Gelap Terang Shinzo
Abe (Bagian I) Sekar Kinasih : Jurnalis Tirto.id |
TIRTO.ID, 14 Juli 2022
Dinamika
sosiopolitik dan ekonomi Jepang selama satu dekade terakhir tidak bisa dipisahkan
dari sosok Shinzo Abe. Perdana menteri paling lama ini wajahnya selalu tampak
letih dan serius. Fotonya yang paling ikonik mungkin terabadikan dalam
pertemuan G-7 tahun 2018 silam. Abe mendekapkan kedua tangan sembari memasang
raut jenuh nan maklum, sementara di depannya Kanselir Jerman Angela Merkel
menekan meja dan menatap tajam Presiden AS Donald Trump. Di balik
pembawaannya yang cenderung kaku, Abe sangat menikmati kegiatan bersantai
seperti menonton bioskop bersama istri dan ibunya. Film-film yang pernah ia
saksikan mulai dari drama musikal Les Miserables (2012), thriller psikologis
Gone Girl (2014), sampai waralaba fiksi sains Star Wars. Ia juga menggemari
karya-karya dari sutradara-aktor Clint Eastwood. Kegemaran
terhadap film bahkan membuatnya pernah mengaku akan menggeluti bidang
tersebut setelah pensiun dari politik. “Mungkin saya akan menyutradarai film
yakuza. Hasilnya berupa gabungan dari sentuhan dokumenter Jingi Naki Tatakai
dan The Godfather,” ujarnya dalam wawancara tahun 2010 silam. Film yang
disebut pertama, disutradarai oleh Kinji Fukasaku pada 1973, terinspirasi
dari kisah nyata tentang perebutan kekuasaan bos-bos yakuza di Hiroshima. Sayangnya
keinginan ini belum juga terwujud meski ia sudah mengundurkan diri karena
sakit pada 2020 silam. Hal ini terjadi karena Abe masih dianggap berpengaruh
di lanskap politik Jepang, termasuk sebagai pemimpin de facto faksi terbesar
Liberal Democratic Party (LDP), partai konservatif yang mendominasi Jepang
selama lebih dari setengah abad. Abe masih
disibukkan dengan aktivitas di atas podium: dari mulai memberikan pidato
tentang relasi Jepang-Taiwan, mengadvokasikan pentingnya menambah anggaran
militer, sampai bermain piano untuk acara wisuda kampus. Ia juga masih
membantu mengampanyekan kandidat caleg. Kegiatan yang
disebut terakhir salah satunya dilakukan Abe di kota seribu rusa, Nara, pada
siang hari Jumat 8 Juli 2022. Tak seorang pun menduga itulah orasi terakhir
Abe. Dari kerumunan massa, seorang mantan marinir menembaknya dengan senjata
rakitan. Abe dinyatakan meninggal dunia pada sore harinya. Awal Kiprah Abe di Politik Sejumlah media
internasional mengenang Abe dengan cara yang berbeda dan kontras satu sama
lain. Ada yang
menganggapnya bak pahlawan. Time, misalnya, menulis bahwa “Abe adalah
pemimpin luar biasa... Karisma, kekuatan kepribadian, dan bakat politik yang
hebat memberinya tempat abadi dalam imajinasi warganya.” The Economist
memujinya sebagai “jagoan Jepang” dan BBC menyebutnya “sangat populer” tapi
juga seorang ”nasionalis konservatif.” Beberapa yang
lain lebih konfrontatif. Situs berita radio Amerika Serikat, NPR, menyebutnya
“tokoh konservatif pemecah belah,” istilah yang lebih dulu disematkan oleh
Associated Press. NPR juga melabelinya “ultranasionalis.” Sementara CBS
Mornings menjabarkan Abe sebagai “figur yang mempolarisasi” serta “nasionalis
dan konservatif sayap kanan” dengan “pandangan-pandangan politik
kontroversial.” Abe memang
memiliki segudang kisah yang membuatnya sulit dikategorikan dalam satu
istilah. Perkenalan
dengan politik praktis dimulai ketika ia mengasisteni bapaknya yang menjabat
Menteri Luar Negeri Jepang periode 1982-1986, Shintaro Abe. Ia benar-benar
mendapat tempat dalam politik setelah terpilih sebagai anggota DPR pada 1993.
Pada tahun itu juga karier Abe di LDP, partai tempat keluarganya lebih dulu
berkiprah, mulai meroket. Pada 2000, Abe
diangkat sebagai Wakil Sekjen LDP dan menjalin hubungan dekat dengan perdana
menteri populis Junichiro Koizumi. Enam tahun kemudian, ia terpilih jadi Ketua
LDP, posisi yang otomatis membuatnya jadi perdana menteri termuda Jepang
sejak 1941. Di jabatan
baru tersebut, politikus yang kala itu baru berusia 52 ini berambisi merevisi
Pasal 9 Undang-Undang Dasar Jepang atau yang juga disebut dengan konstitusi
pasifis. Peraturan ini ringkasnya melarang Jepang memiliki militer yang
ofensif. Tujuannya agar mereka tak lagi menjadi negara imperialis. Aturan ini
dibuat setelah Jepang kalah Perang Dunia II dan ketika sedang diduduki Sekutu
yang dipimpin AS. Visi ini mirip
dengan keinginan kakeknya, Perdana Menteri Nobusuke Kishi (1957-1960). Ia
berharap Jepang bisa setara dengan negara-negara maju dan merdeka lain,
terutama lebih mandiri secara militer dari bayang-bayang AS. Hanya saja
rencananya ditolak publik yang khawatir akan dampak negatifnya. Dalam pidato
tahun 2006, Abe mengatakan kebijakan pasifis tak bisa lagi dipertahankan
karena begitu banyak ancaman bagi Jepang, dari mulai senjata pemusnah masal,
terorisme, dan konflik-konflik regional. “Komunitas
internasional meminta Jepang agar berkontribusi lebih banyak untuk perdamaian
dan stabilitas dunia,” ujarnya, “maka dari itu, saya, yang memikul tanggung
jawab besar... harus mempertimbangkan kebijakan keamanan terbaik untuk
melindungi bangsa dan rakyat.” Mungkin karena
percaya dengan fungsi militerlah Abe tidak sensitif terhadap riwayat
kekejaman negaranya di masa lalu. Contohnya terjadi pada 2007 lalu. Saat itu
ia menepis protes dari publik Cina dan daratan Korea tentang jugun ianfu,
perbudakan seksual oleh tentara Jepang di masa penjajahan. Administrasinya
kian tidak populer setelah dihinggapi berbagai skandal, termasuk kehilangan
anggota kabinet yang tersandung masalah keuangan sampai bunuh diri. Abe
sendiri disinyalir terlibat penghindaran pajak. Tak sampai setahun setelah
diangkat jadi perdana menteri, Abe mundur karena alasan sakit. Kembalinya Abe Abe menemukan
jalan kembali ke kursi perdana menteri pada pengujung 2012. Ketika itu ia
begitu disambut antusias oleh publik. Ia mengaku
saat tidak aktif sebagai pejabat publik selama enam tahun “berkeliling negeri
sekadar untuk mendengarkan.” Saat itulah menurutnya ia mendengar “rakyat
menderita karena kehilangan pekerjaan akibat deflasi dan apresiasi mata
uang,” bahkan “beberapa orang tak punya harapan akan masa depan.” “Maka dari itu
prioritas administrasi kedua saya adalah menyingkirkan deflasi dan
mengembalikan ekonomi Jepang,” papar Abe saat diwawancarai Foreign Affairs. Saat itu
stagnasi ekonomi memang masih berlangsung di Jepang sejak dua dekade terakhir.
Jepang kian hanyut dalam gelombang resesi ketika terjadi gempa bumi dan
tsunami di Fukushima pada 2011. Abe hadir
menjanjikan obat mujarab yang terdiri dari strategi kebijakan moneter dan
fiskal serta reformasi struktural—dikenal sebagai Abenomics. Termasuk di
dalamnya mendorong partisipasi pekerja perempuan dan melonggarkan kebijakan
imigrasi untuk merekrut lebih banyak pekerja asing. Tujuannya tak lain untuk
menutup kekurangan tenaga kerja seiring jumlah lansia meningkat. Kian
digencarkan pula strategi soft power “Cool Japan”: ekspor produk budaya
(anime, manga, kuliner) termasuk promosi pariwisata agar turis mau
berdatangan. Ia juga
bergerak cepat di kancah internasional. Abe dipandang berhasil membuat Jepang
lebih terbuka dan aktif dengan, misalnya, mengikuti perjanjian perdagangan
bebas Trans-Pacific Partnership (TPP). Ini adalah juga merupakan upaya untuk
menangkal kuatnya ekspansi dagang Cina. Abe kelak berjasa menghidupkannya
lagi setelah salah satu nakhodanya, pemerintah AS, hengkang lewat inisiatif
Comprehensive and Progressive Agreement for Trans-Pacific Partnership
(CPATPP). Persahabatan
Jepang dan Eropa juga kian kuat melalui Economic Partnership Agreement (EPA),
yang diakui sebagai “perjanjian dagang terbesar yang pernah dinegosiasikan
Uni Eropa.” Abe juga berada di balik forum diskusi tentang strategi keamanan
antara Jepang, AS, India, dan Australia yang disebut Quad. Tujuannya tidak
lain juga menghalau ekspansi Cina di Laut Cina Timur dan Selatan. Atas segala
kebijakannya Abe lekas mendapat pujian. Media propasar Economist edisi Mei
2013 atau tak sampai setengah tahun menjabat, misalnya, menurunkan laporan
dengan ilustrasi Abe dalam balutan kostum Superman. Kala itu pasar modal
Jepang dilaporkan tumbuh sampai 55 persen, ekonomi kuartal pertama pun
positif. Pada 2017,
ketika Abe dan partainya kembali menang pemilu, tingkat pengangguran di
Jepang hanya 2,7 persen, terendah sejak 1994. Sampai 2019, jumlah pekerja
perempuan meningkat hingga 3 juta orang. Dukungan Abe terhadap pekerja perempuan
juga ditunjukkan lewat janji memperbanyak jumlah layanan penitipan anak
sampai 320 ribu. Lebih dari 2,8 juta warga negara asing bekerja di
Jepang—meningkat sampai 40 persen sepanjang kepemimpinan Abe. Meskipun pakar
setuju bahwa Abenomics membantu Jepang jadi lebih tangguh dari guncangan, Abe
tetap dianggap tidak sempurna. Selama lebih
dari delapan tahun berkuasa, ekonom mencatat rata-rata pertumbuhan PDB hanya
0,9 persen. Ambisi Abe untuk mencapai rekor nilai PDB sampai 600 triliun yen
pada 2020 juga gagal. Abenomics juga
dikritik memperlebar jurang ketimpangan upah karena mendorong semakin
banyaknya pekerjaan rentan (tidak mendapat cukup manfaat atau tunjangan serta
mudah dipecat) yang bergaji relatif rendah. Abenomics pun
tidak serta merta meningkatkan kualitas pekerja perempuan. Di balik jumlahnya
yang meningkat, 56 persen perempuan bekerja di ranah nonreguler (sebagai
pekerja paruh waktu atau kontrak). Dari persentase tersebut, 83 persennya
menerima gaji tahunan kurang dari 1,9 juta per tahun (median gaji tahunan
pegawai tetap berkisar 4,5 juta yen). Perempuan yang bekerja di level
eksekutif perusahaan hanya 3,7 persen, sementara 73 persen perusahaan bahkan
tidak punya pekerja perempuan di tingkat manajemen. Jepang juga
masih terseok di indeks ketimpangan gender, dari peringkat ke-111 pada 2016
jadi 114 setahun kemudian. ● |
Sumber
: https://tirto.id/gelap-terang-shinzo-abe-bagian-i-gt1k
Tidak ada komentar:
Posting Komentar