Bagaimana ACT
Memotong Donasi untuk Operasional Agung Sedayu : Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 2
Juli
2022
BEBERAPA hari setelah
kecelakaan menimpa Suharno, istri, dan anaknya, pengurus Aksi Cepat Tanggap
(ACT) Cabang Bantul mendatangi rumah keluarga itu di Dusun Sanggrahan,
Kecamatan Dlingo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Kepada Suharno, pengurus ACT
menyodorkan berkas penggalangan donasi untuk dia dan keluarganya. “Tim ACT
bilang ini untuk masa depan keluarga saya,” kata laki-laki 42 tahun itu
kepada Tempo, Senin, 27 Juni lalu. Kaki Suharno dan anaknya,
Rizal, 5 tahun, patah setelah truk yang tak kuat menanjak di Kecamatan
Rongkop, Kabupaten Gunungkidul, mundur dan melindas sepeda motornya pada 25
Oktober 2021. Namun kaki kanan istrinya, Isti Utami, harus diamputasi. Saat
Tempo berkunjung ke rumah keluarga itu, Suharno masih menahan sakit ketika
tertatih-tatih berjalan. Sedangkan Rizal mengalami gangguan bicara. Menurut Suharno, pengurus
ACT Bantul mengatakan dana yang terhimpun bisa digunakan untuk berobat.
Mereka pun berjanji mendampingi keluarganya hingga sembuh. Membutuhkan biaya
untuk berobat dan bertahan hidup, tukang kayu itu pun menandatangani berkas
penggalangan donasi. Pada 9 November 2021, tim
ACT mengumumkan pengumpulan donasi untuk keluarga Suharno di laman Indonesia
Dermawan, situs milik Aksi Cepat Tanggap. Foto Rizal yang sedang menangis
beserta foto roentgen kakinya yang patah terpajang. Tertulis di situs itu:
“Satu Keluarga Terlindas Truk, Bantu Adik Rizal dan Orang Tuanya Sembuh”. Sebulan berselang, tim ACT
Bantul kembali menyambangi rumah Suharno. Mereka membawa uang tunai Rp 3
juta, bahan kebutuhan pokok, satu kruk kaki, dan kasur senilai sekitar Rp 3 juta.
“Saya tidak tahu berapa donasi yang terkumpul saat itu,” ujar Suharno. Untuk
pengobatan di rumah sakit, Suharno menggunakan Kartu Indonesia Sehat. Tim ACT kembali datang
beberapa bulan kemudian untuk mengadakan pendampingan psikologi terhadap
Rizal dan orang tuanya. Suharno sempat menanyakan jumlah dana yang terkumpul,
tapi petugas ACT tak memberi tahu nilainya. Mereka hanya berjanji membangun
bengkel kayu dan peralatan tukang untuk Suharno, membelikan kaki palsu untuk
istrinya, serta merenovasi rumah. Pertengahan Juni lalu,
Suharno bertanya kepada tim ACT Bantul soal janji yang belum terwujud.
Sebelumnya, ia mendapat informasi bahwa donasi yang terkumpul mencapai Rp
412,207 juta dari target Rp 520 juta. Bertanya kapan duit yang disumbang
lebih dari 6.000 donatur itu akan disalurkan, Suharno tak mendapat jawaban
pasti. “Katanya masih diproses,” ucap Suharno. Tempo mendatangi kantor
Aksi Cepat Tanggap Daerah Istimewa Yogyakarta yang membawahkan wilayah
Bantul. Kepala ACT Yogyakarta Ony Leo mengatakan kantor perwakilan ACT itu
tak berwenang menentukan pencairan donasi. “ACT pusat yang menentukan,”
ujarnya. Ketua Yayasan Aksi Cepat
Tanggap yang juga Presiden ACT, Ibnu Khajar, mengaku belum mengetahui kasus
donasi keluarga Rizal. “Akan kami cek satu-satu supaya bisa segera
ditangani,” tutur Ibnu saat berkunjung ke kantor Tempo, Selasa, 28 Juni lalu. Sehari setelah kunjungan
petinggi Aksi Cepat Tanggap itu, tim ACT Yogyakarta datang ke rumah Suharno.
Mereka membawa uang tunai dan bahan pokok. Tim ACT juga berjanji segera
membangun bengkel kayu untuk Suharno. ••• PERSOALAN penyaluran dana
donasi oleh Aksi Cepat Tanggap juga terjadi di daerah lain. Di Dusun Tapan,
Desa Kepuhrejo, Kecamatan Takeran, Kabupaten Magetan, Jawa Timur, donasi
pembangunan musala Al-Ikhlas terpotong hampir separuh. “Sebelumnya kami tidak
tahu berapa jumlah donasi yang digalang oleh ACT,” kata Suradi, ketua
pembangunan musala Al-Ikhlas. Menurut Suradi, 55 tahun,
warga Dusun Tapan bercita-cita mendirikan musala sejak 2021. Mereka pelan-pelan
bergotong-royong mewujudkan mimpi tersebut. Pada saat yang sama, Gilang
Yusron Ramadhani, putra Sutomo, salah satu pemberi tanah wakaf untuk
pembangunan musala, mengajukan permintaan pengumpulan donasi ke ACT Cabang
Madiun. Tim ACT lantas membuat
kampanye penggalangan donasi. Mereka membuat poster berisi seruan donasi pada
awal Maret tahun lalu yang dipasang di situs Kitabisa. Awalnya tertulis di
situ dana yang terkumpul akan digunakan untuk membangun masjid pertama di
Kepuhrejo. Poster itu pun disebarkan melalui sejumlah media sosial. Beberapa hari kemudian,
Gilang terkejut karena banyak orang yang menghubungi dia dan mempertanyakan
isi kampanye donasi tersebut. Sebabnya, saat itu sudah ada tiga masjid di
Kepuhrejo. Akun media sosial milik Gilang juga banjir hujatan. “Saya masih
syok hingga sekarang,” ujarnya. Dari target donasi Rp 100
juta, dana yang terkumpul hanya Rp 17,702 juta. Suradi mengatakan ACT hanya
menyalurkan duit Rp 9 juta. “Diberikan dua kali. Pertama Rp 6 juta,
selanjutnya Rp 3 juta,” kata Suradi. Marketing Communication
ACT Madiun Celiana Dian berkilah ada kesalahan pengetikan konten kampanye.
“Seharusnya masjid pertama di RT 6, Dusun Tapan, Desa Kepuhrejo,” ucapnya.
Kini konten itu telah diubah. Mengenai donasi yang dipotong hampir separuh,
Celiana berdalih itu untuk biaya operasional ACT. “Juga untuk biaya iklan
oleh Kitabisa.” Kejadian serupa berulang
di Sydney, Australia. Sejumlah pendiri komunitas Surau Sydney Australia
mempersoalkan pemotongan donasi pembangunan oleh Aksi Cepat Tanggap. Dari
dana Rp 3,018 miliar yang terkumpul, ACT memberikan Rp 2,311 miliar. Artinya,
ada potongan sekitar 23 persen dari total donasi. “Pemotongan donasi ini
terlalu besar,” ujar Meilanie Buitenzorgy, pekan lalu. Meilanie adalah warga
Indonesia yang tinggal di Sydney. Keluarga Meilanie salah satu pendiri Surau
Sydney Australia. Kasus itu bermula pada
April 2020 ketika pengurus Surau Sydney Australia mengajukan permohonan
penggalangan donasi kepada Aksi Cepat Tanggap. Rencananya surau akan didirikan
di kawasan Bankstown, pinggiran barat daya Sydney, di Negara Bagian New South
Wales. Pihak ACT lantas bekerja sama dengan pengelola platform Kitabisa.com
untuk mengkampanyekan donasi tersebut. ACT membuat poster iklan
donasi berisi foto sejumlah orang yang menunaikan salat di lapangan terbuka.
Tertulis di poster yang disertai penggalan hadis itu: “Sedekah Jariyah:
Dirikan Surau Pertama di Sydney”. Selain dipajang di situs Kitabisa, ajakan
donasi itu diiklankan di Facebook. Dalam waktu delapan bulan, hampir 39 ribu
donasi yang terkumpul mencapai Rp 3 miliar. Persoalan timbul karena
iklan di Facebook tidak gratis. Biaya iklan itu mencapai Rp 507,723 juta. ACT
juga mengambil Rp 168,980 juta. Selain itu, ada potongan biaya administrasi
bank penyedia metode pembayaran donasi, seperti virtual account bank,
E-wallet, dan kartu kredit, sebesar Rp 29,472 juta. Seluruh biaya tersebut
diambil dari duit donasi. “Ini sudah seperti
tengkulak. Semestinya, jika mengacu pada aturan syariat Islam, pemotongan
donasi keagamaan tidak boleh lebih dari 12,5 persen,” kata Ikhsan Zakir, 60
tahun, pendiri Surau Sydney Australia, saat dihubungi Tempo, Kamis, 30 Juni
lalu. Ikhsan juga mempersoalkan
isi kampanye yang ia nilai berlebihan dan tidak sesuai dengan fakta. “Bohong
jika dikatakan ini adalah pembangunan surau pertama di Sydney. Saat ini ada
lebih dari 160 tempat ibadah Islam di Sydney,” ucapnya. Jumlah itu tak
termasuk yang belum mendapat izin dari pemerintah setempat. Presiden Direktur Kitabisa
Alfatih Timur mengatakan biasanya lembaga itu tak beriklan di media sosial
ketika menggelar kampanye pengumpulan donasi. Menurut Alfatih, Kitabisa
beriklan di Facebook karena ada permintaan ACT. “ACT atas persetujuan
pengurus surau meminta kami beriklan di Facebook supaya bisa menjangkau lebih
banyak donatur,” ujarnya. Sedangkan soal isi
kampanye yang berisi klaim pembangunan surau pertama di Sydney, Kitabisa
tidak ikut membuatnya. Kepala Komunikasi Kitabisa Iqbal Hariadi mengatakan
lembaganya hanya menerima poster jadi dari ACT. Pengurus Surau Sydney
Australia membenarkan pemotongan donasi tersebut atas persetujuan mereka saat
berkomunikasi dengan ACT. “Sejak awal kami sudah setuju itu dipotong,
termasuk untuk iklan ke Facebook. Tidak ada masalah bagi kami,” tutur Ketua
Surau Sydney Australia Novri Latif. Meski sudah ada
kesepakatan antara ACT dan pengurus surau, pendiri Surau Sydney, Ikhsan Zakir
dan Meilanie Buitenzorgy, tetap mempersoalkan besarnya potongan donasi
tersebut. “Ini bukan hanya persoalan antara ACT dan pengurus surau, tapi juga
persoalan para donatur. Donatur tidak tahu bahwa duit yang mereka sumbangkan
akan dipotong sebesar itu,” kata Ikhsan. Terlalu besarnya potongan
donasi itu dibenarkan oleh peneliti filantropi, Hamid Abidin. Ia mengacu pada
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan
Sumbangan yang menyebutkan potongan maksimal untuk donasi sosial hanya 10
persen. Sedangkan zakat, infak, dan sedekah maksimal 12,5 persen. “Potongan untuk biaya
operasional dan lain-lain sudah termasuk di dalamnya,” ujar Hamid. Menurut
dia, lembaga filantropi seharusnya jujur dan menyampaikan sejak awal potongan
donasi yang diterapkan. Dengan begitu, donatur bisa mengetahui dan memilih
kepada siapa donasi disalurkan. Hamid menyatakan banyak
lembaga pengumpul donasi kerap melebih-lebihkan promosinya. Ia menilai
kampanye pembangunan masjid di Sydney dan Magetan termasuk pelanggaran kode
etik karena menggunakan informasi bohong. “Pihak crowdfunding, seperti
Kitabisa, juga tak boleh lepas tanggung jawab. Kalau ada konten yang tidak
benar, jangan dinaikkan,” ucap Hamid. Publikasi program Aksi
Cepat Tanggap yang tidak sesuai dengan fakta juga dipersoalkan oleh Mukhlis,
50 tahun, pengusaha asal Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Pada Agustus
2018, Mukhlis menerima sejumlah petinggi ACT di lokasi peternakannya di
Kecamatan Labangka, Sumbawa. Presiden ACT saat itu, Ahyudin, ikut datang. Kepada Mukhlis, petinggi
ACT memberi tahu soal besarnya manfaat sosial dari wakaf yang dikelola oleh
Global Wakaf Corporation, lembaga yang dimiliki Yayasan ACT. Mukhlis sempat
diajak mengunjungi lumbung ternak wakaf di Blora, Jawa Tengah. Diimingi janji
membuat peternakan sapi modern di lokasi miliknya, Mukhlis setuju mewakafkan
tanahnya. Belakangan, lumbung ternak
wakaf di Blora ditutup. Penelusuran Tempo menunjukkan bahwa jumlah kambing
yang dilaporkan mencapai lebih dari 12 ribu ekor pada akhir 2019 ternyata
jauh dari kenyataan. Dokumen yang didapat Tempo menyebutkan hanya ada 2.200
ekor kambing yang dipelihara. Setelah Mukhlis setuju,
tim Global Wakaf memasang spanduk bertulisan “Lumbung Ternak Wakaf” di
kandang sapi miliknya. Dia juga diminta membuat testimoni mengenai manfaat
berwakaf melalui Global Wakaf Corporation. Video tersebut disebarkan di media
sosial. Global Wakaf juga menyebarkan siaran pers ke sejumlah media lokal. Mukhlis terkaget-kaget
ketika mengetahui isi kampanye besar-besaran itu. “Saya bingung, belum ada
akad wakaf tapi ACT (Global Wakaf Corporation) sudah mengabarkan di media
massa bahwa saya mewakafkan 400 sapi dan tanah 43 hektare,” kata Mukhlis. Ketua Yayasan Aksi Cepat
Tanggap yang juga Presiden ACT, Ibnu Khajar, membenarkan kabar bahwa
lembaganya membuat dan menyebarkan publikasi mengenai wakaf 400 sapi dan 43
hektare lahan milik Mukhlis ke media. “Itu lebih kepada ekspresi kebahagiaan,
bahwa ada orang baik yang hendak berwakaf, supaya menjadi inspirasi bagi
banyak orang,” ujarnya. Ibnu menolak menjelaskan batalnya wakaf tersebut.
“Ada syarat dalam syariat Islam yang belum terpenuhi.” ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/laporan-utama/166331/bagaimana-act-memotong-donasi-untuk-operasional |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar