Literasi
Digital sebagai Pelindung dari Ancaman Nyata Dunia Maya Nadia
Fairuza Azzahra:
Peneliti di Center for Indonesian Policy
Studies (CIPS) |
KOMPAS, 12 Juli 2022
Penguasaan
literasi digital merupakan sebuah keniscayaan dalam menghadapi transformasi
digital. Penggunaan internet secara produktif tidak hanya membutuhkan
konektivitas internet dan infrastruktur digital, tetapi juga literasi digital
yang memadai. Literasi
digital ini semakin penting ketika teknologi terintegrasi pada proses
belajar-mengajar di sekolah melalui education technology (teknologi
pendidikan) atau edtech yang memanfaatkan teknologi untuk mendukung
pembelajaran. Edtech
memiliki banyak bentuk dan memfasilitasi pembelajaran dengan cara yang
berbeda-beda, misalnya video untuk menonton konten pembelajaran, learning
management system (LMS) untuk mengatur proses pembelajaran antara guru dan
siswa, dan lain sebagainya. Penggunaan
teknologi dalam dunia pendidikan sudah berlangsung sejak lama, tetapi semakin
merebak pada masa pembelajaran dari rumah selama pandemi. Edtech muncul
sebagai solusi yang memfasilitasi kebijakan pembelajaran dari rumah dan
menjadi penghubung penting antara guru dan siswa. Edtech
juga diklaim dapat menjangkau lebih banyak pelajar dibandingkan dengan sistem
pembelajaran tatap muka yang terbatas pada sekolah sebagai ruang fisik.
Namun, sayangnya, sebagai platform yang menyediakan informasi untuk mendukung
pendidikan edtech juga dibayangi adanya risiko penyalahgunaan data
penggunanya meskipun perusahaan yang bergerak di bidang ini memahami ini dan
menjalankan upaya perlindungan data pribadi anak-anak. Pada
Mei lalu, sebuah inisiatif investigasi global yang digagas oleh Human Rights
Watch memperlihatkan bahwa sebanyak 90 persen edtech telah melanggar privasi
anak-anak untuk tujuan-tujuan yang tidak berhubungan dengan pendidikan (Human
Rights Watch, 2022). Investigasi
yang mencakup 49 negara, termasuk Indonesia, dan 164 produk edtech ini
mengungkap adanya praktik pengumpulan data anak yang kemudian dijual kepada
perusahaan teknologi periklanan. Sayangnya,
pemerintah belum merespons penemuan ini. Terlepas dari kasus ini pun,
komitmen pemerintah dalam melindungi data pribadi belum maksimal. Proses
legislasi Rancangan Undang-Undangan Perlindungan Data Pribadi masih terbentur
kebuntuan dan hingga detik ini belum menemui titik terang. Kasus-kasus
kebocoran data pribadi tidak tertangani dengan baik akibat adanya kekosongan
instrumen hukumnya. Dunia
pendidikan pun perlu beradaptasi untuk meningkatkan kesadaran siswa, orangtua,
dan guru dalam membentengi diri dari berbagai ancaman di dunia maya melalui
pengembangan kompetensi dan wawasan literasi digital. Pengguna
internet, termasuk anak-anak, harus memiliki kemampuan literasi yang baik
untuk mampu menyaring informasi secara kritis dan menggunakan teknologi
dengan bijak agar dapat meraup manfaat optimal dan meminimalisir bahaya
negatif internet. Namun,
banyak yang terlambat menyadari bahwa penggunaan edtech perlu dibarengi
dengan peningkatan kemampuan literasi digital agar penggunaan teknologinya
aman dan bertanggung jawab. Data
Digital Literacy Index 2021 yang dirilis Kementerian Komunikasi dan
Informatika serta KataData menunjukkan bahwa dari 4 pilar literasi–digital
culture, digital skills, digital ethics, dan digital safety–yang terakhir
memiliki skor terendah, menunjukkan belum semua masyarakat menyadari bahaya
yang menyertai aktivitas-aktivitas mereka di dunia digital. Berkembangnya
platform yang mengandalkan pengumpulan informasi konsumen untuk menciptakan
personalised content membuka ruang bagi platform ini untuk melanggar privasi
konsumen. Di ranah edtech, hal ini juga semakin membuka peluang pelanggaran
data pribadi anak-anak. Data
Badan Pusat Statistik (2021) menunjukkan, sebanyak 88,99 persen anak usia 5
tahun ke atas sudah menggunakan internet dan mengakses media sosial. Sebanyak
hampir 90 persen anak-anak ini menggunakan ponsel pintar (smartphone) untuk
mengakses internet. Tingginya keterpaparan internet pada anak-anak semakin
memperlihatkan pentingnya pengembangan literasi digital sejak usia dini. Kemampuan
literasi digital yang baik tidak hanya membantu anak-anak dalam proses
belajar jarak jauh, tetapi juga melindungi mereka dari ancaman dunia maya,
seperti pelecehan seksual daring, dan perundungan daring (cyberbullying). Ancaman
lainnya meliputi konsumsi konten yang tidak sesuai umur dan penggunaan data
pribadi anak yang tidak bertanggung jawab. Kompetensi
literasi digital Generasi
Z yang dikategorikan sebagai anak-anak yang lahir setelah tahun 1997 sering
kali dianggap sebagai digital natives yang tumbuh besar dengan akses kepada
teknologi dan menjadi mahir dalam menggunakannya. Namun, kemahiran tidak
serta-merta mengindikasikan kemampuan untuk menggunakan teknologi secara
bijak. Berdasarkan
data dari Digital Civility Index (DCI), Indonesia menempati urutan ke-29 dari
32 negara dan merupakan negara dengan ranking terburuk se-Asia Pasifik pada
2020. Sebagai
sebuah inisiatif dari Microsoft, DCI mengukur tingkat keberadaban pengguna
internet di sejumlah negara di dunia. Hasilnya memperlihatkan bahwa
masyarakat Indonesia kerap kali terlibat dalam penyebaran hoaks, ujaran
kebencian, dan diskriminasi. Posisi
dalam indeks ini memperlihatkan perlunya perbaikan perilaku masyarakat dalam
menggunakan internet. Perilaku yang buruk ini menyebabkan masyarakat tidak
dapat memanfaatkan internet untuk tujuan positif. Perkembangan
literasi digital juga menemui tantangan struktural terkait ketimpangan akses
internet. Perlu upaya yang berarti untuk menyetarakan dan meningkatkan akses
internet, terutama bagi golongan ekonomi menengah ke bawah dan yang tinggal
di daerah pedesaan dan terpencil, agar mereka tidak teralienasi oleh
perkembangan zaman. Pada
tahun 2021, Kemenkominfo mencanangkan pengembangan literasi digital melalui
Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD) Siberkreasi. Namun, program ini
belum menyentuh sosialisasi rutin dan komprehensif di jenjang sekolah. Di
sisi lain, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi semakin
gencar melakukan digitalisasi pendidikan, tetapi belum diiringi upaya
meningkatkan literasi digital siswa dan guru. Rekomendasi Memperkenalkan
pentingnya literasi digital dan dasar-dasarnya sejak dini sangat penting
untuk meningkatkan resiliensi dalam menyiasati perkembangan teknologi
informasi. Literasi
digital perlu dimasukkan ke dalam kurikulum nasional mengingat pentingnya
ilmu dan kompetensi dalam menggunakan teknologi dan internet dalam kehidupan
sehari-hari. Membiasakan
cara berpikir kritis, mengajarkan penggunaan teknologi, memperkenalkan
konsep-konsep penting, seperti persetujuan (consent), batasan (boundary),
serta data personal yang tidak boleh dibagikan di ruang maya, seperti alamat,
password, dan nama orangtua, harus mulai diajarkan sedini mungkin di sekolah. Selanjutnya
perlu terus membimbing mereka menggunakan teknologi dengan aman dan
bertanggung jawab. Hal ini mengisyaratkan pentingnya pembekalan orangtua,
guru, dan pengasuh anak dengan literasi digital agar mereka dapat membimbing
anak-anak mereka dalam menggunakan teknologi internet. Kemendikbudristek
memiliki banyak program literasi, tetapi hanya terbatas pada mendukung
kebiasaan membaca dan bukan untuk meningkatkan literasi digital. Sudah
sewajarnya jika literasi digital menjadi program utama di tengah-tengah peningkatan
upaya digitalisasi pendidikan di Indonesia.● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/11/literasi-digital-sebagai-pelindung-dari-ancaman-nyata-dunia-maya |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar