Imajinasi
Negara atas Rakyatnya Rendy Pahrun Wadipalapa: Peneliti
Politik; School of Politics and International Studies, University of Leeds,
Inggris |
KOMPAS, 18 Juli 2022
Indonesia
tak bisa lepas dari tren bahwa sebagian besar negara dikepung oleh resesi
global dan destabilisasi politik pascapandemi. Hanya dalam beberapa minggu
terakhir, dua faktor ini berkelindan dengan derajatnya masing-masing:
ambruknya ekonomi Amerika Serikat, jatuhnya Perdana Menteri Boris Johnson di
Inggris, kepergian tragis Shinzo Abe di Jepang, atau didudukinya istana
kepresidenan Sri Lanka oleh massa rakyat yang protes. Frustrasi global dengan
jelas melanda semua belahan bumi. Indonesia
seharusnya berjaga dalam garis batas resesi ekonomi agar tak mengarah pada
khaotik protes. Kolaborasi antara pemerintah dan rakyat diperlukan untuk
menyiapkan jangkar di hadapan krisis. Tetapi, paradoks mengemuka di titik
ini. Yang terjadi adalah antagonisme sia-sia yang makin tajam antara elite
dan rakyat. Pada
waktu-waktu genting saat aspirasi rakyat sebaik-baiknya diserap, elite justru
membentengi dirinya dengan wacana RUU KHUP yang mensyaratkan sebuah ”kritik
harus disertai solusi”. Saat antrean mengular untuk minyak goreng yang
mendadak langka, elite justru menasihati rakyat agar mengganti metode masak
dan gaya hidupnya agar lebih sederhana. Dua
contoh dari deretan peristiwa sejenis memperlihatkan resep yang sama sekali
keliru. Sebaliknya, antagonisme yang menajam hanya akan memperburuk kemarahan
moral atas gagalnya negara di ambang krisis ekonomi dunia. Tiga
titik periksa Jantung
masalahnya bukanlah pertama-tama ada pada kebijakan, melainkan pada imajinasi
visioner negara atas rakyatnya: apa yang sesungguhnya dibayangkan sekaligus
dicita-citakan dari sebuah kumpulan kolektif manusia politik bernama rakyat? Pertanyaan
eksistensial ini berupaya menarik keluar mimpi, obsesi, dan harapan dari
tubuh politik negara terhadap rakyat. Jawaban normatif tentang ini telah lama
ditulis dalam undang-undang dasar, tetapi jawaban paling terus terang harus
dilacak sungguh-sungguh melalui tiga titik periksa. Pertama,
penting untuk membaca bagaimana negara memandang genesis dirinya sendiri,
bagaimana ia terbentuk atau ”diciptakan”. Sejarah heroik telah ditulis dengan
manis menggambarkan perjuangan rakyat atas kolonialisme, beserta
pemikir-pemikir kebangsaan yang menyiapkan desain negara hingga
menjalankannya setelah merdeka. Narasi
tersebut, jika dilihat secara berimbang, adalah sebuah bentuk kehati-hatian
agar tidak meletakkan yang satu lebih rendah atau lebih tinggi ketimbang yang
lain: bahwa baik rakyat jelata maupun elite intelektual bangsa adalah dua
garda depan yang saling mengisi perjuangan eksistensial sebuah Indonesia.
Semata-mata mengecilkan nilai dan jumlah perjuangan jelata di hadapan
gagahnya jargon dan pidato monumental elite bangsa dapat menjebak kita pada
glorifikasi. Risiko
besar dari ini adalah terciptanya lingkaran eksklusif atas suatu kategori
orang terhadap lainnya, menginspirasi terbentuk kuatnya dinasti politik dan
oligarki kekuasaan. Imajinasi atas para rakyat yang tak terlalu bernilai
perjuangannya pada pembentukan bangsa, atau lebih buruk lagi adalah ”berutang
budi” kepada elite, telah melahirkan hierarki permanen antara elite dan
rakyat. Kedua,
terhadap pilihan jalan politik dan bagaimana rakyat dilibatkan. Jika
demokrasi didaku sebagai pilihan utama dan satu-satunya, maka berlaku syarat
mutlak dalam menjaga pilar-pilarnya. Kebebasan berekspresi dijamin, ruang
publik berjalan tanpa intervensi, kompetisi dan transisi kekuasaan yang sehat,
serta keseimbangan postur organisasi politik demi pemerintah yang terkontrol. Yang
terjadi adalah sebaliknya: pendapat oposisi dikecam dan direpresi, ruang
publik dipenuhi oleh pendengung yang memolarisasi pendapat, pemilu dibakar
oleh sentimen primordial dan disinformasi, dan timpangnya postur politik di
parlemen karena kooptasi besar-besaran dalam satu aliansi politik
pro-pemerintah. Deviasi ini memperlihatkan sempitnya ruang yang tersedia bagi
rakyat dalam demokrasi yang seharusnya menyervis dirinya sebagai prioritas
tertinggi. Ketiga,
diperlukan pemeriksaan atas apa yang dipersepsi sebagai ”ancaman”. Urgensi
dalam pendefinisian ini adalah jalan untuk memahami mengapa, kapan, dan
bagaimana sebuah perlindungan diberikan kepada rakyat dalam berhadapan dengan
ancaman. Dalam negara berdaulat, ancaman dibaca sebagai degradasi atas dua
fondasi vital, yakni kedaulatan atas teritori beserta nilai-nilainya serta
kesejahteraan bangsa. Yang terjadi adalah paradoks. Ancaman utama hampir
selalu ditafsirkan sebagai ”alien”, yang berasal dari luar pagar, mereka yang
”bukan kita” dan menerobos masuk. Terorisme
dan radikalisme masuk dalam kategori utama ancaman, terutama karena skala
kekerasan sekaligus potensi destruksi yang besar. Tetapi, pada saat yang
sama, ketika dua ancaman ini diterjemahkan ke dalam jargon dan lebih jauh
lagi dibawa masuk ke dalam vocabulary kampanye politik, orang dimanipulasi
untuk percaya bahwa mereka yang tak sepaham dan sejenis (bukan hanya dalam
hal cara berpakaian, tetapi lebih-lebih dalam hal pilihan politik!) adalah
radikal dan klan teroris. Radikalisme
telah menjadi ladang baru polarisasi sosial dan labelisasi, menguasai
diskursus publik demikian lama dan intens, menyemburkan prasangka berat dan
menggusur isu-isu tentang kemiskinan, penggusuran, penyerobotan tanah, atau
apa pun yang mewakili ancaman genting atas kesejahteraan penghuni bangsa. Di
sini, rakyat bukanlah elemen yang terlindungi dari apa yang disebut sebagai
”ancaman”, melainkan diletakkan sebagai bahan bakar mobilisasi dukungan atas
satu kelompok dan dikorbankan atas nama fanatisme elite politik. Lewat
tiga sudut pemeriksaan ini, tulisan ini sejak semula tidak bermaksud
menawarkan sebuah diagnosis pesimistis. Namun, barangkali melalui kritik yang
menyasar pada visi mendasar Indonesia sebagai negara, kita dapat melihat
lebih jernih atas sumber sengkarut dari masalah-masalah bersama. Suasana yang
mencekam dan khaotik di negara-negara lain semestinya mendorong kita semua
untuk mendamaikan jarak, prasangka, dan konflik semu yang diorkestrasi demi
kepentingan suara pada peristiwa-peristiwa politik sebelumnya. Bahkan,
jika tulisan semacam ini dibaca sebagai narasi pesimistik dan ”kritik tanpa
solusi”, satu pertanyaan lain harus dijawab: berapa negara harus menyiapkan
anggaran beserta tunjangan profesional untuk saran dan solusi yang lahir dari
keluhan dua ratus tujuh puluh juta kepala rakyat? ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/16/imajinasi-negara-atas-rakyatnya |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar