Bagaimana Menyelesaikan Pelanggaran HAM
Berat Abdul Manan ; Wartawan Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 11
Juni
2022
Ahmad Taufan Damanik
memimpin Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di tengah berbagai
peristiwa penting. Ada demonstrasi pada Mei 2019 yang berujung kerusuhan dan
menyebabkan sembilan orang tewas. Ada pula penembakan terhadap empat anggota
laskar Front Pembela Islam. Komisi juga masih
memiliki 12 kasus pelanggaran HAM berat dan baru satu yang diproses ke tahap
penyidikan oleh Kejaksaan Agung, yaitu kasus Paniai, Papua. “Penyelesaian
kasus pelanggaran HAM tergantung kemauan politik,” kata Ahmad Taufan pada
Rabu, 8 Juni lalu. Menjelang masa akhir
tugasnya pada November mendatang, Komisi mencatat bahwa pemenuhan hak asasi
manusia masih mengecewakan. Kepada Tempo, Ahmad Taufan memaparkan masalah
konflik agraria, kematian anggota laskar FPI, dan upaya perundingan dengan
Organisasi Papua Merdeka. Mengapa
Komisi menggagas perundingan damai Organisasi Papua Merdeka dengan
pemerintah? Kami berkomunikasi
lebih dulu dengan Presiden, menyampaikan gagasan kami, mendiskusikannya.
Beliau perintahkan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Mahfud
Md.) dan (Menteri Sekretaris Negara) Pratikno berkoordinasi dengan Komnas.
Bukan persetujuan. Komnas tidak bisa diperintah presiden. Komunikasi juga ke
Panglima TNI. Tapi saya tidak dalam konteks meminta izin. Institusi tentara
dan polisi harus tunduk pada kebijakan politik pemerintah. Sudah beberapa
kali kontak. Empat kali ketemu langsung. Apakah
ada skema yang ditawarkan? Belum menawarkan
skema. Justru mendengarkan. Yang mereka angkat itu empat poin yang dihasilkan
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Misalnya soal status politik Papua. Itu
kaitannya dengan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera), pelanggaran HAM berat,
dan keadilan. Paling krusial di poin soal status Pepera. Walaupun resolusi
PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) sudah mengakui bahwa Papua bagian dari Indonesia,
mereka mempersoalkan itu lagi. Tapi, saat berbicara dengan kami, (mereka
mengatakan), “Seluruh poin ini kalau kami berunding dengan Indonesia.”
Persoalannya, kita mau enggak bernegosiasi. Kadang-kadang pihak di sini
(menyatakan), “Ngapain bernegosiasi dengan separatis?” Ya, boleh saja
bersikap begitu, tapi puluhan tahun tak selesai bagaimana? Apa
dampak pembentukan provinsi baru Papua bagi upaya perundingan ini? Di Jakarta, banyak
pejabat meyakini bahwa langkah (pemekaran) itu membangun kesejahteraan. Saya
cuma bilang, kami, Komnas HAM, ingin kalian tahu orang itu merasa ditelikung,
ditaklukkan, dan karena itu berpikir kalian itu seperti kolonial. Kasarnya
kan begitu. Saya katakan apa adanya. Apa kita senang bikin Papua naik tingkat
ekonominya tapi sebenarnya orang Papua merasa dikalahkan? Terus, besok kalian
kaget tiba-tiba mereka angkat senjata. Komnas HAM juga memberikan pandangan
ke Mahkamah Konstitusi soal otonomi khusus Papua. Yang kami sampaikan
berdasarkan keluh kesah mereka yang merasa kecewa karena otonomi khusus
disahkan revisinya tapi mereka (orang Papua) tidak ditanya. Bagaimana
kasus pelanggaran HAM di Papua? Iya, sekarang kasus
Paniai. Saya ketemu tokoh-tokoh Papua, termasuk pimpinan Majelis Rakyat Papua
(MRP). Kami paham saudara kita di Papua pasti marah dan kecewa terhadap hasil
(sidang) Paniai karena tidak sesuai dengan harapan. Mereka membayangkan dalam
proses peradilan tersangkanya banyak, ternyata cuma satu orang. Saya bilang
begini, “Tolong dibalik cara melihatnya. Di Indonesia sudah 11 tahun tidak
satu pun kasus HAM berat yang diselidiki Komnas HAM naik ke tingkat
penyidikan.” Kami berusaha terus-menerus meyakinkan Presiden supaya beliau
mau memastikan Jaksa Agung, dari Prasetyo sampai sekarang, agar naik ke
penyidikan. Masuknya
polisi aktif sebagai calon anggota Komnas HAM dipersoalkan. Bagaimana sikap
Komnas? Ada pegangan panitia
seleksi, yaitu Pasal 84 Undang-Undang Hak Asasi Manusia. Kedua, Paris
Principles, standar internasional yang diakui oleh komisi hak asasi di dunia.
Poin utamanya adalah soal independensi. Apakah
polisi aktif tidak membahayakan independensi? Di dalam
undang-undang bahkan disebut calon (dapat dari orang yang) berlatar belakang
polisi. Paris Principles tidak tegas menyebut apakah seorang polisi itu diizinkan
atau tidak. Komnas HAM sudah memberikan mandat kepada lima anggota panitia
seleksi. Ada undang-undang, ada standar internasional. Tak boleh juga
(mereka) sepelekan standar itu. Kalau dilanggar, Komnas HAM turun akreditasi
menjadi B. Gawat kami, karena ruang Komnas HAM di PBB itu untuk bermain
diskursus, negosiasi kebijakan HAM internasional. Kalau kami akreditasinya B,
duduknya di belakang, tak boleh berbicara. Bagaimana
pemenuhan HAM dalam lima tahun ini? Yang kami jadikan
prioritas terutama soal agraria. Kita sudah punya problem agraria sejak zaman
Belanda, kemudian Orde Baru. Sekarang soal investasi, pembangunan
infrastruktur. Bahkan tambang di pulau kecil, meski undang-undang mengatakan
tidak boleh, tetap terjadi, seperti di Sangihe dan Towoni. Konflik agraria
ini makin kompleks karena selalu dibarengi kekerasan. Kekerasannya tak hanya
dari aparat, tapi (juga) dari masyarakat, yang kecewa sehingga melakukan
pembakaran. Karena ada perusakan, terjadi pemidanaan. Persoalan agrarianya
belum selesai, muncul persoalan baru pemidanaan. Itu problem serius. Sudah
kami sampaikan ke Presiden, Menteri Agraria, Kementerian Lingkungan Hidup,
supaya mengambil kebijakan yang memperhatikan aspek itu. Dalam hal tambang,
kadang sikap pemerintah begini: “Ini tambang kan sudah diberikan izin. Kalau
kemudian ada protes, lalu dibatalkan, akan membahayakan iklim investasi.”
Iklim investasi kita jaga, oke. Tapi, kalau kemudian dalam rangka menjaga itu
terjadi pelanggaran hak asasi dan kerusakan ekologi, bagaimana? Apakah kita
harus memilih salah satunya? Apakah kita tak bisa mencari regulasi yang lain,
yang investasi kita tingkatkan tapi indikator ekologi dan HAM wajib dipenuhi? ========== Ahmad
Taufan Damanik Tempat dan tanggal
lahir: Pematangsiantar,
Sumatera Utara, 29 Juni 1965 Pendidikan: • S-1 Departemen
Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara; • S-2 Teori Politik
University of Essex, Inggris Pekerjaan: • Ketua Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia, 2017-2022; • Pengajar Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, 2007-sekarang; • Pengajar
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2012-sekarang; • Ketua Komisi Etik
Komisi Pemilihan Umum Sumatera Utara, 2009; • Koordinator
Regional Community Facilitator of Development Project Consortium of World
Bank-British Council-DSF-IGGRD, 2007-2009; • Direktur Eksekutif
Yayasan KKSP-Pusat Pendidikan dan Informasi Hak Anak, 1993-2006; • Konsultan lepas
untuk isu separated children Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh dan
Nias, 2006; • Konsultan UNICEF
Banda Aceh untuk Reconstruction and Rehabilitation on Social and Education
Project in Aceh, 2007 ========= Secara
keseluruhan pemenuhan HAM tidak menggembirakan? Belum menggembirakan.
Pembangunan infrastruktur seperti Wadas, misalnya. Pemerintah mau bikin
proyek strategis nasional waduk, lalu memutuskan dengan asesmen dia untuk
mengambil batu andesitnya di Desa Wadas. Pertanyaan kami, apakah ketika
menyusun rencana ini mereka berbicara kepada masyarakat? Dalam aspek HAM, satu
prasyarat penting adalah bahwa proses pembangunan itu mengambil satu
persetujuan dari masyarakat dengan benar. Kalau memang sudah setuju, kenapa
mereka menolak keras sekali? Kita mau mengulang
(kasus) Kedungombo? Kita tenggelamkan tuh berapa kecamatan demi pembangunan
waduk untuk listrik. Itu bukan era demokrasi, tapi era pelanggaran HAM. Bagi
kami, bisa enggak dalam proyek strategis nasional ada regulasi yang bisa kita
buat menjadi standar bahwa di setiap pembangunan ada indikator yang
memastikan tidak ada pelanggaran HAM? Angka
pengaduan dari masyarakat adat juga tinggi. Itu juga sama. Bahkan
kita belum terlalu serius untuk mengakomodasi hak masyarakat adat dalam
sistem hukum dan kebijakan nasional. Undang-undangnya belum ada. Itu yang
jadi masalah. Soal agraria, di mana-mana modal pasti mengalahkan masyarakat.
Rakyat sekian tahun mengelola tanah. Ada perusahaan swasta atau BUMN (badan
usaha milik negara), misalnya, mengklaim hak guna usaha (HGU) mereka. Pasti
pemilik HGU menang. Rakyat pasti melawan, kan? Dalam
banyak konflik agraria, pemerintah lebih berada di belakang pengusaha? Ya. Paradigma Orde
Baru, belum berubah. Intoleransi
juga meningkat. Bagaimana kondisinya? Kalau yang dilaporkan
ke Komnas HAM, soal rumah ibadah. Dari kelompok minoritas Ahmadiyah. Kami
sudah dorong Kementerian Agama supaya ambil peran, bukan lagi Majelis Ulama
Indonesia (MUI). Dalam pandangan konstitusi dan HAM, yang bertanggung jawab
melindungi hak beragama itu kan negara. Kalau ada satu daerah bermasalah,
selama ini kan MUI yang berinteraksi. Kami dorong Kementerian Agama di
kabupaten atau provinsi turun menyelesaikan itu, bersikap mewakili negara
untuk melindungi hak beragama, seperti yang dialami Ahmadiyah di Sintang. Apakah
pemerintah cenderung tunduk pada keinginan mayoritas? Ya. Aparat penegak
hukum juga mengikuti cara pandang begitu, bukan bertindak melindungi warga
negara yang menjalankan hak beragamanya. Jangankan Ahmadiyah. Ada maling
ditangkap tak boleh dibiarkan digebukin. Kesadaran itu yang kami yakinkan ke kepolisian:
tugas kalian menjaga hak warga negara. Bagaimana
nasib kasus pelanggaran HAM berat masa lalu? Saya berani
mengatakan dalam periode saya ada satu lompatan besar. Satu kasus naik (ke
tingkat penyidikan). Walaupun, ya, dengan catatan itu belum maksimal. Tapi
kan dulu enggak ada, sekarang ada. Selama 20 tahun tak pernah punya rumah,
sekarang punya rumah. Tapi belum megah. Masih rumah susun sederhana. Tapi
punya rumah, toh? Apa
problem utamanya? Kemauan politik. Coba
lihat jawaban-jawaban pihak Kejaksaan Agung di berbagai seminar. Kalau saya
enggak menahan emosi, penjelasan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus
terkesan meremehkan semua hasil kerja Komnas HAM. Saya sudah ngamuk
semestinya. Ini soal political will. Kalau Presiden bisa diyakinkan dan
kemudian memerintahkan Jaksa Agung, semua argumentasi hukum ini (berkas
Komnas HAM tidak lengkap dan lain-lain) enggak ada lagi begitu Presiden
bilang Paniai maju ke tahap berikutnya. Apakah
Presiden punya kemauan politik itu? Dengan Paniai berarti
ada. Sebelumnya tidak ada, belum berani. Tinggal cara melihatnya saja. Saya
melihatnya terbalik. Dengan ada (kasus Paniai) ini, meski kecil, (jadi)
peluang untuk mendorong lagi langkah penegakan hukum terhadap kasus lain.
Komnas HAM dengan pemerintah sudah lama merancang peraturan presiden tentang
penyelesaian HAM berat melalui jalur nonyudisial. Banyak pihak marah. Saya
berkali-kali katakan, “Kami dengan pemerintah bersepakat kalau kita nanti
peraturan itu keluar, yang merupakan langkah nonyudisial, tidak berarti
langkah yudisial ditutup.” Bagaimana
perkembangan peraturan itu? Belum ditandatangani.
Draf sudah selesai. Pada Hari HAM lalu, saya tagih itu. Banyak pihak khawatir
sekali kalau seandainya langkah-langkah penegakan hukum dijalankan. Ada pihak
yang merasa akan mengadili mereka. Sebetulnya kan tidak. Tidak ada institusi
yang diadili. Yang diadili orang yang melakukan. Tidak berarti itu cerminan
institusi. Kekhawatiran itu tidak beralasan. Di mana-mana di dunia, kalau
pelaku pelanggaran HAM diadili, institusi tempat asal pelaku itu tidak akan
runtuh. Di Amerika Latin, tetap saja kepolisian eksis, tentara makin kuat.
Hanya orang dan tindakan atau kebijakan yang dulunya represif tak bisa lagi
diterima. TNI sekarang kan tidak sama dengan masa Orde Baru. Salah
satu kasus kontroversial adalah penembakan anggota laskar FPI di Kilometer
50. Bagaimana Anda melihat putusan pengadilan yang membebaskan polisi sebagai
pelaku penembakan? Kami tetap dengan
kesimpulan kami. Orang memperdebatkan itu pelanggaran HAM berat atau tidak.
Pelanggaran HAM berat itu mesti direncanakan dan operasi sistematis dalam
bentuk serangan terhadap penduduk sipil. Kami tak menemukan itu. Kepolisian
ditugasi untuk mengawasi, kemudian dalam proses dia bentrok dengan laskar.
Dua orang mati dalam bentrokan itu. Empat ditangkap. Di dalam penguasaan
polisi itu, mereka meninggal. Komnas HAM tidak bisa menerima argumentasi
polisi bahwa mereka dalam kondisi terdesak karena kami tidak menemukan satu
bukti atau informasi yang meyakinkan bahwa hal itu benar. Karena itu kami
sebut unlawful killing. Putusan
pengadilan itu apakah tidak mementahkan hasil Komnas HAM? Pengadilan mengatakan
unlawful killing terbukti, tapi ada pembenaran dari petugas itu karena dia
digambarkan dalam situasi terancam jiwanya sebagai aparat sehingga menjadi
alasan pembenar terhadap tindakannya yang menyebabkan kematian empat orang
tersebut. Itu ranah hakim dalam membuat keputusan. Yang kami kecewa, ada
beberapa rekomendasi lain Komnas HAM yang tidak dilaksanakan. Contohnya,
mengapa (penyidik) tidak pernah menelusuri enam anggota FPI yang lolos? Kami
juga merekomendasikan kepemilikan senjata api laskar FPI ditelusuri lebih
jauh karena ini berkait dengan sumber masalah. Kita perlu membuka di balik
semua ini ada kekuatan apa. Sebab, kalau saya kaitkan dengan pemantauan
peristiwa Mei 2019 kan ditemukan anak muda ikut demo itu ternyata
dipersenjatai, meski tak sampai senjata api, tapi macam-macam, termasuk
molotov, yang sampai menimbulkan kebakaran, kerusakan. Ada puluhan anggota
Brigade Mobil dan demonstran cedera. Ada sembilan orang tewas yang tidak
diketahui siapa penembaknya. Peristiwa kekerasan bukan sekali ini terjadi.
Bayangan kami, kalau rekomendasi kami dijalankan, itu bisa menguak berbagai
peristiwa kekerasan di Indonesia. Masih
optimistis kasus pelanggaran HAM berat diselesaikan? Masih optimistis.
Bisa jadi ada kasus yang mungkin saja aspek yudisialnya makin sulit tapi ada
solusi lain. Misalnya nonyudisial atau semiyudisial. Mungkin enggak (kita)
bikin pengadilan yang tidak mengadili orang tapi kasus karena orangnya sudah
meninggal? Ini bisa menjadi kreasi hukum di Indonesia. ● Sumber :
https://majalah.tempo.co/read/wawancara/166180/bagaimana-menyelesaikan-pelanggaran-ham-berat |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar