Akurasi Ukuran dalam
Bahasa Indonesia Ahmad Hamidi : Jurnalis Tempo |
MAJALAH TEMPO, 25
Juni
2022
TIAP hari besar seperti
Lebaran, Natal, dan tahun baru Masehi datang, arus lalu lintas darat, laut,
dan udara hampir selalu meningkat. Untuk mengutarakan intensitas kendaraan
yang melintas, dalam berbagai berita, sering kita temukan ungkapan “lancar”,
“ramai lancar”, “padat merayap”, “padat tersendat”, “macet”, dan “macet
total”. Lewat ungkapan-ungkapan itu, sialnya, kita tidak segera tahu secara
persis kondisi sesungguhnya. Berapa selisih rata-rata
kecepatan kendaraan dalam kondisi “lancar” dan “ramai lancar”? Bagaimana
penguantifikasian konsep “padat merayap”? Dalam hal apa saja “padat merayap”
dan “padat tersendat” menunjukkan perbedaannya? Berapa kilometer panjang
minimal riritan kendaraan untuk dapat dikatakan “macet total”? Tidak ada
indikator ukuran yang spesifik dan konvensional yang menyertainya. Begitulah uniknya bahasa,
selalu menyisakan ruang bagi ketidakakuratan. Kita jarang mempersoalkannya
karena memang tidak perlu—atau tidak betul-betul mempedulikannya? Soal makna, “lancar” dan
“macet” bisa kita temukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia V daring,
masing-masing “tidak tersangkut-sangkut; tidak terputus-putus” dan “terhenti;
tidak lancar”. “Lancar” dalam konteks ini dimaknai sebagai kondisi ketika
kendaraan dapat melaju dengan kecepatan stabil, cenderung tinggi, tanpa
hambatan. “Macet” sebenarnya sudah menggambarkan tingkat ketersumbatan
tertinggi, tanpa perlu embel-embel “total”. Namun, demi mencapai nuansa macet
yang sebenar-benarnya macet, kata itu dipakai sebagai penguat (adjective
intensifier) yang dapat memunculkan imaji barisan kendaraan tak bergerak sama
sekali dan minta ampun panjangnya dalam durasi yang lama. Begitu pula ketika banjir
merendam wilayah tertentu. Tidak semua pewarta di lapangan menggunakan satuan
ukur matematis dalam mewartakan ketinggian banjir. “Saat ini ketinggian
banjir terpantau mencapai pinggang orang dewasa,” seolah-olah kita telah
bersepakat dengan patokan semacam itu, mengukur dengan tubuh. Tanpa
angka-angka, kita yang tidak mengalaminya, yang cuma menyaksikan via layar
kaca, dapat membayangkan barang dan perkakas rumah tangga apa saja yang
direndam banjir itu. Kita diajak memperkirakan apa saja aktivitas yang bisa
dan tidak bisa dilakukan oleh para penyintasnya. Entah setinggi apa orang
dewasa itu, toh, tidak kita persoalkan lagi seolah-olah tinggi manusia dewasa
di bumi ini sama belaka. Pokoknya “sepinggang”—atau “semata kaki”, “selutut”,
“sedada”, “seleher”, dan “sekepala”. Selain karena kebiasaan,
keterbatasan, atau ketidaksiapan, dalam banyak kasus, ketidakakuratan dalam
berbahasa dipicu oleh faktor kesantunan, terutama bagi sebagian besar budaya
masyarakat etnis di Indonesia. Namun itulah hakikat bahasa. Ia bisa
menjelasterangkan suatu maksud dan realitas ataupun mengabursamarkannya. Sebelum menyajikan kepada
kita, penjual rujak atau nasi goreng biasanya akan bertanya: “Pedes atau sedang?”
Secara konseptual, “sedang” merujuk pada “rasa pedas yang terasa, tanpa
membakar lidah”. Lho, apa ukurannya? Bagi penjual, ukurannya tersimpan secara
kognitif berdasarkan pengalamannya melayani berbagai konsumen. Persoalannya,
tidak semua lidah bersepakat dengan kata bermakna “antara” seperti itu.
“Sedang” bagi konsumen A belum tentu sama bagi konsumen B. Begitu pula
“pedas” menurut konsumen C boleh jadi tidak termakan oleh konsumen D. Serupa dengan intensitas
kendaraan dan ketinggian banjir, level kepedasan yang tidak jelas
pengungkapannya dapat menimbulkan kesalahpahaman. Daripada dikecewakan oleh
rasa, sebagai pembeli, katakan saja, “Saya pesan nasi goreng, sambel-nya 5
sendok”, atau, “Saya pesan rujak, cengeknya 5 biji”. Jelas. Terkuantifikasi. Nah, karena cenderung
“menodong”, sering kita enggan langsung menjawab begitu. Todongan serupa itu,
dalam berbahasa, bisa menunjukkan ketidaksantunan. On-record, dalam bahasa
Brown & Levinson (1987). Berdasarkan prinsip kerja sama (cooperative
principles), jawaban serupa itu dianggap melanggar maksim kuantitas, yakni
memberikan kontribusi (jawaban) yang lebih informatif daripada kebutuhan
(pertanyaan) mitra tutur. Secara pragmatis, melanggar prinsip kerja sama
berarti menambah “beban” bagi mitra tutur. Padahal, sebenarnya bukan masalah,
kita sebagai pembeli berhak menyesuaikan selera. Ketidakakuratan dalam
menyatakan satuan ukur merupakan fenomena kultural yang bersifat universal.
Untuk mengukur apa pun, nenek moyang umat manusia sejak dulu terbiasa
memanfaatkan bagian tubuh dan segala benda serta fenomena di sekitar mereka.
Kita ingat ada istilah “jengkal”, “hasta”, dan “depa”, yang oleh orang
Inggris masing-masing disebut “span”, “cubit”, dan “fathom”. Dalam masalah
waktu juga begitu. Orang Sunda, misalnya,
mengenal sejumlah penanda waktu yang berbasis pada harmoni antara mereka dan
alamnya. Semua itu cuma perkiraan. Tentu tidak akurat. Sebagai contoh,
kira-kira pukul 8 pagi disebut haneut moyan karena pada waktu itulah kegiatan
berjemur lazim dimulai. Lalu kira-kira pukul 5 sore disebut ngampih laleur,
seiring dengan masuknya lalat ke sarang. Kemudian kira-kira pukul 1 dinihari
disebut wanci tumorék lantaran pada waktu itu alam terasa hening
sehening-heningnya, tiada terdengar bebunyian apa pun. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/bahasa/166249/akurasi-ukuran-dalam-bahasa-indonesia |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar