengesahkan
Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) sebelum
mengeluarkan kebijakan yang berdampak besar di ruang digital,” tegas Hemi. Moderasi terhadap
konten yang dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan
dapat menimbulkan keonaran dalam masyarakat sebenarnya harus kembali ditinjau
ulang. Selain karena
tidak ada tolok ukur yang jelas, moderasi konten di internet juga akan mengancam
hak masyarakat untuk berekspresi dan menyampaikan pendapat. “Pada akhirnya
publik bisa bertanya kepada pemerintah, sebenarnya tujuan pendaftaran PSE ini
kebutuhan dan kehendak siapa?” kata Hemi mempertanyakan. Sesuka Negara Permenkominfo
5/2020 ini juga mencantumkan ihwal pengawasan. Definisi 'pengawasan' pun
sangat luas. Pasal 21 ayat (1) menjelaskan bahwa pengawasan dilakukan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Sayangnya, saat ini legislasi utama
terkait perlindungan data pribadi yang komprehensif yakni RUU PDP belum
disahkan. Minimnya
regulasi dan mekanisme pengawasan PDP menyebabkan potensi penyalahgunaan
wewenang yang tinggi. “Jika nantinya, otoritas PDP yang didirikan berdasarkan
RUU PDP, disematkan sebagai bagian dari kementerian/lembaga atau lembaga
pemerintah nonkementerian, otomatis pemerintah akan mengawasi dirinya sendiri
sehingga potensi penyalahgunaan kekuasaan akan sangat tinggi,” kata peneliti
Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat, Alia Yofira dalam diskusi daring,
Kamis (21/7/2022). Tidak hanya
kementerian atau lembaga, aparat penegak hukum juga bisa minta akses terhadap
sistem elektronik untuk pengawasan. Bahkan tidak ada kewajiban untuk meminta
surat penetapan dari pengadilan negeri. Kemudian Pasal 23 ayat (1) mengatur
bahwa akses terhadap sistem elektronik untuk pengawasan disampaikan secara
tertulis berdasarkan pada penilaian atas kepentingan pengawasan dan
proporsionalitas serta legalitas. Masalah lain
dari Permenkominfo ini ialah jangka waktu yang sempit untuk memenuhi permintaan
akses. Pasal 27 dan Pasal 31 mengatur bahwa PSE Privat harus memenuhi
permintaan akses dalam lima hari kalendar. Jangka waktu yang relatif sempit
ini tidak memberikan waktu yang cukup bagi PSE Privat untuk menganalisis
secara saksama apakah permintaan akses tersebut sudah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Keleluasaan
negara tercermin lagi dalam pasal lain. “Tidak ada kewajiban untuk
mendapatkan surat penetapan dari pengadilan untuk akses terhadap data
elektronik,” tutur Alia. Hal itu tercantum
dalam Pasal 32 yang hanya mengatur bahwa akses terhadap data elektronik oleh
aparat penegak hukum untuk tindak pidana dengan ancaman pidana penjara paling
singkat 2 tahun. “Tidak ada prasyarat untuk mendapatkan penetapan pengadilan
terlebih dahulu,” kata Alia. Perusahaan
pers dan jurnalis juga terancam dengan adanya Permenkominfo 5/2020. Pasal 2
ayat (2) huruf b menegaskan kriteria PSE Lingkup Privat, salah satunya yang
memiliki portal, situs, atau aplikasi dalam jaringan melalui internet
dipergunakan untuk layanan mesin pencari, layanan penyediaan informasi
elektronik yang berbentuk tulisan, suara, gambar, animasi, musik, video,
film, dan permainan atau kombinasi dari sebagian dan/atau seluruhnya. “Dalam hal
ini, pers, ya dia menyediakan informasi. Menyediakan gambar, suara, rekaman
video. Masukkah (pers) dalam PSE Lingkup Privat? Iya,” kata Direktur
Eksekutif LBH Pers, Ade Wahyudin, dalam diskusi daring. “Artinya termasuk
perusahaan media, tidak ada terkecuali di dalamnya.” Ade menilai,
potensi penyensoran sangat besar karena peraturan ini, sehingga ruang-ruang
demokrasi digital semakin menyempit atau bahkan lenyap. Permenkominfo
5/2022 ini turut melanggar prinsip legalitas, kata dia. Dalam Pasal 9 ayat
(4) dan Pasal 14 ayat (3), tidak disebutkan secara jelas mengenai tujuan
pelarangan beberapa perbuatan tersebut. Selain itu, potensi pembungkaman
kebebasan berekspresi yang bertentangan dengan konstitusi menyebabkan
pembatasan itu tidaklah sah menurut hukum. “Siapa yang
berhak menafsirkan bahwa informasi yang muncul oleh sebuah media atau blog
itu meresahkan?” kata Ade perihal pasal multitafsir di regulasi ini. Menurut Ade,
semestinya pemerintah bisa memberikan kepastian mengenai bagaimana pembatasan
hak tersebut dilakukukan, sehingga warga negara atau lembaga yang terdampak
akibat pembatasan hak, mengetahui pertimbangan pembatasan hak atas informasi. Respons Kementerian Kominfo Direktur
Jenderal Aplikasi Informatika Kominfo, Semuel Abrijani Pangerapan mengklaim,
tidak ada ‘pasal karet’ dalam Permenkominfo tersebut. “Tidak ada pasal karet.
Sangat jelas, pasal yang mana?” kata dia, Kamis (21/7/2022). Ia menilai,
banyak yang bicara tentang konten yang meresahkan dan mengganggu kepentingan
umum. Terkait pasal itu harus ada dua unsur, yakni harus benar-benar
meresahkan dan harus benar-benar mengganggu. Yang terpenting, harus ada
kejadiannya. “Contoh yang
paling konkret baru saja terjadi, ada pemuka agama lain mengkritisi agama
lain tentang kitab sucinya dan jadi ramai. Itu sudah mengganggu dan benar-benar
ramai di sosial media, sampai menko pun turun tangan. Jadi tidak ada yang
namanya pasal karet,” kata Semuel. ● |
Sumber
: https://tirto.id/polemik-pse-lingkup-privat-ancaman-blokir-hingga-pasal-karet-gukU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar