Pengaturan dan
Pengawasan Praktik Telemedisin
Slamet Riyadi : Anggota
Komisi Penelitian dan Pengembangan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN)
SINDONEWS, 21
Juli
2022
PENGGUNA internet
di Indonesia kian meningkat. Peningkatan tersebut diikuti dengan masifnya
penggunaan berbagai aplikasi dan layanan digital. Saat pandemi Covid-19,
pelayanan medis jarak jauh (telemedisin) menjadi salah satu layanan digital
yang banyak digunakan. Hasil survei
dari Katadata Insight Center yang berlangsung sejak Februari – Maret 2022
menunjukkan bahwa selama enam bulan terakhir, pengguna baru layanan
telemedisin telah mencapai angka 44,1%. Layanan telemedisin terbanyak yang
digunakan adalah Good Doctor, Alodokter, Halodoc, dan beberapa aplikasi
lainnya. Konsumen semakin dipermudah dengan adanya layanan telemedisin ini,
karena hemat waktu dan biaya perjalanan, bisa digunakan kapan dan di mana
saja, serta dapat menghindari penularan Covid-19. Layanan
telemedisin sebenarnya bukan tempat praktik atau fasilitas kesehatan
(faskes), tetapi hanya sarana yang menghubungkan antara faskes dengan pasien.
Layanan ini juga sebenarnya bertujuan untuk menurunkan tren swamedikasi.
Telemedisin dapat mempersempit kekeliruan masyarakat dalam mengonsumsi obat
bebas dan obat wajib apotek yang dilakukan secara swamedikasi oleh
masyarakat. Pada prinsipnya, telemedisin ini bertujuan untuk meningkatkan
personal health, akses health service, serta regional dan global health
security. Masalah Telemedisin Telemedisinmemang
menawarkan berbagai kemudahan, namun di samping itu juga banyak kekhawatiran
yang muncul. Pada beberapa layanan telemedisin, seringkali dokter memberikan
resep obat setelah dilakukan konsultasi melalui fitur chat. Hal ini
dikhawatirkan akan menyebabkan adanya salah diagnosis ataupun kekeliruan
terapi yang dapat merugikan pasien. Berbagai isu
lainnya yang muncul pada layanan telemedisin di antaranya fenomena dokteroid
(bukan dokter namun mengaku dokter), kejelasan perjanjian terapeutik/informed
consent, standardisasi alat, serta isu perlindungan privasi data pasien. Kebanyakan
permasalahan yang terjadi antara dokter dan pasien pada layanan telemedisin
adalah terkait masalah komunikasi. Telemedisin merupakan salah satu
alternatif bagi dokter dengan pasien untuk berkomunikasi, namun sifatnya
darurat. Untuk sebagian orang, pengobatan lebih baik dilakukan apabila
bertemu langsung dengan dokter karena ada jalan selesainya. Sebagai salah
satu wujud perlindungan terhadap pasien, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran telah mengatur bahwa seorang dokter wajib memiliki
Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktik (SIP). Sesuai dengan
Pasal 37 ayat (2), dokter hanya bisa praktik terbatas pada tiga lokasi saja.
Tetapi, dengan adanya layanan kesehatan online, lokasi praktik dokter tidak
terbatas dan bisa di mana saja. Berkaitan
dengan kontrak terapeutik mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak,
layanan telemedisin hanya mengandalkan kepercayaan (trust) antara pasien
dengan dokter. Pada layanan kesehatan online, tidak bisa dipastikan pihak
yang nantinya bertanggung jawab ketika terjadi hal-hal yang merugikan pasien
karena adanya kekeliruan diagnosis maupun kesalahan saat terapi. Sampai saat
ini, layanan kesehatan online (telemedisin) di Indonesia belum memiliki
regulasi yang spesifik. Belum diatur mengenai kriteria device yang digunakan,
mekanisme pemberian resep secara online, dan perlindungan pasien jika terjadi
malapraktik. Kelonggaran pelaksanaan layanan telemedisin di masa Pandemi
Covid-19 sebaiknya juga perlu diikuti dengan peningkatan perhatian terhadap
perlindungan dan keamanan pasien. Keamanan dan
kerahasiaan data rekam medis pasien masih menjadi isu pada layanan
telemedisin, meskipun telah ada UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2016
Tentang Perubahan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik, PP 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi
Elektronik, serta Permenkes Nomor 269 Tahun 2008 tentang Rekam Medis yang
menyebutkan bahwa fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) harus memegang
teguh prinsip kerahasiaan dan keamanan data. Perlindungan
konsumen pada layanan telemedisin masih lemah. Hal ini ditunjukkan dengan
adanya pelayanan yang kurang efektif karena tidak adanya interaksi secara
langsung antara dokter dengan pasien yang memungkinkan terjadinya kesalahan
diagnosis. Selain itu,
belum terdapat aturan atau standar layanan telemedisin, sehingga
mengakibatkan tarif yang dibayarkan kepada dokter menjadi tidak seragam antar
platform. Pengawasan terhadap aplikasi telemedisin juga belum efektif, karena
belum ada pihak otoritas yang berwenang untuk menjatuhkan sanksi. Regulasi dan Pengawasan Telemedisin Pesatnya
perkembangan telemedisin dapat didukung oleh Kementerian Kesehatan dengan
memberlakukan regulatory sandbox yang efektif, sehingga para pelaku usaha
terdorong untuk melakukan uji terhadap aplikasinya baik dari sisi tampilan,
model usaha, maupun mekanisme pelayanan sehingga tidak bertentangan dengan
regulasi yang ada. Saat ini,
telah ada beberapa program yang dijalankan oleh Kementerian Kesehatan, salah
satunya merevisi Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269 Tahun 2008 tentang
Rekam Medis, di mana di dalam revisi rekam medis tersebut telah diakomodasi
mengenai perlindungan data pribadi pasien dan mengatur mengenai rekam medis
elektronik. Kementerian
Komunikasi dan Informatika terus mengupayakan perlindungan data pribadi
dengan terus mengawal proses RUU Perlindungan Data Pribadi. Nantinya, UU
Perlindungan Data Pribadi ini akan memberikan sanksi tegas bagi platform yang
tidak dapat melindungi data pribadi penggunanya. Kementerian
Komunikasi dan Informatika menyatakan sanksi tegas yang nantinya akan
diterima oleh platform guna memberi efek jera bagi platform agar tidak
menganggap data pribadi pengguna hanya sebagai data aset sehingga hanya
mengejar banyaknya data yang masuk tanpa melakukan upaya perlindungan terhadap
data tersebut. Nantinya data
pribadi menjadi data yang menjadi amanah yang harus dijaga sehingga platform
perlu data protection, adanya personil bersertifikat yang mampu mengelola dan
menjaga kerahasiaan data. Keterlambatan
antisipasi dan adaptasi terhadap cepatnya perkembangan teknologi informasi
dan komunikasi harus dicegah oleh pemerintah dengan menyiapkan perangkat
regulasi yang memadai. Pengaturan terhadap layanan telemedisin perlu
memperhatikan kepentingan dan keselamatan pasien serta tenaga medis. Perlu
adanya regulasi yang diharapkan akan memberikan kemudahan bagi pasien serta
memberikan kepastian hukum dan pedoman bagi tenaga medis dengan tetap menjaga
mutu layanan. Peraturan yang
sekiranya mengatur mengenai layanan telemedisin dan masih relevan dengan
kondisi dapat diatur kembali. Materi yang belum diatur dan perlu diatur
diantaranya tentang pihak penyelenggara telemedisin, hak dan kewajiban para
pihak dalam jasa telemedisin, ruang lingkup layanan, aspek penjaminan mutu,
tanggung jawab pelayanan, tata laksana pelayanan, pengelolaan rekam medis ,
pengawasan dan edukasi terhadap masyarakat. Kementerian
Kesehatan serta Kementerian Komunikasi dan Informatika diharapkan bisa
bersinergi untuk membuat regulasi khusus berkaitan dengan layanan telemedisin,
melindungi hak konsumen telemedisin melalui mekanisme perlindungan
kerahasiaan data pasien, serta melakukan pengawasan terhadap platform layanan
kesehatan online, mengingat penyelenggara sistem elektronik/platform bukan
fasilitas layanan kesehatan namun hanya penghubung antara penyedia layanan
kesehatan dengan konsumen. Selain itu, diperlukan
pengawasan yang lebih ketat terhadap penjualan obat di apotek terpilih maupun
terhadap pemberian resep obat keras melalui layanan telemedisin. Berikutnya, demi
menjaga keamanan dan kenyamanan konsumen, Kementerian Kesehatan perlu
menekankan kepada setiap dokter yang berpraktik untuk menampilkan Surat Izin
Praktek (SIP) dan Surat Tanda Registrasi (STR) ketika melakukan konsultasi
melalui telemedisin. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar