Memahami
Takdir Iwan Pranoto: Guru Besar Institut Teknologi
Bandung |
KOMPAS, 18 Juli 2022
Dalam sebuah
siniar berjudul ”Polemik Kebudayaan: Barat Kena Timur Kena”, sastrawan Nirwan
Dewanto berkata, praktik pendidikan kita hari ini lebih mendekati gagasan
Sutan Takdir Alisjahbana ketimbang Ki Hadjar Dewantara. Ini ada benarnya. Walau berbagai istilah rekaan Ki
Hadjar Dewantara (KHD) sudah menghiasi naskah pendidikan, sulit menunjukkan
pemikiran KHD mana yang sungguh sudah dipraktikkan di sekolah umum kita di
Indonesia hari ini. Darmaningtyas dalam tulisan ”Hilangnya Jejak Ki Hadjar
Dewantara dan Tamansiswa” (Kompas, 2/7/2022) juga mengamini ini. Pada mulanya, Agustus 1935, Sutan Takdir Alisjahbana
(STA) menulis ”Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru” di Pujangga Baru. Di
situ, ia membentangkan gagasan modernisasi Indonesia dan mendefinisikan
Indonesia, yakni suatu masyarakat yang sudah menyadari semangat keindonesiaan
dan kesadaran bersatu. Ini pijakan utama STA dalam mengimajinasikan
Indonesia. Konsekuensinya, STA memandang Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol,
Sriwijaya, Majapahit, Borobudur, dan gamelan sebagai bagian dari
pra-Indonesia, bukan Indonesia. Borobudur, menurut dia, dibangun tanpa kesadaran
keindonesiaan. Bahkan, bisa saja suatu tindakan atau pemikiran di masa
pra-Indonesia dianggap anti-Indonesia menurut ukuran sekarang, seperti satu
daerah ”dikuasai wilayah lain” atau satu suku ”menghina suku bangsa dalam
wilayah kepulauan ini”. STA mengingatkan bahwa kesadaran dan semangat
keindonesiaan merupakan ciptaan generasi ke-20, yang faktanya memperoleh
pendidikan Barat. Maka, Indonesia merupakan sebuah gagasan yang rasional dan
gagasan ini mengalahkan segala teori keturunan yang justru jadi bagian dari
pra-Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia tak perlu terus dikaitkan dengan
pra-Indonesia. Bahkan STA mengingatkan, usaha mengaitkan ke masa silam hanya
akan membangkitkan perselisihan primitif yang justru mewarnai pra-Indonesia. Konsekuensinya, menurut STA, kita tak punya tugas
moral untuk mengglorifikasi masa silam dan mengekstrapolasikan ke Indonesia
masa depan. Sebaliknya, ia justru mengajak fokus membabat kekurangan di
pra-Indonesia, khususnya lemahnya intelektualisme. Keyakinan STA akan intelektualisme relevan dengan
kehidupan sekarang yang dihela sains dan teknologi. Oleh karena itu,
pendidikan harus terus menggelorakan intelektualisme, yakni kemampuan
bernalar dan memahami secara obyektif. STA memercayai peran intelektualisme
sampai sanubarinya. Maka, tak salah jika Fadly Rahman (2020) menyatakan,
STA adalah pewaris pemikiran Renaissance dan Pencerahan. Searah dengan STA,
redaksi Basis No XVII, Oktober 1967, menulis: ”Jika orang Barat dengan ilmu
dan tekniknya membutuhkan perasaan, maka orang Timur... membutuhkan
intelektualisme”. Sepuluh tahun kemudian, Mochtar Lubis dalam
pidatonya, ”Manusia Indonesia”, mendata sifat-sifat buruk yang masih ada,
antara lain munafik, feodal, dan percaya pada takhayul (Lubis, 1977). Ini
sebuah pengingat bahwa relatif mudah bersepakat untuk mendirikan negara dan berjanji
meninggalkan hal-hal buruk masa silam, namun kenyataannya beberapa sifat masa
silam itu belum rela meninggalkan diri kita. Sayangnya, kelugasan mengakui kelemahan seperti
dicontohkan STA, Basis, dan Lubis sekarang jadi langka. Padahal, pengakuan sejenis
ini prasyarat dalam mereka cipta pendidikan, karena tanpanya pendidikan jadi
sekadar jurus melontarkan berbagai pukulan ke segala arah dan berharap ada
yang mengenai sasaran. Berharap jadi sebuah strategi. Tentangan Setelah tulisan tajam dan lugas ”Menuju Masyarakat
dan Kebudayaan Baru” itu, bermunculan tulisan yang menentangnya. Karena
”jujur”-nya tulisan itu, KHD menyebut STA radikal, dan gaya radikal ini yang
membuahkan banyak serangan. Namun, STA justru bersyukur, menikmati, dan
memanfaatkan serangan tadi sebagai peluang berdebat guna terus mempertajam
pemikirannya. Di luar beberapa reaksi dangkal, seperti tudingan
kebarat-baratan, beberapa penentangnya memberikan tanggapan tajam kritis
menelaah gagasan STA melalui serangkaian tulisan yang akhirnya tersusun
sebuah polemik. Penentang STA antara lain Sanusi Pane, Dr Sutomo,
Tjindarbumi, Adinegoro, Dr M Amir, dan KHD. Satu sanggahan terhadap
intelektualisme yang menarik kala itu adalah argumen bahwa di dunia Barat pun
saat itu sudah meluas dampak negatif atas intelektualisme yang terlalu
mendominasi kehidupan. Tanpa sama sekali berusaha membantahnya, STA
mengiyakan fakta tersebut dan memberi sebuah analogi untuk menjawab
kekhawatiran para penentangnya. Di Barat, mereka sedang memasak nasi yang sudah
hampir matang, jadi wajar mereka khawatir nasinya akan hangus jika api tak
dikecilkan. Namun, lanjut STA, kekhawatiran ini terlalu dini bagi Indonesia
karena apinya saja belum menyala. Maka, janganlah menghawatirkan dominasi
intelektualisme manakala nyala intelektualisme itu sendiri belum terpantik di
kehidupan masyarakat. Sampai seperempat pertama abad-21 ini pun, berdasar
hasil survei pendidikan dua dekade terakhir (misal PISA dan TIMSS) dan
pengamatan para pendidik, api intelektualisme belum menyala secara signifikan
guna memasak, sehingga sekarang bukan saatnya khawatir hangus. Redaksi Basis pada edisi Oktober 1967 dengan jeli
memperingatkan: ”Ketakutan yang berlebih-lebihan terhadap intelektualisme
akan membawa kita pada emosionalisme dan verbalisme. Emosionalisme ternyata
terdapat dalam dunia politik kita dan pergaulan antar-agama. Verbalisme
ternyata terdapat di seluruh dunia pelajaran dan pendidikan kita”. Dari
peringatan itu, verbalisme atau kebiasaan membanjiri pendidikan kita dengan
jargon sepertinya sebuah penyakit menahun sejak tahun 1960-an. Supriyanto Maka, sungguh berbahaya mengimpor kekhawatiran dari
dunia Barat atas dominasi intelektualisme saat ini. Pendidikan Indonesia hari
ini justru mutlak perlu melipatgandakan pengasahan intelektualisme. Perlu
dicatat, tak semua pemikiran STA cocok dengan masa sekarang. Ada juga
pernyataannya yang berseberangan dengan narasi dunia hari ini, misalnya
ajakan untuk menguasai atau mengalahkan alam. Karena, sekarang justru
dikedepankan pembangunan berkelanjutan jangka panjang guna menyelamatkan alam
dan Planet Bumi. Namun, di luar perlunya penyesuaian pemikiran STA
dan mitra-mitranya, rekaman perdebatan pemikiran hampir 90 tahun lalu sungguh
berharga bagi Indonesia dan menyiratkan dua pesan bijak. Pertama, sebuah
permasalahan di satu tempat belum tentu merupakan permasalahan juga di tempat
lain. Pesan ini tetap relevan sampai hari ini. Kedua, di kepulauan ini pernah tumbuh mekar beraneka
pemikiran dari insan-insan terpelajar yang berpartisipasi secara horizontal
dan tercipta sebuah lahan intelektual subur yang menyokong terawatnya polemik
pendidikan dan kebudayaan yang mendasar, tertata, sekaligus tertulis.
Sayangnya, perdebatan mendasar serupa belum terulang lagi, bahkan perdebatan
kebudayaan 1960-an tak sedalam 1930-an. Sayangnya lagi, perumusan pendidikan nasional hari
ini justru berjarak dari publik luas dan sekadar didiskusikan antarsejumlah
warga yang dipilih agar tak menciptakan polemik. Pengadaan diskusi pun
dijadikan sebuah formalitas. Ini justru kebalikan dari kejujuran dan
ketulusan yang diteladankan STA. Cerita tunggal Berbagai naskah pendidikan nasional hari ini dihiasi
sejumlah istilah ciptaan KHD, terlepas mungkin sekadar pernak-pernik, tetapi
aneka pemikiran STA, Tan Malaka, Syahrir, M Syafei, Pater Driyarkara, Romo
Mangun, dan lainnya dinihilkan. Akibatnya, keragaman pemikiran menyusut dalam
alam pendidikan nasional dan konvergen ke sebuah cerita tunggal. Layaknya
perkebunan monokultur yang rentan terhadap perubahan dan menanduskan lahan,
pendidikan bercerita tunggal juga akan lamban menghadapi derasnya usikan
teknologi zaman ini dan, parahnya, akan menggerus tradisi berpikir. Memang masyarakat secara tak sadar berkontribusi
mewajarkan pendidikan bercerita tunggal tadi, namun kekuasaan justru
memanfaatkan dan mengamplifikasinya. Bahkan, kekuasaan berhasil menetapkan
cerita tunggal itu sebagai satu-satunya cerita dari pendidikan nasional,
melalui iming-iming anggaran bagi institusi yang mau turut mengumandangkan
cerita tunggal tadi. Para penyorak binaan di media sosial juga turut
menggaungkan cerita tunggal tadi. Tepat seperti yang dilisankan penulis Chimamanda
Ngozi Adichie dalam The Danger of a Single Story: kekuasaan bukan saja
kemampuan menyematkan cerita pada orang lain, tetapi juga membuat cerita tadi
menjadi cerita pasti dari orang itu. Dalam hal ini, kekuasaan telah
menetapkan sebuah cerita tunggal yang pasti untuk pendidikan nasional. Akhirnya, jika STA dkk bisa mengintip pendidikan
hari ini, bisa diduga mereka tak kecewa pemikirannya tak digubris, karena
mereka sadar penetapan arah pendidikan ada di tangan anak dan cucu. Seperti
pesan KHD: ”Kami tak tahu siapa yang akan menang; aliran ’futura’ atau
’aliran realita’; anak cucu kitalah yang akan menetapkan.” Namun, yang mungkin mematahkan hati mereka ialah
terancamnya keberagaman berpikir dan punahnya tradisi berpolemik tulus yang
sudah mereka teladankan. Ini dapat ditafsirkan pada kalimat pamungkas KHD:
”Keturunan kita niscaya akan berterima kasih dan akan menghargai pihak kita, asalkan
mereka tahu bahwa pertentangan yang sudah berakhir itu berlangsung dengan
kejujuran dan ketulusan.”● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/17/memahami-takdir |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar