Kasus Roy Suryo & Korban Pasal
Karet: Semua Berpotensi Terjerat Andrian Pratama Taher : Jurnalis Tirto.id |
TIRTO.ID, 24 Juli 2022
Roy Suryo, eks
Menteri Pemuda dan Olahraga resmi berstatus tersangka dalam kasus unggahan
meme stupa Candi Borobudur mirip Presiden Joko Widodo. Hal ini dikonfirmasi
Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes E. Zulpan. “Hari ini Roy
Suryo diperiksa sebagai tersangka,” ucap Zulpan saat dihubungi pada Jumat (22/7/2022). Kasus yang
menyeret Roy Suryo ini berawal dari unggahan konten foto stupa Candi
Borobudur dengan muka Presiden Jokowi pada 10 Juni 2022. Roy mengunggah tiga
foto dengan penjelasan sentilan saat berbicara soal rencana kenaikan harga
tiket Candi Borobudur. Unggahan Roy
Suryo lantas menuai polemik. Usai memantik kegaduhan, Roy langsung menghapus
konten tersebut. Ia pun mengklarifikasi lewat beberapa cuitan di akun
Twitternya @KRMTRoySuryo2. Ia menjelaskan bahwa unggahan foto Jokowi adalah
meme dari orang lain. Ia juga sudah mengajukan permintaan maaf kepada publik. Namun,
permintaan maaf Roy Suryo tak membuat persoalan selesai. Sebab, dua orang
telah melaporkan Roy Suryo ke kepolisian. Pelapor pertama adalah Kurniawan
Santoso. Pengaduan terdaftar dengan nomor LP/B/3042/VI/2022/SPKT/Polda Metro
Jaya tanggal 20 Juni 2022. Pelaporan kedua dilakukan oleh Kevin Wu ke
Bareskrim Polri dan terdaftar dengan nomor LP/B/0293/VI/2022/SPKT/BARESKRIM
tanggal 20 Juni 2022. Roy Suryo
diduga melanggar Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45A UU Nomor 19 Tahun 2016
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan/atau Pasal 156A KUHP
akibat tindakan tersebut. Pasal yang
disangkakan kepada Roy Suryo merupakan pasal yang kerap disebut sebagai
“pasal karet,” baik pasal yang tertara dalam UU ITE maupun pasal penodaan
agama di KUHP. Berdasarkan
data yang dikutip dari laman semuabisakena.id, salah satu laman yang
menyoroti jumlah korban pasal UU ITE, angka tembus di atas seratus per tahun.
Pada 2020 saja, total kasus mencapai 517 kasus. Khusus Pasal 28 ayat 2 yang
pernah masuk penjara antara lain: Ratna Sarumpaet hingga mahasiswa Yogyakarta
Florence Sihombing yang sempat viral pada 2014. Kasus dengan
penggunaan pasal penodaan agama pun tidak sedikit. Pasal ini sempat digunakan
untuk memidanakan eks Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok
hingga masuk bui. Rizieq Shihab juga pernah ditetapkan sebagai tersangka
dalam pasal ini. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) bahkan
mencatat kasus dengan menggunakan pasal penodaan agama tembus 38 kasus selama
periode Januari-Mei 2020. Peneliti The
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati menyayangkan
bertambah lagi 'korban' dari penerapan UU ITE. Menurut Maidina, pemerintah
seharusnya menggunakan metode pelaksanaan UU ITE karena berkaitan pasal yang
bermasalah. “Itu harusnya
pakai pedoman implementasi, nggak bisa dalam konteks bukan kelompok rentan
yang perlu dilindungi," kata Maidina, Jumat (22/7/2022). Maidina juga
menilai ujaran Roy Suryo tidak ada niat untuk menyulut permusuhan kelompok
rentan atau umat beragama sehingga seharusnya penanganan dilakukan secara
jelas. Sementara itu,
peneliti ELSAM, Parasurama Pamungkas memandang, politik hukum perumusan
ujaran kebencian di Indonesia baik UU ITE maupun KUHP masih mempunyai
persoalan. Hal tersebut tidak terlepas dari pengaturan asas hukum lex creta
yang belum memenuhi sehingga tidak proporsional. “Rumusan
ujaran kebencian di Pasal 28 ayat (2) UU ITE saat ini belum memperhatikan
standar Pasal 20 ICCPR mengenai hasutan kebencian yang di dalamnya terdapat
beberapa pembatasan. Selain itu definisi antargolongan di pasal ini masih
multitafsir sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum," kata Parasurama
saat dihubungi reporter Tirto. Parasurama
menambahkan, "Seharusnya ujaran kebencian diatur untuk memitigasi
perlakuan diskriminatif serta kekerasan terhadap kelompok masyarakat
tertentu. Maka suatu konten harus dilihat niatnya, publik yang dituju, serta
dampaknya apakah menyebabkan kekerasan dan diskriminasi. Sayangnya usulan
revisi UU ITE dari pemerintah akhir 2021 lalu belum menunjukkan political
will tersebut.” Parasurama
sebut, kondisi masalah UU ITE sama seperti penerapan Pasal 156 dan 157 KUHP.
Ia menilai, rumusan pasal penodaan agama dalam KUHP tidak proporsional dan
merugikan kelompok minoritas. Ia beralasan, rumusan pasal tidak jelas dan
tidak ditujukan untuk melindungi kelompok diskriminasi dan kekerasan. “Mestinya dari
pengalaman pasal ini, RKUHP tidak mengulangi kesalahan tersebut dengan
merumuskan pasal ujaran kebencian secara proporsional," kata Parasurama. Parasurama
juga menilai, masalah ITE tersebut berkaitan dengan RKUHP. Ia menilai
pemerintah masih belum melihat dan mengevaluasi keberadaan pasal-pasal ujaran
kebencian di UU ITE. Ia mencontohkan Pasal 302 RKUHP belum fokus pada
perbuatan menghasut untuk melakukan diskriminasi, permusuhan, kekerasan
sebagaimana Pasal 20 ICCPR. “Konstruksi
Pasal 302 RKUHP masih merumuskan perbuatan menyatakan kebencian atau
permusuhan yang mana tidak jelas batasannya," tutur Parasurama. Parasurama
sebut, pengaturan perbuatan ujaran kebencian di ranah siber pada Pasal 303
RKUHP juga belum menunjukkan harmonisasi dengan UU ITE. “Pilihannya bisa saja
RKUHP ini digunakan untuk mencabut pasal ujaran kebencian UU ITE yang sangat
karet itu, dengan syarat bahwa pemerintah mau memfokuskan rumusan ujaran
kebencian RKUHP untuk melindungi kelompok masyarakat tertentu dari
diskriminasi dan kekerasan,” tutur Parasurama. SKB Tidak Menjadi Solusi Ahli hukum pidana
Universtas Brawijaya, Fachrizal Affandi menilai, kedua pasal tersebut masih
bermasalah. Ia pun menilai SKB tidak menjadi solusi untuk mencegah upaya
kriminalisasi dalam penerapan UU ITE. “Pasti
bermasalah. Dari awal banyak, kan, perkara ada SKB tidak menjamin
penerapannya jadi lebih strict karena memang desain rumusan karet," kata
Fachrizal saat dihubungi reporter Tirto. Fachrizal
mengatakan, penerapan Pasal 28 ayat 2 menjadi persoalan karena unsur
kebencian yang dibangun harus menciptakan keonaran. Keonaran pun harus
dimaknai dengan adanya gangguan keamanan karena pasal tersebut konstruksinya
lebih pada tindak pidana keamanan. “Keamanan
harus di dunia nyata, gangguannya itu kalau gangguan di dunia maya, enggak
masalah. Trending (di media sosial) enggak masalah," kata Fachrizal. Fachrizal juga
menilai keberadaan Pasal 156a tentang penodaan agama juga bermasalah. Pasal
ini sempat diuji ke Mahkamah Konstitusi, tetapi ditolak. Padahal, pasal
tersebut sudah menjerat puluhan orang. Ia menilai, penerapan penghinaan
kepada Buddha juga harus jelas dalam gambar stupa yang memuat muka Jokowi. Oleh karena
itu, Fachrizal menyarankan agar penyelesaian perkara bukan dengan menggunakan
pendekatan pidana. Ia menyarankan penyelesaian hukum dilakukan dengan metode perdata
seperti kasus Johnny Depp dan Amber Heard dengan pendekatan perdata dan
biarkan kasus diselesaikan antara kedua belah pihak yang bersengketa. “Serahkan
pengaturan sengketa dengan warga itu sendiri," saran Fachrizal. ● |
Sumber
: https://tirto.id/kasus-roy-suryo-korban-pasal-karet-semua-berpotensi-terjerat-gunv
Tidak ada komentar:
Posting Komentar