Merancang Strategi
Kebudayaan di Panggung Presidensi G-20 Indonesia Wahyu Seto Aji :
Alumnus Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia, Pamong Budaya Ahli Pertama Kabupaten Semarang |
JAWA POS, 12 Juli 2022
UNTUK pertama
kalinya, Indonesia memegang peranan penting dalam forum kerja sama
multilateral 20 negara dengan perekonomian terbesar di dunia, yaitu G-20.
Indonesia menjadi tuan rumah pada November mendatang. Presidensi tahun ini
menjadi istimewa. Ini karena G-20 tidak hanya dipahami sebagai forum mengenai
keuangan, bisnis, dan ekonomi, tetapi untuk pertama kali kebudayaan akan
dibicarakan sebagai salah satu fokus isu yang signifikan, bersanding isu-isu
utama lainnya. Presidensi
Indonesia ini bisa dikatakan tidak mudah. Ini karena sempat mendapat tekanan
berupa wacana pemboikotan oleh Amerika Serikat dan sejumlah negara barat,
apabila Indonesia mengundang Rusia dalam gelaran G-20 nanti. Hal itu terjadi
akibat ketidakstabilan politik kawasan, yaitu konflik Rusia-Ukraina yang juga
melibatkan kekuatan sejumlah negara anggota G-20. Oleh karena
itu, momentum presidensi yang hanya terjadi 20 tahun sekali bagi negara
anggota ini, harus dimanfaatkan sebaik mungkin oleh Indonesia. Terutama dalam
rangka penanganan sejumlah isu global, dengan tujuan untuk memberi nilai
tambah bagi pemulihan Indonesia di segala lini di tengah pandemi Covid-19
yang belum mereda. Dengan demikian, Indonesia harus menunjukkan kepemimpinan
dalam bidang diplomasi internasional dan ekonomi di kawasan, mengingat
Indonesia merupakan satu-satunya negara di ASEAN yang menjadi anggota G-20. Menteri
Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi RI, Nadiem Anwar Makarim, dalam
acara “Kick Off G-20 on Education and Culture” pada Mei 2022 lalu, mengatakan
bahwa kita harus memikirkan jalan keluar untuk mewujudkan kehidupan
berkelanjutan dengan kembali ke akar budaya, sehingga generasi di masa depan
masih dapat hidup berdampingan dengan alam. Apa yang
diungkapkan Mendikbudristek dengan tajuk “Jalan Kebudayaan untuk Kehidupan
Berkelanjutan” itu sangat relevan. Ini lantaran tatanan dunia mengalami
guncangan hebat akibat badai pandemi. Di sisi lain, kita semua masih belum
siap menghadapi perubahan masif dalam aspek sosial, budaya, industri, dan
teknologi. Merancang
Strategi Kebudayaan Dalam rangka
ikhtiar mewujudkan strategi kebudayaan untuk hidup berkelanjutan, maka ada
sejumlah kebijakan yang perlu dilakukan. Pertama, meminjam pendapat Escobar
(2011) yang menyatakan, bahwa kebudayaan dalam hubungannya dengan hidup
berkelanjutan berperan dalam merancang pluriverse, yaitu bumi sebagai satu
kesatuan hidup yang muncul dari berbagai unsur biofisik, manusia, dan
spiritual yang menyusunnya. Maka kebudayaan harus dikonstruksikan sebagai
aksi untuk bersikap adaptif dalam rangka pemenuhan kebutuhan manusia yang
bersendikan lingkungan dan alam. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (2022), kebudayaan yang selama ini dimaknai sebagai
hasil kegiatan dan penciptaan harus dimutakhirkan bukan lagi sebagai
‘produk’. Akan tetapi, maknanya diperluas sebagai ‘cara’, sehingga kita
sebagai bagian dari warga dunia turut berperan aktif dalam aktivitas inovasi
dan invensi sebagai respon untuk menjawab persoalan menyangkut kebutuhan
dasar manusia. Pemaknaan kembali terhadap istilah kebudayaan merupakan
penguatan konteks sebagai antitesis produk budaya yang selama ini kita pahami
sebagai kebudayaan dalam arti sempit, misalnya kesenian, adat-istiadat,
warisan budaya benda/takbenda, maupun bahasa. Upaya itu dilakukan semata-mata
agar aktivitas budaya tidak bersifat pasif atau hanya terbatas dalam konteks
pelestarian saja. Akan tetapi, persepsi serta kreativitas kita untuk
menciptakan sesuatu tetap tumbuh dalam DNA bangsa Indonesia dan tidak berhenti
pada romansa peninggalan masa lalu yang senantiasa dibanggakan tanpa berbuat
apa-apa. Seturut itu,
keberadaan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) serta Badan Riset dan
Inovasi Daerah (BRIDA) merupakan contoh nyata pemutakhiran lembaga riset
dalam negeri untuk meningkatkan produktivitas penemuan dan pembaruan daya
saing yang holistik dan berkelanjutan. Sementara itu, praktik baik kebudayaan
yang dilakukan perseorangan, kelompok, ataupun lembaga seperti promosi gaya
hidup berkelanjutan dalam menanggapi krisis lingkungan dan ketidakadilan
sosial, patut didukung secara penuh sebagai kampanye pembiasaan normal baru
pascapandemi. Kedua, kita
perlu lebih banyak lagi kebijakan publik berbasis sosial budaya. Relasi
kebudayaan dalam kebijakan publik dikonsepkan sebagai gambaran ideal, desain
hidup, dan cetak biru suatu masyarakat yang menghasilkan nilai budaya dalam
norma sosial dan norma sosial itu tercermin dalam peraturan hukum, serta
pelindungan terhadap norma itu juga terjadi melalui proses hukum (Ihromi,
1984). Berpijak pada pandangan itu, maka perlu dibentuk lebih banyak lagi
kebijakan publik dan regulasi negara yang menitik-beratkan lingkungan serta
sesuai perkembangan kepentingan/situasi sosial yang ada. Sehubungan
itu, perspektif kebudayaan sebagai ‘cara’ perlu diimplementasikan agar relasi
atau hubungan manusia sebagai pembuat kebijakan dengan lingkungan, dimana
manusia tinggal dapat menjamin kelangsungan kehidupan yang harmonis.
Pendekatan ke ruangan seperti ini diharapkan mampu mencegah konflik dan
menjawab dinamika yang sering terjadi di daerah. Bank Dunia
(2014) mengungkapkan bahwa masalah kelangsungan hidup di daerah terjadi
akibat kurangnya kesadaran masyarakat dalam upaya mengatasi masalah
lingkungan, eksploitasi, konflik vertikal/kebijakan desentralisasi yang
salah, dan bencana alam. Penyusunan kebijakan berbasis sosial budaya amat
penting dilakukan, mengingat daerah memiliki kearifan dan pengetahuan lokal
yang perlu digali untuk dapat mempersepsikan pemenuhan kebutuhan dasar
manusia, yaitu sandang, pangan, dan papan berdasarkan ketersediaan sumber
daya yang dimiliki. Dalam
praktiknya, dunia perlu menjamin eksistensi masyarakat adat sebagai bagian
yang tidak terpisahkan dengan ekosistem lingkungan dan alam. Akibatnya,
kebijakan industrialisasi yang mengatasnamakan pembangunan tidak boleh
menggusur keberadaan tanah adat beserta kesatuan masyarakat yang tinggal di
dalamnya. Mengingat kebanyakan konflik terjadi karena
perebutan/pengalihfungsian lahan antara penguasa dan masyarakat. Ketiga, Indonesia
perlu menegaskan langkah konkret dengan memobilisasi negara-negara G-20 untuk
menjadikan kebudayaan sebagai panglima. Perspektif tersebut diperlukan untuk
mengajak warga dunia menggali dan memanfaatkan nilai budaya sebagai
pendekatan kolektif, guna mewujudkan perasaan senasib-sepenanggungan dan
kesadaran komunal. Jadi, presidensi Indonesia juga diharapkan tidak melupakan
keberadaan negara-negara dunia ketiga sebab negara-negara itu masih berkutat
dengan persoalan lingkungan. Permasalahan yang dihadapi negara dunia ketiga
salah satunya disebabkan oleh era liberasi perdagangan yang dilakukan negara
maju, sehingga menyebabkan gap ekonomi tajam terhadap negara berkembang
(Hartati, 2007). Negara dunia
ketiga perlu mendapat perhatian karena faktanya bertindak sebagai ujung
tombak dari pada kelangsungan kehidupan global yang tidak dapat dipisahkan.
Dengan demikian, forum G-20 juga harus memberikan dukungan nyata berbentuk
dana abadi (bukan hutang) dan transfer teknologi kepada negara kurang
berkembang, untuk menghadapi tereduksinya potensi sumber daya mereka akibat
terjangan Covid-19 selama dua tahun terakhir. Sudah saatnya G-20 menjadi
momentum yang memantik kepekaan untuk bangkit bersama tanpa memandang sekat.
Perbedaan ras, ekonomi, dan garis batas politik memang keniscayaan. Namun,
atas nama nilai budaya universal—gotong-royong dan kemanusiaan—semua negara
bisa memilih untuk beraksi dari pada hanya berhenti pada resolusi hitam di
atas putih. Rahayu. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar