Catatan Pinggir
Si Gila Don Quixote
dari Miguel de Cervantes Goenawan Mohamad : Sastrawan, Pendiri Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 16
Juli
2022
DI sana-sini, dunia perlu
orang majenun. Atau penyair. Atau kedua-duanya. "Kenapa kalian, para
penyair, begitu terpesona kepada orang gila?" "Kami punya banyak
kesamaan." Dialog ini, dalam film Man
from La Mancha, berlangsung dalam sebuah penjara bawah tanah di Spanyol abad
ke-17. Si penyair yang menjawab pertanyaan itu adalah Miguel de Cervantes.
Dalam catatan sejarah dialah penulis El ingenioso hidalgo don Quijote de la
Mancha yang lebih dikenal sebagai Don Quixote: dua jilid panjang yang
berkisah tentang seorang majenun. Dalam film ini, diproduksi di tahun 1972,
kisah itu diadaptasi dengan pendekatan yang ingin berbicara untuk zaman
kita—zaman yang tak mau menerima kegilaan. Adapun bagian pertama
novel ini terbit di tahun 1605 di Madrid. Ia sebuah satire: Don Quixote
tampil sebagai tokoh yang ditertawakan. Tapi berangsur-angsur dalam Cervantes
terasa tumbuh rasa sayang kepada si majenun ciptaannya. Jika dibaca dengan
jilid keduanya yang terbit di tahun 1615, ada yang sayu dalam kegilaan itu:
Alonso Quijana, seorang tua yang terlalu banyak membaca buku tentang ksatria,
tiba-tiba meninggalkan rumahnya, berkeliling naik kuda dan menganggap dirinya
seorang cabalerro. Seakan-akan Spanyol masih di zaman dongeng lama ketika
para ksatria bertempur untuk hal-hal yang luhur. Alonso Quijana menyebut diri
"Don Quixote de la Mancha". Film Man from La Mancha
merupakan adaptasi musikal atas kisah yang sudah beredar 300 tahun itu. Saya
tak pernah menyukai musikal, tapi karya sutradara Arthur Hiller dengan
skenario Dale Wasserman ini bagi saya sebuah perkecualian yang tak
terlupakan. Terutama karena Peter O'Toole bermain dengan cemerlang sebagai
Cervantes dan sekaligus Don Quixote—dan terutama karena mise-en-scène yang
bisa menggabungkan teater gaya Brecht dengan layar putih á la Hollywood. Syahdan, adegan dimulai
dengan Miguel de Cervantes, penyair, pemungut pajak, dan prajurit, yang
ditangkap bersama bujangnya yang setia. Jawatan Inkuisisi, lembaga Gereja
Katolik Spanyol yang dengan tangan besi menjaga keutuhan umat dan iman,
menjebloskan mereka ke dalam kurungan di bawah tanah. Tak ayal, dalam
calabozo yang seram itu mereka dikerubuti para tahanan lain: semua milik yang
mereka bawa harus diserahkan. Cervantes mencoba
mempertahankan satu naskah dan satu peti yang dibawanya. Ia siap membela diri
di depan mahkamah kurungan itu. Ia minta diizinkan menyajikan satu lakon. Pemimpin para tahanan itu
setuju. Dengan cepat, sang penyair membuka petinya. Ia kenakan kostum dan
tatarias, dan muncul sebagai Alonso Quijana, pak tua yang terkena delusi
berat dan membayangkan diri sebagai Don Quixote. Ruang sempit yang pengap
itu jadi pentas. Ksatria imajiner itu, dengan diiringi pelayannya, kini
disebut Sancho Panza, naik kuda imajiner. Pada detik-detik berikutnya, kamera
memindahkan adegan itu ke alam luas: kedua orang itu tampak menempuh plateau
sunyi La Mancha. Don Quixote tegak di atas pelana di punggung Rocinante. Perjalanan mereka tentu
saja tak sepanjang yang dikisahkan novel. Teks Wasserman (penulis lakon yang
juga membuat adaptasi karya Brecht, Die Dreigroschenoper) hanya menampilkan
beberapa bab yang penting dari narasi Cervantes. Yang paling penting:
pertemuan Don Quixote dengan pelacur Aldonza, di sebuah losmen. Kita ingat
sang majenun membayangkan losmen buruk itu sebuah kastil dan si pelacur
sebagai Dulcenia—seorang putri bangsawan kepada siapa ia akan mempersembahkan
hidup dan cintanya. Di sini kisah Don Quixote
berhenti sebagai cemooh. Ia jadi sebuah alegori. Kita menyaksikan wajah
kegilaan yang luhur dan sosok bloon yang baik hati. Dalam kemajenunannya,
orang dari La Mancha itu ingin menyelamatkan dunia dari putus asa dan
sinisme. “I hope to add some measure of grace to the world,” katanya agak malu-malu,
sambil memandang Aldonza dengan lembut, mesra, tapi dengan sinar mata seorang
gila. Aldonza (diperankan Sophia
Loren) tak mengerti semua itu. Ia selama itu jadi obyek nafsu lelaki. Ia
merasa nista dan tak pernah punya keyakinan bahwa berkah serta kelembutan
bisa tumbuh dari hidup. “Dunia adalah seonggok tahi sapi,” katanya ketus dan
pahit, “dan kita belatung yang merayap di atasnya.” Don Quixote dengan halus
membantah. “Dalam hati, tuan putri tahu bahwa tak begitu sebenarnya.” Aldonza meludah. Baginya,
Don Quixote manusia sia-sia yang akan dihajar nasib. Tapi laki-laki tua yang
kurus dan linglung itu menjawab: “Akan kalah atau menangkah hamba, itu tak
penting.” Apa yang penting? Yang
penting adalah perjuangan itu sendiri, bukan hasilnya: perjuangan untuk
membubuhkan yang mulia di dunia yang bobrok. Itu berharga. Sebab bagi seorang
ksatria, itu sebuah privilese. To dream the impossible
dream, To fight the unbeatable
foe, To bear with unbearable
sorrow To run where the brave
dare not go To right the unrightable
wrong Dengan itu, berbeda dari
novel Cervantes, Man from La Mancha menampilkan Don Quixote sebagai seorang
yang tulus dan militan—yang tergetar oleh sesuatu yang tak terhingga, tampak
sebagai seorang majenun yang tak punya kalkulasi praktis, seperti halnya
seorang penyair yang masuk menemui malam entah untuk apa. Gila, tentu. Tapi seperti
diucapkan tokoh Cervantes dalam film ini, justru “yang terlalu praktis,
itulah kegilaan”. Barangkali justru terlalu kuatnya akal sehat—yang melepaskan
mimpi—itulah kegilaan. Sebaliknya berjuang dengan
setia dalam mimpi—dengan niat memberikan yang baik bagi dunia, meskipun
mustahil—bisa memberi harga kepada manusia. Bahkan seorang Aldonza akan bisa
melihat, ada yang luhur dalam hidup. Ia akan bisa terbebas dari jepitan akal
praktis dari zaman yang hanya mau menghitung laba-rugi. Dan ia akan bisa
tahu, ia bukan belatung di atas onggokan tahi. ● Sumber :
https://majalah.tempo.co/read/catatan-pinggir/166442/si-gila-don-quixote-dari-miguel-de-cervantes *)
Catatan Pinggir ini telah terbit pada edisi 23 Agustus 2010 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar