Apa Saja Kejanggalan
Kasus Penembakan Brigadir Yosua dan Bagaimana Polri Mengusutnya Rozy
Brilian
: Peneliti Kontras |
KORAN TEMPO, 25 Juli 2022
Sudah sepekan lebih kasus
penembakan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat menjadi sorotan publik.
Peristiwa yang terjadi pada 8 Juli 2022 di kediaman Kepala Divisi Profesi dan
Pengamanan Markas Besar Kepolisian RI, Inspektur Jenderal Ferdy Sambo,
tersebut telah memantik diskusi serius di masyarakat. Sejak awal rilis
disampaikan oleh Mabes Polri, terdapat berbagai kejanggalan yang melecehkan
akal sehat publik. Hal tersebut akhirnya menimbulkan asumsi liar dan dugaan
konspirasi yang tak dapat dicegah. Ragam kejanggalan yang
sulit diterima itu, di antaranya, disparitas waktu yang cukup lama antara
peristiwa dan pengungkapan ke publik, yakni tiga hari. Saat Mabes Polri
merilis kasus tersebut pun, tidak ada satu pun barang bukti yang ditunjukkan.
Langkah ini begitu berbeda dengan pengungkapan kasus penembakan lainnya, yang
biasanya menunjukkan barang bukti seperti pistol dan proyektil. Belum lagi kronologi yang
tidak konsisten, bukti rekaman kamera pengawas (CCTV) dan telepon seluler
Brigadir Yosua yang hilang, serta keterangan ketua rukun tetangga setempat
yang menyatakan tidak mengetahui adanya peristiwa dan proses olah tempat
kejadian perkara (TKP), semakin memperkuat dugaan adanya upaya menyembunyikan
fakta. Keluarga Yosua bahkan sempat dihalang-halangi saat ingin melihat
kondisi jenazah. Dari kondisi mayat Yosua, terungkap bahwa terdapat beberapa
luka sayatan, luka lebam, dan jari putus, yang sangat janggal dan tidak
sesuai dengan kronologi kejadian versi Mabes Polri. Kultur
Buruk Institusi Pola pengusutan kasus yang
cenderung tertutup dan tidak berbasis akuntabilitas sebelumnya pernah
terjadi, misalnya dalam kasus penembakan enam laskar khusus Front Pembela
Islam (FPI). Dalam persidangan terhadap Brigadir Polisi Satu Fikri Ramadhan
dan Inspektur Polisi Dua Mohammad Yusmin Ohorella yang melakukan unlawful
killing, terungkap bahwa beberapa warga sekitar area jalan tol KM 50 diduga
diintimidasi oleh aparat agar tidak merekam peristiwa dan bahkan diminta
menghapus file rekaman penangkapan. Hal ini merupakan bentuk upaya
penghilangan jejak dan mengaburkan kebenaran materiil. Pola-pola tersebut
berulang pada kasus Brigadir Yosua. Kepolisian cenderung resistan dan tak mau
diliput dalam proses pengusutan, khususnya di TKP. Dua wartawan yang berupaya
meliput pun menjadi sasaran intimidasi saat mewawancarai petugas kebersihan.
Petugas yang diduga anggota kepolisian itu memaksa jurnalis untuk memberikan
rekaman dan menghapusnya. Hal tersebut jelas melanggar Undang-Undang Pers
yang melindungi kerja-kerja jurnalistik. Tindakan intimidatif juga
dialami keluarga Brigadir Yosua saat mereka aktif menyuarakan kejanggalan
kematian korban. Arogansi dan kultur kekerasan tampaknya memang masih melekat
erat dalam tubuh institusi Kepolisian. Iklim ketakutan selalu dihadirkan
kepada saksi dan korban, terlebih jika suatu kasus melibatkan anggota
kepolisian sebagai terduga pelaku. Sifat tidak ksatria, yakni enggan
bertanggung jawab di hadapan hukum ketika melakukan kesalahan, ini menjauhkan
polisi dari kredibilitasnya sebagai penegak hukum. Proses hukum pun didesain
agar berujung pada penjatuhan hukuman yang ringan atau sebisa mungkin
membebaskan pelaku. Perlu
Terobosan Sejauh ini, Kepala Polri
Jenderal Listyo Sigit Prabowo memang telah mengambil langkah signifikan,
seperti membentuk tim khusus dan menonaktifkan sejumlah anggota Polri yang
diduga terlibat dalam kasus Brigadir Yosua, seperti Ferdy Sambo, Kepala
Kepolisian Resor Metro Jakarta Selatan Komisaris Besar Budhi Herdi Susianto,
dan Kepala Biro Pengamanan Internal Brigadir Jenderal Hendra Kurniawan. Akan
tetapi, jika dilihat lebih utuh, rangkaian masalah ini muncul karena
mekanisme koreksi dan evaluasi tak pernah benar-benar serius dilakukan.
Berbagai bentuk ketidakprofesionalan polisi minim mendapat ganjaran hukuman
yang memadai sehingga nihil efek jera. Peristiwa penembakan di
rumah Ferdy Sambo dan ketidakprofesionalan pengusutannya merupakan bukti
konkret ada masalah besar di kepolisian. Hal ini mengemuka bahkan hanya
selang beberapa hari setelah pidato Kepala Polri Jenderal Listyo di hadapan
Presiden Joko Widodo. Pada momentum Hari Bhayangkara tersebut, Jenderal
Listyo berjanji untuk memperbaiki dan mengevaluasi institusi kepolisian guna
mewujudkan transformasi Polri yang presisi. Sayangnya, hal tersebut hanya lip
service tanpa diikuti perbaikan nyata. Kasus ini merupakan ujian
serius bagi Korps Bhayangkara untuk membuktikan kepada masyarakat bahwa
mereka dapat membenahi permasalahan dalam institusi mereka. Pengusutan dan
investigasi harus dilakukan secara hati-hati karena kasus penembakan ini
terkesan ditabrakkan dengan dugaan tindak kekerasan seksual yang diduga
dilakukan Brigadir Yosua. Apresiasi akan otomatis didapatkan jika kepolisian
berhasil menyelesaikan kasus ini hingga seluruh kejanggalannya dapat
terjawab. Sebaliknya, kepercayaan masyarakat semakin turun apabila Polri
masih mempertahankan kultur lama, yakni enggan menuntaskan kasus secara
akuntabel dan berkeadilan. Pertaruhan kasus ini tentu
sangat besar dan ongkos yang akan dibayar akan sangat mahal jika Polri gagal.
Untuk itu, terobosan yang berani perlu dilakukan Kepala Polri guna memastikan
pengusutan dilakukan sesuai dengan rel dan terang benderang. Kasus ini hanya
satu dari segudang tantangan Polri untuk menjawab rasa keadilan masyarakat.
Lebih jauh, evaluasi internal secara menyeluruh harus dilakukan untuk
memperbaiki institusi ini hingga ke akar-akarnya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar