Martabat
Pejabat Negara Haedar
Nashir : Ketua Umum PP
Muhammadiyah |
REPUBLIKA, 23 Juli 2022
Kasus demi kasus menimpa
para pejabat negara di negeri tercinta. Dari kasus korupsi yang sering
terjadi dan tetap tinggi di pusat sampai daerah yang membuat kekayaan negara
dijarah tiada henti. Hingga peristiwa-peristiwa kekerasan, kasus moral atau
etik, dan sederet penyimpangan yang tidak mencerminkan suri teladan di
hadapan publik. Belum terbilang
kebijakan-kebijakan, pernyataan atau ujaran, dan langkah-langkah petinggi
negeri yang menimbulkan keresahan, kekecewaan, keprihatinan, kegaduhan,
kerugian, dan masalah berat bagi hajat hidup publik serta eksistensi dan masa
depan Indonesia tercinta. Tanpa harus merasa diri
paling moralis dan semuci, kiranya semua elite negeri dan warga bangsa
penting merenungkan kembali mengapa banyak kasus dan tragedi di negeri
tercinta ini terus terjadi. Apa yang hilang dari elite negeri yang mengemban
mandat rakyat dan tugas negara, sehingga hilang martabat di mata rakyat?
Semua pihak layak berefleksi diri agar kejadian-kejadian tragis tidak
terulang kembali. Sumpah
jabatan Setiap pejabat negara
disumpah atas nama rakyat, negara, dan bahkan demi Tuhan Yang Mahakuasa untuk
melaksanakan tugas, mandat, dan jabatannya dengan sebaik-baiknya dan
seadil-adilnya serta tidak menyalahgunakannya. Presiden dan wakil presiden
sebagai representasi jabatan tertinggi dalam kekuasaan pemerintahan negara
yang menjadi pusat lingkaran elite dan pejabat negeri bahkan diperintahkan
oleh Undang-Undang Dasar untuk bersumpah dan berjanji di hadapan rakyat
dengan atas nama Allah. Sumpah presiden dan wakil
presiden berbunyi: "Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban
Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan
sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan
menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya
serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa. Adapun janji presiden dan
wakil presiden: "Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi
kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia)
dengan sebaik-baiknya dan seadil- adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar
dan menjalankan segala undang- undang dan peraturannya dengan
selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa." Para pejabat negara di
setiap lini pemerintahan, di eksekutif, legislatif, yudikatif, serta
lembaga-lembaga auxiliary (state auxiliary bodies), seperti berbagai lembaga
komisi negara dari pusat sampai daerah ketika memperoleh jabatan baru juga
disumpah dengan atas nama Tuhan. Mereka berkomitmen penuh
untuk menjalankan tugas, kewajiban, dan
jabatannya dengan sebaik-baiknya, seadil-adilnya, serta tegak lurus
dalam melaksanakan konstitusi, perundang-undangan, dan peraturan yang
berlaku. Mereka dituntut memiliki moralitas luhur dan standar perilaku yang
tinggi di hadapan publik. Betapa berat
pertanggungjawaban moral-rohaniah para petinggi dan pejabat negara itu dalam
menjalankan mandat kekuasaan dan jabatannya, bukan hanya di hadapan rakyat
yang mendelegasikannya, tetapi lebih jauh secara metafisika di hadapan Tuhan
Yang Maha Esa dan Mahakuasa. Karena itu, ketika terjadi penyimpangan dan
penyalahgunaan pada jabatannya, layak dipertanyakan dan saling berintrospeksi
diri. Apa yang sebenarnya dicari
sehingga sebagian pejabat negeri terlibat masalah serta melakukan sejumlah
kebijakan dan tindakan yang menyimpang dari sumpahnya sendiri? Apakah tidak
tahu dan tidak paham atas segala standar nilai dan norma yang melekat dengan
jabatannya? Kesenjangan nilai dan
disintegrasi diri boleh jadi tengah terjadi. Sebagian mungkin mengalami
cultural-lag ketika segala pesona kekuasaannya mengalahkan jiwa rohaniahnya
yang jernih. Lalu, terjadi disorientasi
hidup dengan jabatannya membuat diri ternina-bobo dalam segala gemerlap dan
kedigdayaan diri sehingga tercerabut dari niat awal dan idealisasi saat harus
mengemban tugas negara dan mandat rakyat. Dari seharusnya berkhidmat sepenuh hati bagi bangsa dan
negara, menjadi penikmat jabatan, kekayaan, legasi diri dalam segala pesona
duniawi yang berlebihan dan tak berkesudahan. Akhirnya segala perbuatan
dilakukan tanpa mengindahkan nilai-nilai luhur kehidupan sebagaimana
diajarkan agama, Pancasila, dan moralitas budaya yang utama. Hidup menjadi
serba-digdaya dan apa saja boleh minus nilai-nilai bermakna. Konstitusi dan segala
koridor undang-undang maupun peraturan pun diakali, disiasati, dan
disalahgunakan demi meraih kedigdayaan kuasa dan pesona kehidupan yang mata
al-ghurur, sarat kesenangan duniawi. Segala hal seolah dapat dibeli dan
dipertukarkan sehingga jabatan kehilangan fungsi nilai utama dan hanya
dijadikan nilai-guna untuk memperkaya diri, legasi kuasa, dan segala kejayaan
hidup diri, kroni, dan dinasti secara pragmatis dan oportunistik. Sumpah jabatan pun berlalu
sekadar seremonial lahir tanpa jiwa. Lupa bahwa segala perbuatan akan kembali
kepada si empunya, sebagaimana peringatan Tuhan: “Jika kamu berbuat baik
(berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat
maka (kerugian kejahatan) itu untuk dirimu sendiri” (QS al-Isra: 7). Integritas
diri Sebenarnya masih banyak
elite dan pejabat negeri yang mulia hati dan perangai diri di negeri ini. Kini
yang perlu dibangkitkan kembali dalam tubuh elite maupun penduduk negeri
ialah integritas diri. Bagaimana menjadikan diri setiap insan Indonesia hidup
benar, baik, dan patut secara moral yang berdiri tegak di atas nilai-nilai
luhur agama, Pancasila, dan kebudayaan bangsa yang dipraktikkan dalam
kehidupan nyata. Buahnya ialah keteladanan
diri, yakni hidup bermartabat yang menunjukkan kata sejalan tindakan. Praktik
hidupnya berbuah keutamaan dan kebajikan bagi diri sendiri, keluarga,
masyarakat, bangsa, negara, dan kemanusiaan universal layaknya makhluk Tuhan
yang diciptakan fi ahsan at-taqwim. Menjadi insan sebaik-baik ciptaan Tuhan
yang hidup menebar rahmat bagi semesta alam. Kewajiban moral para elite
Indonesia, baik yang di pemerintahan maupun masyarakat kewargaan, ialah
mengambil teladan dan mempraktikkan jalan perjuangan dan karakter
kenegarawanan para pemimpin pendiri bangsa dengan segenap jiwa-raga dari
pusat sampai daerah saat ini. Jadilah para pemangku amanat rakyat yang
sesungguhnya, yang membela kepentingan bangsa dan negara di atas segalanya
secara autentik nirpencitraan. Menjadi pemimpin yang
benar-benar menghayati dan memahami keindonesiaan luar dan dalam. Mencintai
negeri sepenuh hati dan tidak berani menjarahnya karena jiwa dan alam pikirannya
jernih tidak tercemar dari segala polusi. Para pejabat negara tidak
sibuk dengan dirinya yang tak kunjung selesai, sementara nasib rakyat
terabaikan. Bila ingin membangun legasi maka jadikan rakyat Indonesia yang
mayoritas papa dan tertinggal menjadi cerdas, berilmu, terdidik, dan
sejahtera secara merata sehingga Indonesia benar-benar maju, adil, dan
makmur. Bila benar-benar cinta
rakyat dan negara maka utamakan segala hajat hidup rakyat dan negara sebagai
agenda utama lebih dari yang lainnya. Bukan populisme cinta rakyat sebatas
permukaan, simbolis, dan artifisial. Bukan pemimpin yang bertakhta di atas
kekuasaan belaka dan mengandalkan populisme verbal tanpa menyelami nasib rakyat yang masih banyak hidup miskin, marginal,
dan tertinggal. Jabatan apa pun dalam
kehidupan kenegaraan harus bersendikan nilai luhur keindonesiaan. Jadikan
jabatan sebagai takhta untuk rakyat yang menyejahterakan, membawa keadilan,
kebaikan, memajukan, dan memuliakan kehidupan bersama. Buatlah
kebijakan-kebijakan yang berani untuk menyejahterakan dan memakmurkan
mayoritas rakyat kecil. Segala perundang-undangan
dan kebijakan harus terhindar dari penyalahgunaan kekuasaan dan kepentingan
sempit diri atau kroni, yang mengorbankan kepentingan dan masa depan rakyat
dan negara Indonesia. Pegang kuat Pancasila dan
UUD 1945 secara konsisten, jujur, dan amanah dalam praktik nyata tanpa jargon
dan verbalitas retorika. Pancasila jangan dijadikan utopia dalam keindahan
kata-kata, tetapi niscaya dibumikan di dunia nyata. Jauhi godaan politik yang
menjerumuskan diri pada politik kekuasaan yang bertentangan dengan Pancasila,
UUD 1945, dan nilai-nilai utama bangsa yang bersendikan agama dan kebudayaan
luhur Indonesia. Lembaga penegakan hukum
dan pemberantasan korupsi mesti berjalan lurus di atas konstitusi, hukum,
profesionalitas, keadilan, dan objektivitas dengan menghindarkan diri dari
segala intervensi, kriminalisasi, dan politisasi. Kekuasaan dan jabatan
kenegaraan jangan menjadikan diri merasa serbadigdaya, berlimpah kemegahan,
dan ketika salah pun bergeming dalam kesalahkaprahan yang tak berkesudahan.
Kekuasaan duniawi tanpa nilai utama Langit sering menjadikan manusia lupa
diri. Dari virus haus digdaya dan penyalahgunaan jabatan banyak terjadi
tragedi di muka bumi, baik dulu maupun kini. Prahara suatu bangsa
justru bermula dari sikap tamak dan angkuh diri para pemegang kuasa dunia
yang melampaui batas, sebagaimana peringatan Tuhan dalam Alquran: “Dan jika
Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang yang
hidup mewah di negeri itu (agar menaati Allah), tetapi bila mereka melakukan
kedurhakaan di dalam (negeri) itu, maka sepantasnya berlakulah terhadapnya
perkataan (hukuman Kami), kemudian Kami binasakan sama sekali (negeri itu).”
(QS al-Isra: 16). ● Sumber :
https://www.republika.id/posts/30192/martabat-pejabat-negara |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar