Rabu, 13 Juli 2022

 

Bagaimana Petinggi ACT Mengutak-atik Laporan Keuangan

Raymundus Rikang :  Jurnalis Majalah Tempo

MAJALAH TEMPO, 9 Juli 2022

 

 

                                                           

SURAT Kementerian Sosial bertarikh 5 Juli 2022 mengagetkan Presiden Aksi Cepat Tanggap (ACT) Ibnu Khajar. Ia tak menyangka Kementerian Sosial melalui surat bernomor 133/HUK/2022 akan mencabut izin pengumpulan uang dan barang lembaganya. “Kami membayangkan keputusan itu menunggu data yang dikirim tim pengawas dari Kementerian Sosial,” kata Ibnu di Menara 165, markas pusat ACT di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Rabu, 6 Juli lalu.

 

Pada hari yang sama dengan keluarnya pencabutan izin, Kementerian Sosial mengundang Ibnu dan pengurus ACT untuk mengklarifikasi dugaan penyelewengan sumbangan kemanusiaan. Undangan itu menyusul laporan investigasi majalah Tempo berjudul “Kantong Bocor Dana Umat”. Liputan itu mengungkap dugaan penyelewengan donasi untuk kepentingan petinggi ACT dan keluarganya.

 

Ibnu Khajar mengklaim salah satu keputusan rapat yang dicatat dalam notula forum klarifikasi adalah kunjungan lapangan petugas Kementerian ke kantor ACT. Kegiatan itu rencananya digelar untuk mengklarifikasi sejumlah penyimpangan donasi dan memeriksa dokumen perusahaan. Menurut Ibnu, kunjungan itu tak pernah terlaksana. “Itu tercantum dalam minutes of meeting dengan Kementerian Sosial,” ujarnya.

 

Seorang pejabat ACT menjelaskan, Kementerian Sosial sebenarnya sempat mengirim petugas ke kantor ACT. Tapi mereka berkunjung pada Senin, 4 Juli lalu, sehari sebelum pertemuan di Kementerian. Narasumber itu mengungkapkan perwakilan Kementerian Sosial akhirnya pulang lantaran tak memperoleh informasi yang memuaskan dari pegawai ACT yang ditemuinya.

 

Pencabutan izin ACT terjadi saat Menteri Sosial Tri Rismaharini sedang naik haji. Adalah Menteri Sosial ad interim, Muhadjir Effendy, yang membatalkan izin pengumpulan donasi ACT karena menemukan indikasi pelanggaran regulasi. Ia merujuk Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan yang membatasi pembiayaan usaha dari pengumpulan donasi maksimal sebesar 10 persen.

 

Muhadjir menyatakan Ibnu Khajar mengaku memakai rata-rata 13,7 persen dari dana sumbangan untuk mengongkosi operasional yayasan, tatkala hadir di forum klarifikasi di hadapan pejabat Kementerian. “Kami mencabut izin karena ada indikasi pelanggaran, sampai menunggu hasil pemeriksaan oleh Inspektorat Jenderal,” kata mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu.

 

Muhadjir adalah kader Muhammadiyah—lembaga yang juga memiliki lembaga kemanusiaan Lazismu. Ia mengklaim pencabutan izin tersebut bukti pemerintah responsif terhadap keresahan masyarakat. Ia pun berjanji bakal menyisir izin-izin lembaga pengumupul donasi publik lain yang sejenis dengan ACT.

 

Adapun Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana mengatakan pejabat Kementerian Sosial sempat berkoordinasi dengannya sebelum mencabut izin ACT. Hasil penelusuran PPATK menyebutkan adanya aliran duit donasi ke petinggi Yayasan ACT. “Pejabat Kementerian Sosial menanyakan soal hasil pelacakan PPATK,” ujar Ivan.

 

Dua mantan petinggi ACT yang mengetahui penyusunan laporan keuangan Aksi Cepat Tanggap mengkonfirmasi bahwa potongan donasi di lembaga itu jauh lebih tinggi dibanding ketentuan 10 persen. Potongan tinggi itu telah “dihalalkan” dengan adanya fatwa tertulis Dewan Pengawas ACT, yaitu potongan donasi diperbolehkan hingga 30 persen. Namun penerbitan fatwa tersebut hanya diketahui oleh kalangan terbatas di ACT.

 

Tempo menelusuri sejumlah laporan keuangan ACT. Pada 2019, ACT mencatat sumbangan kemanusiaan ke rekening yayasan mencapai Rp 396,8 miliar. ACT mendapat Rp 105,7 miliar atau setara dengan 21 persen dari total donasi kemanusiaan yang masuk untuk membiayai yayasan yang diperkirakan sebesar Rp 502,5 miliar. Sedangkan pada 2020, dari sekitar Rp 373,7 miliar sumbangan yang masuk, sebesar 18,5 persen digunakan untuk menjalankan roda yayasan.

 

Presiden ACT Ibnu Khajar membenarkan adanya izin dari Dewan Pengawas ACT memotong sumbangan 30 persen, di luar zakat, untuk biaya operasional yayasan. Namun ia mengklaim kesempatan itu tidak pernah digunakan. “Ditoleransi jika ada hal luar biasa seperti untuk masuk ke wilayah Papua,” ujar Ibnu pada Senin, 4 Juli lalu. Ibnu mengklaim laporan keuangan ACT telah diaudit dan mendapat opini tertinggi, yaitu wajar tanpa pengecualian.

 

Padri Achyarsyah, auditor laporan keuangan ACT tahun 2020 pada firma Heliantono & Rekan, membantah ada pesanan predikat wajar tanpa pengecualian. “Itu obyektif berdasarkan hasil asesmen kami,” tutur doktor akuntansi dari Universitas Padjadjaran, Bandung, ini.

 

Ekonom Yanuar Rizky membenarkan analisis yang dilakukan oleh Tempo terhadap laporan keuangan ACT. Ia menyatakan jurnal finansial yang mendapat peringkat wajar tanpa pengecualian hanya menunjukkan lembaga itu telah membuat laporan keuangan yang sesuai dengan standar akuntasi. “Namun belum tentu laporan itu sesuai dengan kondisi sebenarnya,” kata Yanuar.

 

Dua mantan petinggi ACT mengatakan laporan finansial yang diserahkan ke kantor akuntan publik tak pernah menunjukkan kondisi riil di lembaga itu. Menurut keduanya, laporan keuangan selalu diutak-atik agar bisa mendapatkan predikat “wajar tanpa pengecualian”. Mereka menyatakan petinggi ACT khawatir penurunan status akan menurunkan jumlah donasi.

 

Informasi tersebut tercatat dalam dua notula berkategori rahasia yang didapat Tempo. Notula itu merekam rapat antara petinggi ACT dan PT Hydro Perdana Retailindo, perusahaan yang pernah dimiliki Aksi Cepat Tanggap, pada triwulan pertama 2020. Kala itu Hydro berstatus kritis karena dililit utang besar. Sebagian utang itu muncul lantaran perusahaan yang mengelola jaringan minimarket Sodaqo Mart tersebut menyalurkan miliaran rupiah ke para petinggi ACT.

 

Dalam notula disebutkan bahwa diperlukan berbagai langkah darurat yang tidak boleh diketahui publik agar laporan keuangan ACT tahun 2019 bisa mendapat predikat wajar tanpa pengecualian. Dua peserta rapat membenarkan isi dokumen tersebut. Direktur Legal ACT, Decyantini Lompatan, yang hadir dalam pertemuan itu, enggan menanggapi pertanyaan Tempo. “Saya sudah tidak bekerja di ACT sejak awal 2020,” ucapnya.

 

Sejumlah narasumber yang ditemui Tempo sejak Januari hingga awal Juli lalu mengatakan bahwa akrobat pencatatan akuntasi diperlukan untuk menutupi aliran duit ke pimpinan ACT. Dua di antaranya menyatakan pengeluaran operasional untuk Presiden ACT bisa mencapai Rp 700 juta sebulan. Jumlah itu di luar gaji sekitar Rp 250 juta.

 

Presiden ACT Ibnu Khajar dan mantan Presiden ACT, Ahyudin, tak menanggapi permintaan wawancara Tempo. Namun, saat bertandang ke kantor Tempo pada 1 Juli 2022, Ahyudin membenarkan segala kebutuhannya ditanggung oleh ACT. Ia juga mengklaim berhak mendapat berbagai fasilitas untuk menunjang kinerjanya. “Itu saya terima dari sumber yang legal karena hak saya sebagai pemimpin organisasi,” ujarnya.

 

•••

 

PENCABUTAN izin Aksi Cepat Tanggap juga terkait dengan dugaan aliran dana yayasan ke organisasi teroris. Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Ivan Yustiavandana mengatakan lembaganya sudah melacak transaksi mencurigakan dari yayasan dan perusahaan yang terafiliasi dengan ACT sejak 2014. Ivan mengaku sudah memberikan data awal kepada aparat penegak hukum pada 2020.

 

Menurut Ivan, bank kemudian berbondong-bondong memasok data transaksi terkait dengan ACT setelah dugaan penyelewengan dana kemanusiaan terbongkar pada awal Juli lalu. “Itu sifatnya informasi awal. Polisi dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme tentu membutuhkan waktu untuk menyelidikinya hingga tuntas,” kata Ivan kepada Tempo di kantornya, Jumat, 8 Juli lalu.

 

Hingga Kamis, 7 Juli lalu, PPATK telah membekukan 300 rekening milik ACT yang tersebar di 41 penyedia jasa keuangan. Lembaga intelijen keuangan itu juga menemukan transfer dari luar negeri ke akun ACT sepanjang 2014-2022 yang totalnya mencapai Rp 65 miliar. Adapun aliran dana ke luar negeri mencapai Rp 52 miliar. “Kemungkinan besar akan terus bertambah,” tutur Ivan. Dua mantan petinggi ACT mengatakan Aksi Cepat Tanggap memiliki 500-600 rekening.

 

PPATK juga menemukan 17 kali transfer dari rekening pengurus ACT ke negara-negara yang berisiko tinggi, seperti Turki, Bosnia, Suriah, dan India, dengan total Rp 1,7 miliar. Menurut Ivan, transaksi itu dilakukan oleh individu ataupun yayasan. Salah satu transfer ditujukan kepada seseorang yang diduga terafiliasi dengan jaringan teroris Al-Qaidah. Menurut Ivan, sosok ini pernah ditangkap oleh otoritas Turki bersama 19 orang lain.

 

PPATK telah memetakan pola aliran dana ACT. Yayasan ACT, misalnya, pernah menggunakan model transfer langsung ke pihak penerima ataupun memakai entitas perantara sebelum mengirim ke kelompok target. Ada juga duit sumbangan yang diputar dulu ke anak perusahaan sebelum disalurkan ke pihak penerima.

 

Seorang penegak hukum yang mengetahui penyelidikan dana ACT ke kelompok teror mengatakan ada sejumlah entitas yang terafiliasi dengan pengurus dan pendiri ACT yang ditengarai kerap mengirim duit ke negara berisiko tinggi. Antara lain, PT Agro Wakaf Corpora, Yayasan Global Zakat, dan Yayasan Global Wakaf.

 

Dalam akta Global Zakat dan Global Wakaf, Presiden ACT Ibnu Khajar berstatus sebagai pembina. Adapun bekas Presiden ACT Ahyudin tertera sebagai pendiri yayasan. Ibnu dan Ahyudin tercatat sebagai pemilik saham mayoritas PT Agro Wakaf melalui PT Insan Madani Investama. Di akta PT Insan, Ibnu menjabat direktur utama dan memiliki 150 lembar saham senilai Rp 150 juta. Adapun Ahyudin menjadi komisaris utama yang menguasai 475 lembar saham, ekuivalen dengan Rp 475 juta.

 

PPATK pun menemukan lalu lintas pendanaan antarlembaga amal di Indonesia. Transaksi ini melibatkan ACT dan sejumlah organisasi filantropi lain. “Mereka berputar-putar saja di situ,” kata Ivan.

 

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dan Detasemen Khusus 88 Antiteror mengaku telah menerima data transaksi mencurigakan yang dibuat PPATK. Kepala Bagian Bantuan Operasi Densus 88 Komisaris Besar Aswin Siregar mengungkapkan timnya sedang mendalami transfer yayasan ke negara rawan aksi teror.

 

Direktur Pencegahan BNPT Brigadir Jenderal Ahmad Nurwakhid mengatakan akan bekerja sama dengan lembaga di luar negeri untuk menelusuri data transaksi yang dipasok PPATK. Ia mendesak pemerintah merevisi aturan mengenai pengumpulan sumbangan agar ada sanksi yang lebih berat bagi lembaga yang menyelewengkan dana. “Celah ini dipakai kelompok teror untuk menggalang dana dari organisasi amal,” ujarnya.

 

Presiden ACT Ibnu Khajar membantah jika lembaganya mendanai kegiatan terorisme. Ia heran ACT dikaitkan dengan aktivitas teror kendati sering mengundang sejumlah pejabat pemerintah dan melibatkan aparat saat menyalurkan bantuan kemanusiaan. “Dana untuk kelompok teroris itu dana yang mana?” katanya.

 

Pada Jumat, 8 Juli lalu, Ibnu Khajar dan Ahyudin diperiksa penyidik Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI. Ahyudin mengatakan polisi baru mendalami materi tentang aspek legal dan tugas pimpinan Yayasan ACT. Menurut dia, penyidik belum masuk ke perkara dugaan transfer ke organisasi teroris. “Belum sampai ke sana,” tuturnya. ●

 

Sumber :   https://majalah.tempo.co/read/laporan-utama/166390/bagaimana-petinggi-act-mengutak-atik-laporan-keuangan

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar