Rabu, 13 Juli 2022

 

Dugaan Pemborosan Infrastruktur di Program Food Estate

Yohanes Paskalis :   Jurnalis Tempo

KORAN TEMPO, 12 Juli 2022

 

 

                                                           

Proyek infrastruktur kawasan sentra produksi pangan alias food estate yang digarap Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) disebut dapat menggerus kas negara. Di antaranya karena kelebihan pembayaran Rp 10,57 miliar dan potensi kelebihan bayar Rp 17,40 miliar proyek infrastruktur di bawah Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, yang terungkap dalam Laporan Hasil Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

 

Dalam laporan soal belanja program food estate pada 2020 hingga triwulan III 2021 tersebut, auditor BPK menyoroti kinerja tiga unit utama Kementerian PUPR, yaitu Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Direktorat Jenderal Bina Marga, serta Direktorat Jenderal Bina Konstruksi.

 

Pada infrastruktur pengairan yang tergolong krusial bagi sentra pangan, BPK mendapati kesalahan penghitungan volume dan proyeksi kemajuan proyek, serta ketidaksesuaian pada spesifikasi dan penghitungan analisis harga satuan pekerjaan (AHSP). Masalah beragam itu terindikasi dalam enam paket pekerjaan yang nilainya menembus Rp 27,97 miliar—empat paket digarap satuan kerja nonvertikal tertentu (SNVT) Pelaksanaan Jaringan Pemanfaatan Air (PJPA) Sumatera II, sedangkan dua paket lainnya digarap SNVT PJPA I Kalimantan II.

 

Di kawasan satuan PJPA Sumatera II, berdasarkan uraian dalam laporan BPK, kesalahan penghitungan itu mencakup peralatan yang menyokong rencana food estate Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara. Dengan belanja modal Rp 596 miliar, unit wilayah Ditjen SDA mengerjakan satu paket pembukaan lahan (land clearing) dan empat paket jaringan perpipaan di sana. Khusus di wilayah itu, audit BPK mencatat adanya hitungan kebutuhan yang tak sesuai dengan kondisi riil serta realisasi pembayaran di luar ketentuan sebesar sekitar Rp 7,01 miliar.

 

Tempo melihat langsung kondisi ladang lumbung pangan di Humbang Hasundutan, persisnya di Desa Ria-Ria. Sejumlah infrastruktur pengairan di situ terbengkalai, termasuk bak air seukuran lapangan basket serta kantor pengelolaan irigasi di dekatnya.

 

Tim audit BPK juga mengurai sejumlah masalah pada area kerja SNVT PJPA I Kalimantan II di Kalimantan Tengah. Perkaranya unik, dari pelaporan realisasi pekerjaan yang tidak tertib, temuan item pekerjaan yang tidak bisa dibayarkan, serta masalah bukti pengadaan mobil pompa. Ada juga bagian dari pengerjaan pintu air dan jembatan lahan Blok A food estate Kalimantan Tengah yang tak sesuai dengan kontrak.

 

Berbeda dengan proyek di Sumatera Utara yang berfokus pada perpipaan dan land clearing, balai wilayah SDA cenderung merehabilitasi jaringan irigasi di Kalimantan—mencakup pembangunan pintu air, jembatan, sumur bor, serta jalur air tanah untuk air baku. Adapun di area food estate Nusa Tenggara Timur, tim SDA mengerjakan irigasi air tanah untuk perpipaan sprinkler.

 

Akibat masalah pada proyek infrastruktur di bawah Ditjen SDA itu, BPK menyebutkan adanya kelebihan pembayaran sebesar Rp 10,57 miliar, belum termasuk Rp 17,40 miliar yang dicantumkan sebagai “potensi” kelebihan bayar.

 

Persoalan infrastruktur air lumbung pangan pun berkaitan dengan temuan soal paket kerja jasa konsultasi sebesar Rp 781,54 juta yang tidak sesuai dengan ketentuan kontrak. Temuan ini tertuju kepada Direktorat Jenderal Bina Konstruksi.

 

Direktur Irigasi dan Rawa Kementerian PUPR, Suparji, menyatakan telah mempelajari temuan BPK dan menjalankan rekomendasinya. “Sudah kami follow up,” ujarnya kepada Tempo, kemarin. “Kami jelaskan semua dan data kami sudah diakui BPK.”

 

Potensi nilai kerugian dalam laporan BPK, misalnya indikasi kesalahan penghitungan dan ketidakcocokan spesifikasi senilai Rp 27,97 miliar, pun langsung diklarifikasi oleh tim Kementerian PUPR. “Kan bunyinya hanya potensi (kerugian). Yang memang ada kesalahan pun sudah kami akui, dan (kelebihan pendanaan) langsung kami bayarkan kepada kas negara.”

 

Di area Blok A food estate Kalimantan Tengah, Suparji mengimbuhkan, tim Kementerian pun sudah menyisir potensi lahan seluas 43.503 ribu hektare (ha) di Kabupaten Kapuas, yang terdiri atas delapan daerah irigasi rawa (DIR). Dalam daftar isu strategis yang diangkat BPK, hanya 4.872 ha jaringan irigasi rawa di wilayah itu yang digunakan untuk program food estate lantaran kondisinya baik. Adapun 17.257 ha area di ladang itu perlu rehabilitasi dan 21.374 ha lainnya perlu peningkatan.

 

“Semua kami identifikasi dulu potensinya,” ucap Suparji.

 

Hingga kemarin, upaya permintaan konfirmasi Tempo melalui pesan pendek dan telepon kepada Ketua BPK Isma Yatun ihwal audit proyek food estate tidak bersambut. Pertanyaan Tempo mengenai koordinasi terakhir dan pengawasan proyek food estate kepada Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Perekonomian, Musdalifah Machmud, juga tidak direspons hingga berita ini ditulis. Kementerian Koordinator Perekonomian membawahkan Kementerian Pertanian yang menangani langsung proyek area produksi pangan.

 

Pertanyaan konfirmasi serupa juga dilayangkan Tempo kepada Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi yang membawahkan Kementerian PUPR. Panggilan telepon dan pesan pendek kepada juru bicara Kemenko Kemaritiman, Jodi Mahardi, tidak disahut. Begitu juga dengan juru bicara Kementerian PUPR, Endra Saleh Atmawidjaja, yang tidak menjawab panggilan Tempo sejak Ahad lalu.

 

Adapun Direktur Pembangunan Jalan Kementerian PUPR, Satrio Sugeng Prayitno, mengklaim seluruh temuan BPK perihal infrastruktur yang dikerjakan Direktorat Jenderal Bina Marga di lahan food estate sudah direspons. “Langsung ditindaklanjuti oleh balai terkait, baik berupa pembayaran, pemotongan pembayaran, maupun teguran terhadap satuan kerja dan pejabat pembuat komitmen,” kata dia melalui jawaban tertulis, pekan lalu.

 

Audit BPK mengungkit temuan kekurangan volume, ketidaksesuaian spesifikasi minimum, serta ketidaksesuaian penghitungan AHSP dengan kondisi sesungguhnya pada sembilan paket kerja Bina Marga, sebesar total Rp 4,51 miliar. Dari masalah tersebut, sudah terdapat kelebihan pembayaran sebesar Rp 3,84 miliar. Adapun nilai yang tercatat sebagai potensi kelebihan bayar berkisar Rp 664 juta.

 

Dalam proyek jalan, menurut Satrio, AHSP merupakan alat bantu untuk menghitung harga satuan pekerjaan/harga perkiraan sendiri (HPS). “Sedangkan HPS tidak menjadi dasar penghitungan besaran kerugian negara,” ujar dia. Tanggapan itu berbasis pada Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.

 

Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad, menilai program food estate yang masuk daftar proyek strategis nasional menjadi cacat dengan temuan BPK. Proyek sumber pangan itu bisa semakin merugikan negara bila terus berjalan tanpa pembenahan masalah.

 

“Saya khawatir proyeknya menjadi tidak layak,” kata Tauhid. “Apalagi temuan BPK bersifat penganggaran program, belum melihat outcome, benefit, dan impact.” ●

 

Sumber :  https://koran.tempo.co/read/berita-utama/475048/dugaan-pemborosan-infrastruktur-di-program-food-estate

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar