Jumat, 15 Juli 2022

 

Mengurai Sektoralisme Agraria

Usep Setiawan: Tenaga Ahli Utama di Kantor Staf Presiden

KOMPAS, 13 Juli 2022

 

                                                

 

 Reshuffle kabinet pada 15 Juni 2022 menempatkan Hadi Tjahjanto, mantan Panglima TNI sebagai Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan menggantikan Sofyan Djalil yang telah menjabat selama enam tahun.

 

Penggantian Menteri ATR/Kepala BPN dilakukan setelah Presiden menghadiri pertemuan puncak Gugus Tugas Reforma Agraria Nasional di Wakatobi, Sulawesi Tenggara (9 Juni 2022). Pada pertemuan itu, Presiden mengungkap kuatnya ego sektoralisme sebagai penyebab rendahnya capaian reforma agraria selama ini.

 

Presiden meminta semua kementerian/lembaga dan pemerintah daerah menghentikan ego sektoral untuk mengakselerasi reforma agraria. Banyaknya persoalan pertanahan tak bisa diselesaikan karena semua berjalan dengan ego sendiri-sendiri. Karena itu, saling terbuka dan bersinergi semestinya diterapkan secara nyata, pinta Presiden.

 

Kegiatan reforma agraria, merujuk Perpres No 86/2018 tentang Reforma Agraria, meliputi: (1) penyusunan regulasi dan penyelesaian konflik agraria, (2) redistribusi pemilikan dan penguasaan tanah, (3) legalisasi aset melalui sertifikasi tanah, (4) pemberdayaan ekonomi masyarakat, dan (5) penguatan kelembagaan pelaksana reforma agraria di pusat dan daerah.

 

Sejak 2018, kelima kegiatan tersebut dipantau dan dievaluasi Presiden. Secara umum, capaian reforma agraria masih terbilang rendah. Tingginya capaian dalam kegiatan legalisasi aset ternyata tak cukup membuat Presiden puas.

 

Evaluasi capaian

 

Dari lima kegiatan reforma agraria, baru pemberian legalitas tanah rakyat yang berjalan optimal. Sampai saat ini setidaknya sudah 80,6 juta bidang tanah yang bersertifikat. Jumlah itu, naik hampir dua kali lipat dari tahun 2015, di mana baru 46 juta dari 126 juta tanah di Indonesia yang bersertifikat (Kompas, 10/6/2022).

 

Keutuhan pelaksanaan lima kegiatan ini akan menunjukkan capaiannya secara simultan dan komprehensif dari reforma agraria. Secara praktis, capaian kelima kegiatan dalam reforma agraria ini akan saling memengaruhi dampaknya.

 

Misalnya, regulasi yang sinergis lintas-sektor akan memastikan pelaksanaan reforma agraria menjadi perhatian seluruh kementerian, lembaga, dan daerah yang terkait. Regulasi yang konfergen bisa memastikan penyelesaian konflik, redistribusi, legalisasi, pemberdayaan masyarakat, dan penguatan kelembagaan akan terkoneksi dan saling menunjang.

 

Penyelesaian konflik agraria akan menyumbang kepada perluasan target redistribusi tanah. Penyelesaian konflik agraria di perkebunan, kehutanan, dan lainnya selain memperkuat hak rakyat atas tanah, juga meningkatkan akses rakyat kepada sumber pendapatan dan kesejahteraan.

 

Sementara redistribusi tanah yang berasal dari pelepasan kawasan hutan dan dari tanah negara sebagai sumber utama tanah obyek reforma agraria akan berdampak kepada pengurangan ketimpangan dalam penguasaan dan pemilikan tanah. Redistribusi tanah juga akan membuka peluang bagi pengurangan kemiskinan dan pengangguran di perdesaan.

 

Kegiatan pemberdayaan ekonomi masyarakat setelah menerima tanah dan sertifikat melalui redistribusi dan legalisasi tanah juga sangat penting. Penyediaan berbagai sarana dan prasarana pendukung di bidang pertanian, perkebunan, perikanan, koperasi, serta usaha kecil dan menengah. Hal ini membangkitkan sistem produksi rakyat di atas tanah obyek reforma agraria. Redistribusi dan legalisasi tanah tersambung pada produktivitas kolektif rakyat.

 

Peningkatan produktivitas rakyat adalah dampak kuantitatif reforma agraria sebagai program prioritas pemerintah. Presiden meminta semua delivered bukan hanya sent. Reforma agraria dinilai sukses jika lahir pembangkitan ekonomi rakyat.

 

Perlu harmonisasi

 

Presiden mengamanatkan percepatan reforma agraria sebagai agenda utama Menteri ATR baru. Setelah pelantikan, Hadi Tjahjanto merinci amanat spesifik Presiden kepadanya, yakni percepatan penyelesaian konflik agraria, percepatan sertipikasi tanah rakyat, dan percepatan penyediaan tanah untuk Ibu Kota Nusantara.

 

Mengingat tujuan reforma agraria adalah mempersempit ketimpangan penguasaan dan kepemilikan tanah serta meningkatkan akses ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Evaluasinya, belum berjalan optimal. Pemerintah perlu menanggalkan ego sektoral yang ditenggarai menjadi kendala dalam percepatan reforma agraria.

 

Kasus ego sektoralisme adalah pada percepatan legalisasi tanah di wilayah pesisir. Latar belakang kenyataan sosial dari begitu banyaknya masyarakat di daerah yang hidup dan tinggal di daerah pesisir, termasuk yang bertempat tinggal di atas perairan.

 

Contohnya, penerbitan sertifikat hak atas tanah Suku Bajo yang tinggal di Wakatobi realisasinya sempat terhambat ego sektoralisme. Proses penerbitan hak atas tanah di wilayah pesisir yang terhalang ego sektoralisme ini menyumbat reforma agraria. Kesepakatan Menteri ATR dengan Menteri Kelautan dan Perikanan dapat melancarkan legalisasi tersebut.

 

Ego sektoralisme juga ditengarai terjadi pada penataan tanah di dalam kawasan hutan. Konflik agraria di kawasan hutan dan rumitnya pelepasan kawasan hutan untuk jadi obyek reforma agraria telah menjadi fenomena berkelanjutan, walau menteri bisa sering berganti.

 

Ego sektoralisme agraria bersumber pada regulasi yang berbeda antara pertanahan dan kehutanan. UU No 5/1960 tentang Pokok-pokok Agraria sebagai legislasi yang mengatur pertanahan dan sumber-sumber agraria, mesti menghadapi UU 41/1999 tentang Kehutanan. Ketika kedua rezim birokrasi ini yang punya sistem administrasi sendiri bertemu di lapangan, sering kali berhadapan dan saling menegasikan.

 

Untuk itu, perlu harmonisasi di tataran legislasi dan regulasi pertanahan dan kehutanan agar ego sektoralisme agraria bisa dihela. Jika pertanahan dan kehutanan bisa didamaikan, percepatan penyelesaian konflik agraria di dalam kawasan hutan, dan penyediaan tanah obyek reforma agraria dari pelepasan kawasan hutan bukan sekadar isapan jempol belaka.

 

Hanya dengan harmoni lintas instansi, capaian reforma agraria akan bisa diraih secara lebih optimal. Semoga Menteri ATR baru menyadari tantangan besar ini dan mampu menjalin harmoni dengan semua menteri terkait.

 

Sumber :   https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/12/mengurai-sektoralisme-agraria

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar