Badai
Inflasi Abdul
Kohar: Dewan
Redaksi Media Group |
MEDIA NDONESIA 20 Juli 2022
MENYAKSIKAN ribuan warga Amerika Serikat mengantre
untuk mendapatkan jatah makanan nyaris seperti hil yang mustahal (meminjam
istilah Asmuni, pelawak Srimulat). Namun, begitulah kenyataannya. Pemandangan
seperti itu, hari-hari ini amat lazim dijumpai di sejumlah bank pangan di
‘Negeri Paman Sam’. Padahal, fakta seperti itu tidak pernah dijumpai
dalam kurun waktu 40 tahun terakhir. Maklum, AS merupakan negara berskala
ekonomi terbesar di dunia dengan produk domestik bruto lebih dari US$23
triliun (sekitar 23% PDB seluruh dunia). Akan tetapi, lonjakan inflasi di AS memukul
sendi-sendi dan kaki-kaki ekonomi sang raksasa dunia itu. Inflasi menyebabkan
harga gas dan pangan naik drastis. Ribuan keluarga pun berbondong-bondong
mengantre makanan bantuan dari sejumlah organisasi bank makanan yang tersebar
di berbagai penjuru AS. Juru bicara Bank Makanan St Mary, Jerry Brown,
mengatakan lebih dari 900 keluarga berbaris di berbagai cabang organisasi
mereka setiap harinya. Warga rela mengantre panjang demi mendapatkan kotak
bantuan pemerintah yang berisi kacang kaleng, selai kacang, dan nasi. Bank makanan itu sudah memberikan paket makanan
kepada 4.271 keluarga pada pekan ketiga Juni. Angka tersebut meningkat 78%
jika dibandingkan dengan bantuan yang didistribusikan pada pekan di bulan
yang sama tahun lalu. Saat itu, mereka hanya memberikan bantuan kepada 2.396
keluarga. Brown mengatakan banyak dari keluarga yang mengantre
saat ini sebelumnya tidak pernah mencari bantuan pangan. Seperti yang
dikatakan Diane Martinez, warga yang mencari bantuan pangan dari organisasi
lain di Los Angeles. Ia rela berjalan kaki dan mengantre demi mendapatkan
bantuan tersebut. "Harga makanan sangat tinggi dan terus naik setiap
hari," kata dia seperti dikutip dari Associated Press. Begitu pula kisah Tomasina John, warga AS lainnya.
Ia mengatakan keluarganya tidak pernah mengunjungi bank pangan karena dahulu
suaminya, yang merupakan pekerja konstruksi, mudah untuk memenuhi kebutuhan
dia dan empat anaknya. "Namun, sekarang tidak mungkin bisa cukup tanpa
bantuan. Harganya sudah terlalu tinggi," kata John. Angka inflasi di AS tahun ini memang yang tertinggi
dalam 40 tahun terakhir. Bureau of Labor Statistics (BLS) atau Biro Statistik
Tenaga Kerja Amerika Serikat melaporkan indeks harga konsumen (IHK) semua
item konsumsi meningkat 1,3% jika dibandingkan dengan Mei 2022 (month to
month/m-to-m). Artinya, pada Juni 2022, AS mengalami inflasi
bulanan sebesar 1,3% (m-to-m), tertinggi selama semester pertama tahun ini.
Jika dibandingkan dengan posisi Juni 2021, AS mengalami inflasi tahunan 9,1%
(year on year/yoy) pada Juni 2022, tertinggi sejak November 1981. Harga pangan di AS pun naik drastis dan menyebabkan
warga mencari bantuan sana-sini. Banyak bank pangan AS kesulitan memenuhi
permintaan warga, mengingat pemerintah kini memberikan lebih sedikit makanan
untuk didistribusikan. Donasi toko kelontong juga berkurang. Para pemimpin bank pangan mengaku kaget dengan lonjakan
permintaan bantuan pangan di tengah inflasi ini. "Tahun lalu, kami
memprediksi akan ada pengurangan permintaan untuk 2022 karena ekonomi telah
membaik. Isu inflasi ini datang tiba-tiba," kata CEO Bank Pangan Los
Angeles, Michael Flood. Inflasi juga menjadi momok bagi negara Uni Eropa.
Kenaikan harga minyak dan pangan membuat inflasi di Uni Eropa diperkirakan
mencapai 7% tahun ini. Indeks konsumsi pun turun. Dampaknya, proyeksi
pertumbuhan ekonomi pun dipangkas. Bagi Indonesia, kisah murung ekonomi AS akibat
inflasi tersebut tidak bisa dianggap remeh. Rumus ekonomi menegaskan bahwa
guncangan yang terjadi di negara mitra ekonomi utama akan berdampak nyata
bagi Indonesia. Apalagi, kita juga menghadapi ancaman serupa: inflasi tinggi
dan naiknya ongkos energi. Amerika dan sejumlah negara yang menjadi sumbu
ekonomi dunia menghadapi ancaman stagflasi. Kondisi itu muncul bila periode
pertumbuhan yang lemah dibarengi dengan inflasi tinggi. Stagflasi terakhir
kali terlihat pada 1970-an. Tidak banyak ruang gerak tersisa. Meski begitu, bagi
Indonesia, optimisme tetap terjaga. Sejauh ini, cara pemerintah dalam
mengendalikan keadaan dan memitigasi risiko masih bisa diandalkan. Kuncinya
ada trust dan konsistensi. Mari bersama-sama menantang badai inflasi. ● Sumber :
https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/2507-badai-inflasi |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar