Minggu, 24 Juli 2022

 

Mengapa Bank Masih Memberikan Kredit untuk Industri Batu Bara

Aisha Shaidra :  Jurnalis Majalah Tempo

MAJALAH TEMPO, 23 Juli 2022

 

 

                                                           

SEBENTAR lagi PT Eco Paper Indonesia akan memiliki mesin pembuat kertas (paper machine) baru. “Kapasitas mesin baru yang akan terpasang mencapai 500 ton per hari. Dua kali lipat mesin yang lama,” kata Direktur PT Alkindo Naratama Tbk Willy Soesanto pada Rabu, 20 Juli lalu. Tapi yang istimewa dari mesin pembuat kertas baru ini bukan hanya kapasitasnya, tapi juga skema pembiayaannya.

 

Anak usaha Alkindo yang memproduksi beragam kertas cokelat, seperti kraft liner, eco-board, dan coreboard, itu menggunakan skema pembiayaan hijau untuk meningkatkan produksinya. Pada pertengahan Maret lalu, mereka mendapatkan kredit hijau dari PT Bank HSBC Indonesia sebesar Rp 27 miliar, yang merupakan fasilitas pembiayaan hijau pertama HSBC Indonesia.

 

Francois de Maricourt, Presiden Direktur PT Bank HSBC Indonesia, mengatakan pemberian kredit untuk Eco Paper merupakan wujud komitmen mereka dalam mendukung pertumbuhan ekonomi sirkular. “Industri jasa keuangan memiliki peran penting dalam transisi menuju masa depan yang berkelanjutan," ujarnya, Selasa, 19 Juli lalu.

 

Kredit untuk Eco adalah awal dari serangkaian jurus yang sudah disiapkan HSBC dalam membantu negara mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dan memitigasi dampak perubahan iklim. Maricourt menyebutnya sebagai strategi net zero alias nol bersih, yakni mendukung pelanggan melakukan transisi untuk menurunkan emisi hingga nol bersih pada 2030.

 

Secara global, HSBC berniat menggulirkan pembiayaan hingga US$ 1 triliun atau hampir Rp 15 ribu triliun untuk investasi usaha berkelanjutan. "Kami telah menyediakan US$ 127 miliar menuju sasaran ini sejak Januari 2020,” kata Maricourt.

 

Eco tidak hanya menerima kredit hijau dari HSBC. Tiga bulan setelahnya, mereka mendapatkan pembiayaan serupa sekitar Rp 472 miliar dari PT Bank Central Asia Tbk. "BCA turut mendorong pembiayaan untuk sektor berkelanjutan," tutur Executive Vice President Secretariat & Corporate Communication BCA Hera F. Haryn.

 

Selain menyediakan pembiayaan hijau, Hera mengatakan, BCA melakukan upaya-upaya internal untuk menurunkan emisi karbon. "Tahun lalu BCA menyumbang penghematan 887,8 ton CO2 equivalents melalui berbagai inisiatif ramah lingkungan," ujarnya. Dia memastikan BCA tidak lagi menyalurkan pembiayaan baru untuk sektor batu bara. "Outstanding pembiayaan batu bara saat ini sebesar 0,1 persen dari total kredit BCA.”

 

Sejumlah bank dalam negeri belakangan memang tampak mulai menggunakan kriteria environmental, social, and governance untuk mengukur keberlanjutan dan dampak etis rencana investasi perusahaan yang hendak dibiayai. Tapi mereka belum setegas sejumlah bank internasional yang terang-terangan sudah menyetop pembiayaan ke perusahaan batu bara demi mendorong percepatan transisi energi. Meski begitu, langkah tersebut belum berdampak kuat. Produksi dan ekspor batu bara Indonesia terus meningkat, hanya sempat turun sebentar pada awal masa pandemi Covid-19. Sampai saat ini Indonesia masih menjadi salah satu negara produsen utama batu bara dunia.

 

"(Produksi dan ekspor) meningkat karena demand-nya meningkat. Meski beritanya banyak perbankan yang meninggalkan pendanaan batu bara," ucap Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia Hendra Sinadia, Sabtu, 23 Juli lalu. Berkurangnya pendanaan perbankan, menurut Hendra, bukanlah kabar baru. "World Bank sejak 2005, tapi faktanya produksi dan ekspor terus meningkat. Di dunia juga pembangunan pembangkit listrik tenaga uap batu bara terus berkembang.”

 

•••

 

KOMITMEN menghentikan operasi pembangkit listrik tenaga batu bara mengemuka dalam Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim COP26 tahun lalu. Sebanyak 25 negara dan sejumlah bank serta lembaga keuangan bertekad mengakhiri pendanaan untuk batu bara. Di antaranya pemberi pinjaman internasional utama seperti HSBC, Fidelity International, dan Ethos.

 

Di Indonesia, belum terdengar kabar perbankan nasional tegas menyatakan akan menyetop pembiayaan untuk pembangkit listrik tenaga batu bara. Namun sebagian besar bank berkomitmen mengambil bagian dalam penurunan emisi karbon serta menerapkan prinsip environmental, social, and governance (ESG).

 

Gabungan organisasi masyarakat sipil #BersihkanIndonesia sempat menggalang kampanye #BersihkanBankmu lantaran masih ada empat bank nasional yang mendanai industri batu bara yang terdaftar dalam Global Coal Exit List 2020. Mereka adalah Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia, Bank Negara Indonesia, dan BCA.

 

Vice President Corporate Communications Bank Mandiri Ricky Andriano membenarkan kabar bahwa Bank Mandiri terlibat dalam pembiayaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Jawa 9 dan 10 sejak 2020. Dia beralasan Mandiri mengikuti program pemerintah dalam sektor ketenagalistrikan. "Itu sejalan dengan road map Perusahaan Listrik Negara dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral untuk mencapai aspirasi Indonesia tanpa karbon 2060 (net zero emission), yang tentunya masih dalam koridor Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PLN 2021-2030," tutur Ricky, Jumat, 15 Juli lalu.

 

Ricky mengatakan Bank Mandiri rutin melaporkan kinerja implementasi ESG kepada semua pemangku kepentingan dalam bentuk sustainability report dan laporan analyst meeting. "Kami memastikan disclosure tersebut telah mengadopsi standar laporan sesuai dengan best practices," ujarnya.

 

Direktur Utama BNI Royke Tumilaar juga tak menampik adanya pembiayaan yang mengucur ke industri batu bara. Namun, menurut Royke, BNI cukup selektif dan melakukan pembatasan secara bertahap. "Portofolio pembiayaan batu bara (mining, trading, and construction) BNI saat ini relatif kecil, hanya sebesar 1,98 persen dari total portofolio kredit BNI periode Mei 2022," katanya pada Rabu, 20 Juli lalu. Sebagian debitor pun, Royke menambahkan, sudah memiliki peringkat Proper Biru dan Emas dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

 

Angka pembiayaan hijau yang digelontorkan BNI per Mei 2022, Royke melanjutkan, sudah sebesar Rp 168,5 triliun, setara dengan 28,36 persen dari total kredit BNI. "Selain itu, kami sudah menerbitkan green bonds, di mana dana yang dihasilkan akan digunakan khusus untuk membiayai proyek-proyek dengan kategori hijau."

 

Dibanding bank nasional lain, BRI tak begitu kewalahan menghentikan pendanaan ke sektor batu bara karena banyak berfokus pada segmen usaha mikro, kecil, dan menengah. "Sektor industri batu bara ataupun minyak bukan prioritas BRI dalam penyaluran kredit," tutur Corporate Secretary BRI Aestika Oryza Gunarto, Senin, 11 Juli lalu.

 

Selain bakal berfokus pada sektor pertanian, industri pengolahan, perdagangan, aktivitas jasa keuangan, aktivitas kesehatan, dan kesenian hiburan, menurut Aestika, BRI bakal terus memperbesar porsi pembiayaan untuk sektor energi baru dan terbarukan sebagai komitmen mewujudkan perbankan berkelanjutan.

 

Tapi, seperti BNI, BRI masih tercatat membiayai PLTU Jawa 9 dan 10. Mereka juga terlibat dalam kredit sindikasi sebesar US$ 400 juta untuk PT Adaro, perusahaan pertambangan batu bara. Selain itu, BRI menyatakan masih akan mendukung penuntasan pembangunan megaproyek listrik 35 ribu MW yang sumber energi utamanya batu bara.

 

Ihwal lambatnya transisi perbankan Indonesia menuju pembiayaan berkelanjutan, Direktur Utama BNI Royke Tumilaar mengatakan mereka tidak bisa berubah secara drastis. Menurut dia, mereka ingin memastikan transisi berdampak positif pada ekosistem ekonomi masyarakat.

 

Pengalihan pembiayaan dari energi fosil ke energi terbarukan, Royke menjelaskan, bisa diawali dari penyusunan framework yang mengedepankan prinsip ESG. Tahap selanjutnya adalah penyusunan kebijakan-kebijakan yang mengadopsi standar-standar regulator perbankan.

 

Tahun ini, pemerintah melalui Otoritas Jasa Keuangan sudah menerbitkan taksonomi hijau yang menurut Royke bisa menjadi acuan lebih jelas bagi perbankan untuk membentuk portofolio hijau. "Ini akan menjadi pedoman bagi bank dalam memberikan pembiayaan kepada perusahaan batu bara atau perusahaan lain yang memiliki dampak terhadap lingkungan," ujarnya. ●

 

Sumber :   https://majalah.tempo.co/read/ekonomi-dan-bisnis/166497/mengapa-bank-masih-memberikan-kredit-untuk-industri-batu-bara

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar