Transparansi
Penunjukkan Penjabat Kepala Daerah Opini Tempo : Redaktur Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 11
Juni
2022
PEMERINTAH harus segera
menyusun peraturan teknis penunjukan penjabat kepala daerah yang transparan
dan akuntabel. Setelah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan
Kepala Daerah disahkan, belum ada regulasi ideal yang mengatur kriteria dan
tata cara pemilihan penjabat gubernur, wali kota, dan bupati yang akan
bertugas hingga pemilihan kepala daerah (Pildaka) serentak digelar pada 2024. Tak tanggung-tanggung, ada
271 jabatan yang kosong karena masa tugas kepala daerah berakhir pada 2022
dan 2023. Sesuai dengan undang-undang, kursi-kursi basah itu harus diisi
seorang penjabat yang ditunjuk pemerintah. Untuk menjadi penjabat kepala
daerah, seorang kandidat harus berstatus pejabat tinggi madya atau pratama di
pemerintahan. Akan ada 270 kursi kembali kosong pada awal 2024 karena
ditinggalkan kepala daerah yang terpilih pada 2020. Ada gula, ada semut.
Jabatan strategis ini menjadi rebutan partai politik hingga petinggi negara.
Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan hingga
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian juga disebut ikut cawe-cawe menjagokan
calonnya. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan pun dikabarkan bersitegang
dengan Partai Golkar karena berebut “jatah” di Jawa Tengah. Mereka ingin
menangguk suara pemilih di daerah yang diperebutkan itu. Kontroversi penunjukan
penjabat juga ikut muncul. Pada 12 Mei lalu, Menteri Tito menunjuk Kepala
Badan Intelijen Negara Daerah Sulawesi Tengah Brigadir Jenderal Andi Chandra
As’aduddin sebagai penjabat Bupati Seram Bagian Barat, Maluku. Pemilihan Andi
Chandra jelas melanggar Undang-Undang Aparatur Sipil Negara. Aturan ini
mewajibkan personel aktif Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian RI
mengundurkan diri jika menduduki jabatan sipil. Penunjukan ini juga
menguatkan dugaan ada upaya menghidupkan kembali dwifungsi TNI, yang
seharusnya punah di era Reformasi. Dampak buruk penunjukan
langsung penjabat daerah ini sebenarnya sudah diperkirakan terjadi saat
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tengah dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat.
Kekosongan pejabat definitif selama dua tahun lebih merupakan anomali praktik
berdemokrasi. Tak mengherankan jika ada anggapan undang-undang ini akan
dimanfaatkan untuk menjegal lawan politik. Aroma persekongkolan kian
terasa setelah Mahkamah Konstitusi menolak uji materi Pasal 210 ayat 10 dan
11 Undang-Undang Pilkada pada April lalu. Padahal Pasal 18 ayat 4
Undang-Undang Dasar 1945 mewajibkan gubernur, wali kota, dan bupati dipilih
secara demokratis oleh rakyat. Ini bermakna bahwa kepala daerah bukan anak
buah pemerintah pusat yang bisa disetir semaunya. Meski menolak uji materi
Undang-Undang Pilkada, dalam putusannya Mahkamah Konstitusi mengamanatkan
pemerintah segera menerbitkan peraturan pelaksana penunjukan penjabat kepala
daerah. Pemerintah diharapkan menerapkan prinsip demokrasi dan tetap
mengusung semangat otonomi daerah. Amanah ini tak kunjung dilaksanakan
pemerintah hingga kini. Otonomi daerah merupakan
salah satu buah dari reformasi. Sistem ini diterapkan agar masyarakat bisa
memilih pemimpin sesuai dengan kebutuhan daerah masing-masing. Sementara itu,
di masa Orde Baru, pemimpin daerah ditunjuk sesuai dengan kepentingan
pemimpin pusat. Perlu diingat, terpilihnya Presiden Joko Widodo juga
merupakan hasil dari penerapan otonomi daerah. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/opini/166156/transparansi-penunjukkan-penjabat-kepala-daerah |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar