Mengurai
Sektoralisme Agraria Usep
Setiawan: Tenaga Ahli Utama di Kantor Staf Presiden |
KOMPAS, 13 Juli 2022
Reshuffle
kabinet pada 15 Juni 2022 menempatkan Hadi Tjahjanto, mantan Panglima TNI
sebagai Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan menggantikan
Sofyan Djalil yang telah menjabat selama enam tahun. Penggantian Menteri ATR/Kepala BPN dilakukan setelah
Presiden menghadiri pertemuan puncak Gugus Tugas Reforma Agraria Nasional di
Wakatobi, Sulawesi Tenggara (9 Juni 2022). Pada pertemuan itu, Presiden
mengungkap kuatnya ego sektoralisme sebagai penyebab rendahnya capaian
reforma agraria selama ini. Presiden meminta semua kementerian/lembaga dan
pemerintah daerah menghentikan ego sektoral untuk mengakselerasi reforma
agraria. Banyaknya persoalan pertanahan tak bisa diselesaikan karena semua
berjalan dengan ego sendiri-sendiri. Karena itu, saling terbuka dan
bersinergi semestinya diterapkan secara nyata, pinta Presiden. Kegiatan reforma agraria, merujuk Perpres No 86/2018
tentang Reforma Agraria, meliputi: (1) penyusunan regulasi dan penyelesaian
konflik agraria, (2) redistribusi pemilikan dan penguasaan tanah, (3)
legalisasi aset melalui sertifikasi tanah, (4) pemberdayaan ekonomi
masyarakat, dan (5) penguatan kelembagaan pelaksana reforma agraria di pusat
dan daerah. Sejak 2018, kelima kegiatan tersebut dipantau dan
dievaluasi Presiden. Secara umum, capaian reforma agraria masih terbilang
rendah. Tingginya capaian dalam kegiatan legalisasi aset ternyata tak cukup
membuat Presiden puas. Evaluasi capaian Dari lima kegiatan reforma agraria, baru pemberian
legalitas tanah rakyat yang berjalan optimal. Sampai saat ini setidaknya
sudah 80,6 juta bidang tanah yang bersertifikat. Jumlah itu, naik hampir dua
kali lipat dari tahun 2015, di mana baru 46 juta dari 126 juta tanah di
Indonesia yang bersertifikat (Kompas, 10/6/2022). Keutuhan pelaksanaan lima kegiatan ini akan
menunjukkan capaiannya secara simultan dan komprehensif dari reforma agraria.
Secara praktis, capaian kelima kegiatan dalam reforma agraria ini akan saling
memengaruhi dampaknya. Misalnya, regulasi yang sinergis lintas-sektor akan
memastikan pelaksanaan reforma agraria menjadi perhatian seluruh kementerian,
lembaga, dan daerah yang terkait. Regulasi yang konfergen bisa memastikan
penyelesaian konflik, redistribusi, legalisasi, pemberdayaan masyarakat, dan
penguatan kelembagaan akan terkoneksi dan saling menunjang. Penyelesaian konflik agraria akan menyumbang kepada
perluasan target redistribusi tanah. Penyelesaian konflik agraria di
perkebunan, kehutanan, dan lainnya selain memperkuat hak rakyat atas tanah,
juga meningkatkan akses rakyat kepada sumber pendapatan dan kesejahteraan. Sementara redistribusi tanah yang berasal dari
pelepasan kawasan hutan dan dari tanah negara sebagai sumber utama tanah
obyek reforma agraria akan berdampak kepada pengurangan ketimpangan dalam
penguasaan dan pemilikan tanah. Redistribusi tanah juga akan membuka peluang
bagi pengurangan kemiskinan dan pengangguran di perdesaan. Kegiatan pemberdayaan ekonomi masyarakat setelah
menerima tanah dan sertifikat melalui redistribusi dan legalisasi tanah juga
sangat penting. Penyediaan berbagai sarana dan prasarana pendukung di bidang
pertanian, perkebunan, perikanan, koperasi, serta usaha kecil dan menengah.
Hal ini membangkitkan sistem produksi rakyat di atas tanah obyek reforma
agraria. Redistribusi dan legalisasi tanah tersambung pada produktivitas
kolektif rakyat. Peningkatan produktivitas rakyat adalah dampak
kuantitatif reforma agraria sebagai program prioritas pemerintah. Presiden
meminta semua delivered bukan hanya sent. Reforma agraria dinilai sukses jika
lahir pembangkitan ekonomi rakyat. Perlu harmonisasi Presiden mengamanatkan percepatan reforma agraria
sebagai agenda utama Menteri ATR baru. Setelah pelantikan, Hadi Tjahjanto
merinci amanat spesifik Presiden kepadanya, yakni percepatan penyelesaian
konflik agraria, percepatan sertipikasi tanah rakyat, dan percepatan
penyediaan tanah untuk Ibu Kota Nusantara. Mengingat tujuan reforma agraria adalah mempersempit
ketimpangan penguasaan dan kepemilikan tanah serta meningkatkan akses ekonomi
dan kesejahteraan masyarakat. Evaluasinya, belum berjalan optimal. Pemerintah
perlu menanggalkan ego sektoral yang ditenggarai menjadi kendala dalam
percepatan reforma agraria. Kasus ego sektoralisme adalah pada percepatan
legalisasi tanah di wilayah pesisir. Latar belakang kenyataan sosial dari
begitu banyaknya masyarakat di daerah yang hidup dan tinggal di daerah
pesisir, termasuk yang bertempat tinggal di atas perairan. Contohnya, penerbitan sertifikat hak atas tanah Suku
Bajo yang tinggal di Wakatobi realisasinya sempat terhambat ego sektoralisme.
Proses penerbitan hak atas tanah di wilayah pesisir yang terhalang ego
sektoralisme ini menyumbat reforma agraria. Kesepakatan Menteri ATR dengan
Menteri Kelautan dan Perikanan dapat melancarkan legalisasi tersebut. Ego sektoralisme juga ditengarai terjadi pada
penataan tanah di dalam kawasan hutan. Konflik agraria di kawasan hutan dan
rumitnya pelepasan kawasan hutan untuk jadi obyek reforma agraria telah
menjadi fenomena berkelanjutan, walau menteri bisa sering berganti. Ego sektoralisme agraria bersumber pada regulasi
yang berbeda antara pertanahan dan kehutanan. UU No 5/1960 tentang
Pokok-pokok Agraria sebagai legislasi yang mengatur pertanahan dan
sumber-sumber agraria, mesti menghadapi UU 41/1999 tentang Kehutanan. Ketika
kedua rezim birokrasi ini yang punya sistem administrasi sendiri bertemu di
lapangan, sering kali berhadapan dan saling menegasikan. Untuk itu, perlu harmonisasi di tataran legislasi
dan regulasi pertanahan dan kehutanan agar ego sektoralisme agraria bisa
dihela. Jika pertanahan dan kehutanan bisa didamaikan, percepatan
penyelesaian konflik agraria di dalam kawasan hutan, dan penyediaan tanah obyek
reforma agraria dari pelepasan kawasan hutan bukan sekadar isapan jempol
belaka. Hanya dengan harmoni lintas instansi, capaian
reforma agraria akan bisa diraih secara lebih optimal. Semoga Menteri ATR
baru menyadari tantangan besar ini dan mampu menjalin harmoni dengan semua
menteri terkait. ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/12/mengurai-sektoralisme-agraria |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar