Diplomasi
Jokowi dan G20 Trias
Kuncahyono : Wartawan Senior |
KOMPAS, 20 Juli 2022
Ketika
Indonesia secara resmi memegang presidensi (keketuaan) Group Twenty (G20),
per 1 Desember 2021, tidak terbayangkan muncul persoalan sangat berat dan
rumit, yakni ”operasi militer khusus” (istilah yang digunakan Moskwa; yang
oleh masyarakat internasional disebut invasi militer) Rusia ke wilayah
Ukraina. Aksi Rusia tersebut—apa pun istilahnya—telah
”memecah” dunia menjadi empat blok, seperti tecermin dari voting resolusi PBB
tentang Ukraina, beberapa waktu lalu. Keempat blok itu ialah blok
negara-negara yang mendukung resolusi (141), yang menentang (against) (5),
yang abstain (35), dan yang tidak memberikan suara (12). Tidak berhenti sampai di sini. Akibat aksi militer
itu, Amerika Serikat (AS) dan sekutunya mengancam akan memboikot KTT G20 di
Bali, November 2022, jika Rusia datang. AS bahkan mengancam akan memboikot sejumlah
pertemuan G20 jika Rusia tidak dikeluarkan dari kelompok itu meskipun
sesungguhnya G20 adalah forum kerja sama multilateral bidang ekonomi, bukan
forum politik atau forum keamanan. Urusan menjaga keamanan dan ketertiban
dunia, itu lebih merupakan tanggung jawab PBB. Sementara itu, Indonesia sebagai presidensi G20
berkewajiban mengundang negara anggota, terlepas dari apa yang terjadi saat
ini. Namun, aksi militer Rusia ke Ukraina menyebabkan semuanya tidak bisa
berjalan sebagaimana diharapkan. Sampai di titik ini, bayang-bayang ”kegagalan”
rangkaian KTT G20 terlihat. Akan tetapi, bagi Indonesia, the show must go on.
Kata Presiden Jokowi, presidensi adalah sebuah kepercayaan dan kehormatan
bagi Indonesia (presidenri.go.id dan Youtube Sekretariat Presiden, 1 Desember
2021). ”Kepercayaan ini adalah kesempatan bagi Indonesia
untuk berkontribusi lebih besar bagi pemulihan ekonomi dunia, untuk membangun
tata kelola dunia yang lebih sehat, lebih adil, dan lebih berkelanjutan
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial,” kata
Presiden. Diplomasi ”soft power” Apa yang terjadi, setelah aksi militer Rusia ke
Ukraina, mengharuskan Indonesia bekerja lebih keras lagi demi suksesnya
rangkaian perhelatan KTT G20 lewat jalur diplomasi. Secara sederhana, diplomasi negara dapat
didefinisikan sebagai seni dan kemampuan memersuasi pihak lain. Itulah yang
dilakukan Presiden Jokowi dan juga Menlu Retno Marsudi. Mereka mengontak,
menemui, dan berbicara dengan pemimpin-pemimpin penting dunia untuk
memperlancar semua rangkaian KTT G20. Kehadiran Presiden Jokowi ke KTT Khusus ASEAN-AS di
Washington sekaligus dimanfaatkan untuk meyakinkan Presiden Joe Biden bahwa
kehadiran AS di KTT G20 sangat penting. Sebuah langkah diplomasi yang hebat
dilakukan Presiden Jokowi saat menuliskan pesan pada buku tamu pada jamuan
santap malam antarpemimpin negara-negara ASEAN dan Presiden Joe Biden. Presiden Jokowi menulis: ”Menantikan kemitraan
ASEAN-AS yang lebih kuat. Sampai jumpa di Bali untuk G20”. Kalimat, ”Sampai
jumpa di Bali untuk G20” sepertinya biasa saja. Akan tetapi, pada situasi
saat ini, sangat sarat makna. Itu adalah undangan khusus sekaligus sebuah
ungkapan hati bahwa Joe Biden sangat diharapkan kehadirannya. Demikian juga kehadiran Presiden Jokowi ke KTT G7 di
Jerman, juga bagian dari upaya Indonesia untuk mengundang dan mengajak
negara-negara anggota G20 hadir. Presiden Jokowi menegaskan bahwa diperlukan
upaya dan tanggung jawab bersama, untuk recover together, recover stronger,
pulih bersama dengan lebih kuat pascapandemi Covid-19 yang melanda dunia. Menlu Retno Marsudi juga terus membangun konsultasi
presidensi G20 kepada negara-negara anggota di Eropa, terutama mengenai
tanggapan dan posisi mereka terhadap situasi di Ukraina. April lalu, Menlu
mengunjungi empat negara, yaitu Inggris, Perancis, Belanda, dan Turki. Menlu juga mengadakan pertemuan bilateral dengan
Menlu Kanada Mélanie Joly, April lalu. Kepada Menlu Mélanie Joly, Menlu Retno
menyatakan, masyarakat dunia saat ini tengah menunggu hasil nyata dari
kinerja G20. Indonesia juga melakukan komunikasi langsung kepada Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), berbagai organisasi internasional, pihak
swasta, hingga filantropi. Apa yang dilakukan Presiden Jokowi di AS dan di
Jerman, hadir pada KTT G7, lalu ke Ukraina dan Rusia, adalah langkah
diplomasi yang oleh Joseph S Nye Jr (2008) disebut sebagai pendekatan soft
power. Pendekatan soft power lebih berkarakter
inspirasional, yaitu kekuatan menarik orang lain dengan kekuatan kecerdasan
emosional, seperti membangun hubungan atau ikatan yang erat melalui karisma,
komunikasi yang persuasif, daya tarik ideologi visioner, serta pengaruh
budaya, sehingga membuat orang lain terpengaruh. Hal itu bisa dilihat dari keakraban Presiden Jokowi
dengan Presiden Biden, PM Kanada Justin Trudeau, PM Inggris Boris Johnson, PM
India Narendra Modi, Presiden Perancis Emmanuel Macron, Kanselir Jerman Olaf
Scholz, dan para pemimpin negara lain yang hadir di KTT G7. Pendekatan soft power berbeda dengan pendekatan hard
power. Pada prinsipnya pendekatan hard power memiliki karakter yang
transaksional dan perpaduan antara kemampuan organisatoris (manajemen
kekuatan dan informasi) serta Machiavelis (kemampuan untuk mengancam serta
membangun koalisi kemenangan). Kata Amitav Acharya (Indonesia Matters: Asia’s
Emerging Democratic Power, 2014), di antara calon negara-negara kuat baru
(emerging power), Indonesia paling lemah dalam hal militer dan ekonomi. Namun, Indonesia justru paling dipercaya oleh
komunitas internasional untuk diajak bekerja sama. Indonesia tidak memiliki
kekuatan ekonomi dan militer sebesar China, tetapi tetap menjadi rujukan
penting negara-negara lain karena memiliki soft power bernama demokrasi. FMM di Bali Buah dari segala upaya dan usaha itu kini terlihat.
Semua menteri luar negeri negara anggota G20 hadir pada G20 Foreign
Ministers’ Meeting/FMM (Pertemuan Menteri Luar Negeri G20) yang dilaksanakan
di Nusa Dua, Badung, Bali, 7-8 Juli lalu. Yang tidak hadir secara fisik hanyalah Menlu Ukraina
Dmytro Kuleba karena alasan kesehatan dan situasi di dalam negeri Ukraina
yang belum memungkinkan ditinggal. Demikian juga Menlu Suriname karena ada
urusan di dalam negeri. Anggota-anggota G20 terdiri atas 19 negara dan satu
kawasan, yaitu Argentina, Australia, Brasil, Kanada, China, Perancis, Jerman,
India, Indonesia, Italia, Jepang, Korea Selatan, Meksiko, Rusia, Arab Saudi,
Afrika Selatan, Turki, Inggris, Amerika Serikat, dan Uni Eropa. Sebagai tuan rumah FMM tahun ini, Indonesia
mengundang 10 negara di luar G20, yakni Ukraina, Spanyol, Belanda, Singapura,
Kamboja, Senegal, Suriname, Fiji, Rwanda, dan Uni Emirat Arab. Untuk pertama kalinya, G20 dapat mendudukkan para
menlu G20, in person, dalam satu ruangan tanpa insiden. Di ruangan itu ada
Menlu AS Antony Blinken dan Menlu Rusia Sergei Lavrov, misalnya, yang
sekarang sedang ”bermusuhan” dalam kasus Ukraina. Ada juga Menlu Inggris
Elizabeth Truss yang negaranya sangat vokal menentang Rusia dan menyerukan
sanksi ekonomi. Bukan keputusan yang mudah, para menlu hadir in
person dalam situasi sekarang ini. Hal itu terutama berkait dengan sikap,
posisi negara mereka terhadap perang Ukraina. Negara-negara Barat sangat jelas mendukung Ukraina.
Ini berarti berhadapan dengan Rusia. Sementara ada yang katakanlah ”berada di
sisi” Rusia (meski tidak terang-terangan), seperti China dan India, atas
dasar kepentingan nasional mereka. Namun, kunjungan Presiden Jokowi ke Ukraina dan
Rusia dengan membawa misi perdamaian (setelah menghadiri KTT G7) telah pula
meyakinkan negara-negara anggota G20 bahwa Indonesia yang sekarang memegang
presidensi sungguh-sungguh mengupayakan perdamaian lewat berbagai forum,
termasuk KTT G20. Dengan menemui para pemimpin negara dan para menlu
(meski sudah ada undangan resmi) untuk meyakinkan betapa pentingnya KTT G20
untuk pemulihan ekonomi dan perdamaian dunia, mereka merasa tidak hanya
dihormati, tetapi juga dibutuhkan. Indonesia selalu berusaha membuat semua negara
merasa nyaman untuk berpartisipasi dalam pertemuan apa pun, dengan begitu
mereka bisa mendiskusikan berbagai isu yang menjadi perhatian bersama. Ada
dua isu utama yang dibahas dalam pertemuan itu, yaitu penguatan
multilateralisme serta ketahanan pangan dan energi. Inilah salah satu bukti kepemimpinan (leadership)
Indonesia di panggung internasional yang pantas dan layak diapresiasi. Tidak
mudah meyakinkan para pemimpin negara untuk menugaskan para menlunya untuk
hadir in person. Namun, itu terjadi karena diplomasi cerdas Indonesia. Kita berharap, semoga hal yang sama juga akan
terjadi pada puncak KTT G20, 15-16 November mendatang, di Bali. ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/19/diplomasi-jokowi-dan-g20 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar