Dugaan Pemborosan
Infrastruktur di Program Food Estate Yohanes Paskalis : Jurnalis
Tempo |
KORAN TEMPO, 12 Juli 2022
Proyek infrastruktur
kawasan sentra produksi pangan alias food estate yang digarap Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) disebut dapat menggerus kas
negara. Di antaranya karena kelebihan pembayaran Rp 10,57 miliar dan potensi
kelebihan bayar Rp 17,40 miliar proyek infrastruktur di bawah Direktorat Jenderal
Sumber Daya Air, yang terungkap dalam Laporan Hasil Pemeriksaan dengan Tujuan
Tertentu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dalam laporan soal belanja
program food estate pada 2020 hingga triwulan III 2021 tersebut, auditor BPK
menyoroti kinerja tiga unit utama Kementerian PUPR, yaitu Direktorat Jenderal
Sumber Daya Air, Direktorat Jenderal Bina Marga, serta Direktorat Jenderal
Bina Konstruksi. Pada infrastruktur
pengairan yang tergolong krusial bagi sentra pangan, BPK mendapati kesalahan
penghitungan volume dan proyeksi kemajuan proyek, serta ketidaksesuaian pada
spesifikasi dan penghitungan analisis harga satuan pekerjaan (AHSP). Masalah
beragam itu terindikasi dalam enam paket pekerjaan yang nilainya menembus Rp
27,97 miliar—empat paket digarap satuan kerja nonvertikal tertentu (SNVT)
Pelaksanaan Jaringan Pemanfaatan Air (PJPA) Sumatera II, sedangkan dua paket
lainnya digarap SNVT PJPA I Kalimantan II. Di kawasan satuan PJPA
Sumatera II, berdasarkan uraian dalam laporan BPK, kesalahan penghitungan itu
mencakup peralatan yang menyokong rencana food estate Kabupaten Humbang
Hasundutan, Sumatera Utara. Dengan belanja modal Rp 596 miliar, unit wilayah
Ditjen SDA mengerjakan satu paket pembukaan lahan (land clearing) dan empat
paket jaringan perpipaan di sana. Khusus di wilayah itu, audit BPK mencatat
adanya hitungan kebutuhan yang tak sesuai dengan kondisi riil serta realisasi
pembayaran di luar ketentuan sebesar sekitar Rp 7,01 miliar. Tempo melihat langsung
kondisi ladang lumbung pangan di Humbang Hasundutan, persisnya di Desa
Ria-Ria. Sejumlah infrastruktur pengairan di situ terbengkalai, termasuk bak
air seukuran lapangan basket serta kantor pengelolaan irigasi di dekatnya. Tim audit BPK juga
mengurai sejumlah masalah pada area kerja SNVT PJPA I Kalimantan II di
Kalimantan Tengah. Perkaranya unik, dari pelaporan realisasi pekerjaan yang
tidak tertib, temuan item pekerjaan yang tidak bisa dibayarkan, serta masalah
bukti pengadaan mobil pompa. Ada juga bagian dari pengerjaan pintu air dan
jembatan lahan Blok A food estate Kalimantan Tengah yang tak sesuai dengan
kontrak. Berbeda dengan proyek di
Sumatera Utara yang berfokus pada perpipaan dan land clearing, balai wilayah
SDA cenderung merehabilitasi jaringan irigasi di Kalimantan—mencakup
pembangunan pintu air, jembatan, sumur bor, serta jalur air tanah untuk air
baku. Adapun di area food estate Nusa Tenggara Timur, tim SDA mengerjakan
irigasi air tanah untuk perpipaan sprinkler. Akibat masalah pada proyek
infrastruktur di bawah Ditjen SDA itu, BPK menyebutkan adanya kelebihan
pembayaran sebesar Rp 10,57 miliar, belum termasuk Rp 17,40 miliar yang
dicantumkan sebagai “potensi” kelebihan bayar. Persoalan infrastruktur
air lumbung pangan pun berkaitan dengan temuan soal paket kerja jasa
konsultasi sebesar Rp 781,54 juta yang tidak sesuai dengan ketentuan kontrak.
Temuan ini tertuju kepada Direktorat Jenderal Bina Konstruksi. Direktur Irigasi dan Rawa
Kementerian PUPR, Suparji, menyatakan telah mempelajari temuan BPK dan
menjalankan rekomendasinya. “Sudah kami follow up,” ujarnya kepada Tempo,
kemarin. “Kami jelaskan semua dan data kami sudah diakui BPK.” Potensi nilai kerugian
dalam laporan BPK, misalnya indikasi kesalahan penghitungan dan
ketidakcocokan spesifikasi senilai Rp 27,97 miliar, pun langsung diklarifikasi
oleh tim Kementerian PUPR. “Kan bunyinya hanya potensi (kerugian). Yang
memang ada kesalahan pun sudah kami akui, dan (kelebihan pendanaan) langsung
kami bayarkan kepada kas negara.” Di area Blok A food estate
Kalimantan Tengah, Suparji mengimbuhkan, tim Kementerian pun sudah menyisir
potensi lahan seluas 43.503 ribu hektare (ha) di Kabupaten Kapuas, yang
terdiri atas delapan daerah irigasi rawa (DIR). Dalam daftar isu strategis
yang diangkat BPK, hanya 4.872 ha jaringan irigasi rawa di wilayah itu yang
digunakan untuk program food estate lantaran kondisinya baik. Adapun 17.257
ha area di ladang itu perlu rehabilitasi dan 21.374 ha lainnya perlu
peningkatan. “Semua kami identifikasi
dulu potensinya,” ucap Suparji. Hingga kemarin, upaya permintaan
konfirmasi Tempo melalui pesan pendek dan telepon kepada Ketua BPK Isma Yatun
ihwal audit proyek food estate tidak bersambut. Pertanyaan Tempo mengenai
koordinasi terakhir dan pengawasan proyek food estate kepada Deputi Bidang
Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Perekonomian,
Musdalifah Machmud, juga tidak direspons hingga berita ini ditulis.
Kementerian Koordinator Perekonomian membawahkan Kementerian Pertanian yang
menangani langsung proyek area produksi pangan. Pertanyaan konfirmasi
serupa juga dilayangkan Tempo kepada Kementerian Koordinator Kemaritiman dan
Investasi yang membawahkan Kementerian PUPR. Panggilan telepon dan pesan
pendek kepada juru bicara Kemenko Kemaritiman, Jodi Mahardi, tidak disahut.
Begitu juga dengan juru bicara Kementerian PUPR, Endra Saleh Atmawidjaja,
yang tidak menjawab panggilan Tempo sejak Ahad lalu. Adapun Direktur
Pembangunan Jalan Kementerian PUPR, Satrio Sugeng Prayitno, mengklaim seluruh
temuan BPK perihal infrastruktur yang dikerjakan Direktorat Jenderal Bina
Marga di lahan food estate sudah direspons. “Langsung ditindaklanjuti oleh
balai terkait, baik berupa pembayaran, pemotongan pembayaran, maupun teguran
terhadap satuan kerja dan pejabat pembuat komitmen,” kata dia melalui jawaban
tertulis, pekan lalu. Audit BPK mengungkit
temuan kekurangan volume, ketidaksesuaian spesifikasi minimum, serta
ketidaksesuaian penghitungan AHSP dengan kondisi sesungguhnya pada sembilan
paket kerja Bina Marga, sebesar total Rp 4,51 miliar. Dari masalah tersebut,
sudah terdapat kelebihan pembayaran sebesar Rp 3,84 miliar. Adapun nilai yang
tercatat sebagai potensi kelebihan bayar berkisar Rp 664 juta. Dalam proyek jalan,
menurut Satrio, AHSP merupakan alat bantu untuk menghitung harga satuan
pekerjaan/harga perkiraan sendiri (HPS). “Sedangkan HPS tidak menjadi dasar
penghitungan besaran kerugian negara,” ujar dia. Tanggapan itu berbasis pada
Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang dan Jasa
Pemerintah. Direktur Institute for
Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad, menilai program
food estate yang masuk daftar proyek strategis nasional menjadi cacat dengan
temuan BPK. Proyek sumber pangan itu bisa semakin merugikan negara bila terus
berjalan tanpa pembenahan masalah. “Saya khawatir proyeknya
menjadi tidak layak,” kata Tauhid. “Apalagi temuan BPK bersifat penganggaran
program, belum melihat outcome, benefit, dan impact.” ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar