Masa
Depan Industri Kelapa Sawit Bustanul
Arifin: Guru Besar Universitas Lampung,
Ekonom Indef, Ketua Umum Perhepi |
KOMPAS, 22 Juli 2022
Industri
kelapa sawit Indonesia mengalami episode drama mencekam yang mungkin tak
pernah diperkirakan. Fluktuasi harga sangat tinggi dan nyaris liar, baik
untuk tandan buah segar di hulu maupun minyak sawit mentah dan produk
turunannya di hilir. Perhatian
para pemangku kepentingan industri sawit banyak tertuju pada ”gangguan”
eksternal, terutama tindakan diskriminatif Uni Eropa (UE) yang merugikan
minyak sawit mentah (CPO) Indonesia. Indonesia mendaftarkan gugatan hukum
kebijakan renewable energy directives (RED) II UE ke Badan Penyelesaian
Sengketa (Dispute Settlement Body/ DSB) di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Di
dalam negeri, drama industri sawit dipicu oleh kebijakan ekstrem larangan
ekspor CPO dan produk turunannya pada April 2022. Larangan ekspor itu lebih
banyak karena mispersepsi yang mengira produsen minyak goreng kekurangan
pasokan bahan baku CPO sehingga harganya mahal. Beberapa
instrumen kebijakan telah dikeluarkan, bahkan berubah berkali-kali dalam
kurun waktu dua bulan. Misalnya, harga eceran tertinggi (HET), domestic
market obligation (DMO), dan domestic price obligation (DPO) bagi produsen
CPO. Walau berlangsung kurang dari satu bulan, kebijakan itu berdampak sangat
dahsyat. Harga
tandan buah segar (TBS) turun drastis sampai titik terendah karena banyak
pabrik kelapa sawit tidak mampu lagi membeli TBS. Ekspor CPO tersendat,
kontrak penjualan tidak mudah disepakati karena pasar menunggu apakah akan
ada kejutan kebijakan lagi atau tidak. Artikel
ini menganalisis dinamika industri kelapa sawit, dari hulu sampai hilir,
terutama setelah petani di hulu dan industri CPO di hilir sama-sama kesulitan
dalam pemasaran. Tingkah
laku pasar CPO Studi
akademik dan empiris tentang tingkah laku pasar CPO telah banyak dilakukan,
baik pasar spot maupun pasar berjangka. Determinan efisiensi pasar CPO amat
tergantung karakter permintaan dan penawaran, kekuatan pasar (market power)
segenap lapisan pelaku sampai tingkat negara, dinamika pasar internasional,
sertifikasi berkelanjutan, dan lain-lain. Dimensi
diplomasi ekonomi juga mewarnai kinerja perdagangan internasional,
pengembangan produk turunan, rantai nilai global, referensi harga
internasional, dan lain-lain. Pada
periode awal lockdown karena pandemi Covid-19, harga CPO pernah anjlok sampai
574 dollar AS/ton dan membuat pasar CPO global terkesan lesu. Harga TBS di
tingkat petani jatuh di bawah Rp 1.000/kilogram, suatu pukulan berat bagi
petani sawit. Pemangku kepentingan dari unsur pemerintah, dunia usaha, dan
masyarakat madani berdiskusi intensif, hingga sampai pada keputusan kebijakan
untuk meningkatkan permintaan CPO dalam negeri. Opsi
pengembangan biofuels B-30 dianggap pilihan tepat karena Indonesia mengadopsi
kebijakan transisi energi menuju ramah lingkungan dan mendukung energi baru
terbarukan. Secara
perlahan tapi pasti, harga CPO naik signifikan sampai 1.300 dollar AS per ton
pada akhir 2021. Harga TBS naik sampai di atas Rp 2.500 per kilogram dan
mampu menjaga kinerja perekonomian daerah, di tengah ancaman resesi ekonomi
karena Covid-19. Hampir
semua pelaku industri sawit di hulu dan di hilir menikmati harga tinggi,
sebagai windfall profit dari tingginya harga CPO di pasar global. Bahkan,
tingginya harga CPO pernah menghambat implementasi program peremajaan sawit
rakyat (PSR). Kinerja PSR 2021 hanya 30 persen, sangat jauh dari target
200.000 hektar PSR. Petani
sawit rakyat enggan menebang pohon sawit tua dan menggantinya dengan sawit
muda dari bibit unggul. Harga TBS tinggi petani menjadi insentif tersendiri
untuk memanen buah sawit seoptimal mungkin. Petani tidak ingin kehilangan
kesempatan berharga dari windfall profit harga CPO dan TBS di lapangan. Meski
demikian, tingginya harga CPO juga melonjakkan harga minyak goreng di atas Rp
20.000 per kilogram, bahkan menjadi kontributor utama inflasi di banyak
daerah. Upaya pemerintah menetapkan HET minyak goreng kemasan Rp 14.000 per
kilogram tak mampu menahan kenaikan harga, bahkan menyebabkan kelangkaan dan
memicu antrean minyak goreng di beberapa tempat. Ancaman
pencabutan izin ekspor CPO bagi pelaku yang tak memenuhi DMO dan DPO menjadi
faktor insentif negatif bagi sistem distribusi dan rantai nilai produk kelapa
sawit. Puncaknya ialah larangan ekspor CPO dan produk turunannya pada 28
April 2022 walaupun dicabut kembali pada 20 Mei 2022. Akibatnya, harga CPO di
pasar domestik KPB (Inacom) anjlok sampai rekor terendah Rp 8.000/kilogram
akhir Juni. Harga TBS petani juga anjlok 70 persen, hingga menyentuh Rp
800/kilogram di petani swadaya. Upaya
mitigasi kerusakan Petani
sawit memilih tak memanen TBS karena hasil penjualannya belum mampu untuk
menutup biaya panen. Perusahaan perkebunan juga menahan panen TBS, rotasi
panen ke boiler tersendat karena ekspor CPO belum normal. Akibatnya,
kandungan asam lemak bebas (free fatty acid/FFA) cenderung meningkat dan
berbahaya bagi kesehatan. Biaya inventori perusahaan naik karena arus kas
penjualan turun drastis. Pelaku
industri sawit, mulai dari petani, perusahaan perkebunan, hingga pabrik
sawit, saat ini sedang mengalami cobaan yang cukup berat. Sementara itu,
pasar ekspor CPO di India dan China turun sekitar 10 persen sebagai imbas
dari pelarangan ekspor Indonesia dan kondisi pertumbuhan ekonomi rendah dan
inflasi tinggi (stagflasi) yang melanda perekonomian global. Pemerintah
masih berusaha menurunkan harga minyak goreng, baik curah maupun kemasan
sederhana, mengeluarkan ketentuan ekspor CPO, serta menetapkan kebijakan DMO
baru dan flush-out (FO). Pada
DMO lama, perusahaan sawit menyisihkan CPO untuk DMO, lalu mengajukan izin
ekspor. Pada DMO baru, perusahaan wajib mendistribusikan minyak goreng, lalu
mendapatkan perhitungan hak ekspor. Namun,
kondisi lapangan belum juga normal. Sampai Juli 2022, stok CPO dalam negeri
berlimpah hingga lima juta ton. Realisasi ekspor tak sesuai target tiga juta
ton pada Juni 2022, dengan sekian kebijakan itu. Sebenarnya
ekspor produk sawit lain, seperti minyak inti sawit (PKO), biodiesel, dan
oleokimia tak banyak terganggu, sebagaimana ekspor CPO dan turunannya. Tanpa
bermaksud mengubah-ubah kebijakan seperti awal 2022, berikut beberapa opsi
solusi yang bisa dipertimbangkan untuk menjaga masa depan industri sawit
Indonesia, dari hulu hingga hilir. Pertama,
penyesuaian struktur harga TBS yang lebih fair karena perbedaan harga TBS
pada petani sawit swadaya dengan petani mitra sangat lebar. Perbaikan
strategi pembinaan dan pendampingan ke petani sawit swadaya, penguatan
kelembagaan, dan jika diperlukan perbaikan ketentuan peraturan perundangan
yang melingkupinya. Kedua,
relaksasi DMO melalui batas atas dan batas bawah, sesuai kinerja distribusi
setiap perusahaan, dengan ketentuan monitoring dan evaluasi secara berkala.
Ketiga, percepatan program ekspor CPO sampai kondisi mengarah normal,
misalnya tak harus mempertimbangkan flush-out dan yang jadi sumber beban
baru. Masa depan industri sawit amat bergantung pada akurasi dan kredibilitas
kebijakan di masa sulit seperti sekarang ini. ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/21/masa-depan-industri-kelapa-sawit |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar