Apa Saja Manfaat dan
Keuntungan Panel Surya Aisha Shaidra : Wartawan Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 18
Juni
2022
TERIAKAN lantang Gede
Robi, vokalis band Navicula, yang membawakan lagu “Metropolutan” menemani
aktivitas I Gusti Agung Putra Dhyana alias Gung Kayon pada Kamis petang, 17
Juni lalu. Saat itu Gung Kayon sedang memotong rumput dan menyapu daun kering
di belakang rumahnya di Desa Geluntung, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan,
Bali. Sembari bekerja, pria 52 tahun ini menggendong tas punggung berisi
baterai 24 volt/9 ampere-jam dan dua panel surya dengan daya masing-masing 10
watt-peak (WP). Panel surya penghasil
setrum itu ia gunakan untuk menyalakan mesin potong rumput. "Dengan
bantuan panel surya bisa bertahan satu jam untuk potong rumput,” katanya
kepada Tempo. Tak cuma untuk menyalakan
mesin potong rumput, Gung Kayon juga memasang panel surya di atap rumahnya.
Dia mengaku memakai instalasi pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap
sejak 2016. Bertahun-tahun
memanfaatkan PLTS atap, Gung Kayon tak terlalu bergantung pada aliran listrik
dari PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN. Meski begitu, dia tetap
berlangganan listrik dari PLN berdaya 1.300 volt-ampere (VA) dengan biaya
rata-rata Rp 20 ribu tiap bulan. “Listrik PLN cuma jadi cadangan,” ujarnya. Sejak 2016, Gung Kayon
aktif memasang PLTS untuk kliennya, para ekspatriat yang tinggal di Bali.
Menurut dia, minat masyarakat memanfaatkan sinar matahari sebagai sumber
energi listrik cukup tinggi di Bali. Kebanyakan pengguna energi bersih ini
adalah warga negara asing. Hal serupa dialami I Gede
Putra Angga Sastra. Pria 42 tahun warga Desa Paksebali, Kecamatan Dawan,
Kabupaten Klungkung, Bali, ini memasang enam panel surya dengan daya maksimal
2.700 WP pada Oktober tahun lalu. Setelah memasang panel
surya di atap rumahnya, Angga bisa memangkas lebih dari 70 persen biaya
listrik bulanan. Sebelum memakai PLTS atap, saban bulan Angga harus membayar
tagihan listrik Rp 800 ribu. "Setelah memakai PLTS atap, hanya Rp 145
ribu. Listrik yang saya hasilkan juga dijual ke PLN,” ucapnya. Angga mengaku mengenal
PLTS atap dari keponakannya yang menjalankan bisnis instalasi perangkat
tersebut. Dia mengeluarkan uang Rp 50 juta untuk memasang PLTS atap.
“Keuntungannya, bayar listrik ke PLN menjadi murah,” ujarnya. Penjualan atau
“ekspor” listrik dari panel surya menjadi bentuk kompensasi dari PLN yang
mengurangi tagihan Angga. Di sekitar rumahnya, kata
Angga, saat ini baru dia yang menggunakan PLTS atap. Alat ini mengundang rasa
penasaran sekaligus minat para tetangganya. Tapi, menurut dia, mereka mundur
setelah mengetahui harga dan biaya pemasangan alat tersebut. Di Surabaya, ada Elieser
Tarigan yang memasang PLTS atap pada 2012. Dosen sekaligus Kepala Pusat
Teknik Lingkungan dan Energi Terbarukan Universitas Surabaya itu merasa panel
surya menjadi pilihan terbaik untuk menghemat biaya listrik yang ditagihkan
PLN. “Saya bisa menghemat biaya sangat banyak,” tuturnya pada Kamis, 16 Juni
lalu. Elieser memasang panel
surya seluas 10 meter persegi di atap rumahnya di Jalan Wiguna Selatan,
Kecamatan Gunung Anyar. Tahun lalu, dia memasang panel tambahan. Sebelum
memakai PLTS atap, Elieser membayar tagihan listrik bulanan Rp 900 ribu-1 juta.
Kini tagihannya hanya Rp 130 ribu. “Itu pun kalau kami menyalakan AC
nonstop,” ucapnya. Saat pertama kali memasang
panel surya 10 meter persegi pada 2012, Elieser masih memakai konverter yang
mengubah solar cell menjadi listrik rumahan menggunakan baterai. Baterai ini
harus diganti setiap lima tahun dengan biaya Rp 20 juta per 100 ampere.
Sistem ini dikenal sebagai PLTS atap off-grid atau tak tersambung dengan
jaringan listrik PLN. Setelah hampir sepuluh
tahun memakai sistem off-grid, Elieser mencoba sistem on-grid atau PLTS yang
terhubung dengan jaringan PLN. PLTS atap ini terhubung dengan meteran
ekspor-impor listrik untuk menghitung kelebihan listrik panel surya yang
dijual atau diekspor kepada jaringan PLN. Cara ini, menurut Elieser, lebih
murah karena dia tak perlu bolak balik mengganti baterai. Setelah pemerintah
menerbitkan peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral nomor 26 pada
Agustus tahun lalu, pengguna PLTS atap on-grid seperti Elieser bisa mendapat
insentif berupa kenaikan tarif ekspor listrik yang harus dibayar PLN. Dalam
aturan lama, PLN hanya membeli 65 persen listrik PLTS atap yang disalurkan
pelanggan. Kini 100 persen listrik dari PLTS atap bisa dijual kepada PLN
sehingga penggunanya mendapat pengurangan tagihan listrik yang jauh lebih
besar. Tergiur oleh insentif ini,
Elieser mengajukan permohonan izin pemasangan PLTS atap tambahan sekaligus
penambahan daya dari 2.200 VA menjadi 4.400 VA. Tapi proses itu tak semulus
yang ia bayangkan. PLN hanya mengizinkan daya maksimum PLTS atap 3.700 WP
atau 85 persen dari yang ia ajukan dalam permohonan. Alih-alih memberi izin,
petugas PLN menawari dia fasilitas jasa menaikkan daya supaya PLTS atapnya
segera berfungsi. Elieser akhirnya meminta penambahan daya menjadi 5.500 VA
pada November tahun lalu dan dua bulan kemudian alatnya baru bisa dipasang.
"Kalau waktu itu terlambat mengajukan mungkin nasibnya seperti yang
lain, yang sama sekali tidak dilayani," ujarnya. Setelah melewati proses
yang cukup panjang, Elieser yakin jerih payahnya saat memasang PLTS atap bisa
ia nikmati kurang dari tujuh tahun ke depan. Setelah itu, dia berharap bisa
terbebas dari tagihan listrik PLN. Tempo berupaya menghubungi
PLN untuk meminta tanggapan mengenai rumitnya prosedur pemasangan PLTS atap
di beberapa daerah. Vice President Komunikasi Korporat PLN Gregorius Adi
Trianto hanya memberikan jawaban singkat. Menurut dia, PLN mendukung program
pemerintah melakukan transisi energi serta mengembangkan pemanfaatan energi
baru dan terbarukan. "Transisi energi harus dilakukan secara cermat dan
tepat. Kami sudah memiliki peta jalan untuk mencapai neutral carbon di
2060," tutur Greg secara tertulis. Managing Director PT Utomo
Juragan Atap Surya Indonesia atau Utomo SolaRUV, Anthony Utomo, mengatakan
pengguna PLTS atap memilih sistem on-grid yang lebih murah dan tak terganggu
hujan atau mendung yang menghalangi sinar matahari. "Karena terhubung
pada jaringan PLN, keandalan jaringan listriknya terjaga," ucapnya. Namun, Anthony
menambahkan, minat pengguna PLTS on-grid terganjal aturan PLN yang membatasi
pemasangan daya maksimal 15 persen dari kapasitas listrik PLN yang mereka
gunakan. Pembatasan ini yang menghambat pemasangan panel surya atap dengan
kapasitas tertentu. Dia memberi contoh, PLN
hanya mengizinkan pemasangan PLTS atap 200 VA untuk pengguna listrik rumah
tangga berdaya 2.200 VA. Padahal kapasitas panel surya per lembarnya 400-450
VA. “Apa iya, panel surya ini harus digergaji dulu untuk memenuhi standar
PLN,” katanya. Menurut Anthony, tuntutan PLN kepada pelanggan agar menambah
daya juga memberatkan. Menurut Anthony, sejak
Idul Fitri lalu PLN tidak memberi izin pemasangan PLTS atap di semua wilayah
dengan alasan tidak sesuai dengan persyaratan. Anthony, yang menjabat Wakil
Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia, menduga sikap PLN ini berkaitan
dengan masalah oversupply atau kelebihan pasokan listrik. “Kini yang telanjur
memasang PLTS atap dan panel surya nasibnya bagaimana?” tuturnya. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/ekonomi-dan-bisnis/166226/apa-saja-manfaat-dan-keuntungan-panel-surya |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar