Kamis, 07 Oktober 2021

 

Musim PKI yang Sepi dan Devaluasi Kapital Simbolik

Al-Zastrouw ;  Budayawan, Dosen Pasca Sarjana UNSIA Jakarta, Kepala UPT Makara Art Center UI Jakarta

WATYUTINK, 30 September 2021

 

 

                                                           

Ibarat tanaman, isu PKI adalah tanaman yang berbuah setahun sekali, yaitu setiap akhir bulan September. Di Indonesia, banyak orang yang merawat dan menjaga “pohon” ini karena memiliki manfaat besar bagi pemiliknya. Buah dari “pohon PKI” ini dapat menjadi sumber ekonomi dan kekuatan politik. Bahkan pada momen tertentu, terutama saat ada hajatan politik, harga buah dari “pohon PKI” ini bisa sangat mahal.

 

Biasanya, saat musim PKI tiba, para broker akan sibuk menjajakan “buah” ini kepada para bandar. Para broker akan memoles “buah” ini dengan berbagai hiasan agar terlihat cantik dan indah demi menarik perhatian para bandar agar mau membeli. Selain itu, para broker juga akan menabur bumbu-bumbu untuk menambah cita rasa agar masyarakat merasa nikmat mengkonsumsinya. Tidak jarang para broker menggunakan bumbu-bumbu agama untuk menambah vitalitas orang-orang yang mengkonsumsi supaya menjadi lebih sangar dan garang.

 

Pada saat musim PKI tiba, terjadi proses tawar menawar secara sembunyi-sembunyi di balik layar antara para broker dan bandar. Setelah itu terjadi hiruk pikuk di tengah masyarat akibat mabuk “buah PKI” yang disajikan oleh para bandar dan broker. Terjadi proses saling hujat, saling laknat di antara sesama warga bangsa. Bertebaran fitnah, caci maki, olok-olok dengan berbagai macam kata jorok yang penuh kebencian. Inilah kenyataan yang terjadi beberapa tahun terakhir setiap musim PKI tiba.

 

Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, musim PKI tahun ini tidak begitu heboh dan berisik. Tahun ini hampir tidak ada keributan dan perdebatan yang berarti terkait dengan isu PKI. Beberapa tokoh lama seperti Gatot Nurmantyo, Amien Rais, Alfian Tanjung dan lain-lain yang terus menjajakan isu ini ke publik kurang mendapat respon yang berarti. Hal ini berbeda dengan tahun sebelumnya yang masih mendapat respon publik terutama saat Gatot Nurmantyo dicegah melakukan tabur bunga di Makam Pahlawan Kalibata saat peringatan G30S/PKI. Peristiwa ini sempat menjadi perdebatan yang menyita perhatian publik   

 

Dalam konsep modal yang dikonstruksi Bourdieu (1986), isu PKI ini bisa masuk dalam katagori modal simbolik yaitu modal yang dibangun berdasar dialektika pengetahuan dan pengenalan sehingga membentuk prestise bagi individu mupun masyarakat. Dalam konteks isu PKI, pengenalan peristiwa pemberontakan PKI yang diajarkan secara masif dan intensif telah menjadi pengetahuan yang mempengaruhi kesadaran bangsa Indonesia, sehingga menjadi kapital simbolik yang dapat dikuasai oleh sekelompok orang baik secara pribadi maupun bersama.

 

Ketika suatu isu/peristiwa telah di-create sedemikian melalui berbagai proses sosial sehingga menjadi simbolik maka dia memiliki nilai tukar (kekuatan untuk dipertukarkan). Sang pemilik modal simbolik dapat menggunakannya sebagai kekuatan untuk melakukan negosiasi dengan pemilik modal lain atau menyingkirkan agen (pemilik modal) yang lebih lemah.

 

Proses pertukaran (konversi) antar kapital (kapital sosial, kultural, simbolik dan ekonomi) ini terjadi secara fluktuatif. Artinya nilai masing kapital mengalami naik turun. Pada saat tertentu, simbolik memiliki nilai yang sangat tinggi dibanding dengan kapital ekonomi. Pada saat seperti ini harga kapital simbolik menjadi mahal. Hukum ekonomi supply and demand berlaku dalam proses konversi antar kapital.

 

Ada beberapa hal yang mempengaruhi nilai tukar dari kapital simbolik (juga kapital sosial dan kultural) terhadap kapital ekonomi (Zastrouw, 2009), pertama, momentum politik. Pada saat terjadi hajatan politik seperti pemilu atau pilkada maka harga kapital simbolik menjadi sangat tinggi. Kedua ketika ada konflik. Pada momentum ini kapital simbolik, juga kapital sosial dan kultural, memiliki nilai tukar tinggi baik, karena pada saat ini kapital simbolik diperlukan baik untuk menghentikan ataupun meneruskan konflik. Ketiga, ketika terjadi proses industrialisasi, misalnya untuk membangun pabrik di suatu daerah dan sejenisnya. Pada momentum seperti ini biasanya nilai tukar kapital simbolik sosial maupun kultural akan semakin naik. Keempat, bobot atau kekuatan dari kapital simbolik itu sendiri. Suatu kapital simbolik yang memiliki legitimasi kuat, sangat prestisius dan memiliki pengaruh yang besar, maka akan memiliki nilai yang sangat tinggi.

 

Berdasarkan pada analisa di atas, Sepinya isu PKI tahun ini menunjukkan adanya beberapa kemungkinan. Pertama, tidak sedang terjadi tarik menarik kepentingan politik yang berarti sehingga tidak memerlukan kapital simbolik sebagai pendukung. Kedua terjadi devaluasi isu PKI sebagai kapital simbolik. Artinya, isu PKI sudah tidak lagi menjadi kekuatan yang diperhatikan dalam percaturan politik karena rakyat sudah bosan dan paham dengan isu tersebut. 

 

Jika kemungkinan kedua yang terjadi, maka ini merupakan lampu kuning bagi para pemilik kapital simbolik ini. Artinya orang-orang yang merawat dan menjaga isu PKI sebagai bahan untuk melakukan negosiasi politik dan menangguk keuntungan ekonomi, harus mulai siap-siap untuk mencari alernatif lain yang bisa dijadikan dijadikan sebagai kapital simbolik. Dan ini artinya kita tidak dapat lagi menyaksikan hiruk pikuk saat musim PKI tiba, atau bahkan tak ada lagi musim PKI karena sudah tidak ada yang peduli. ●

 

Sumber :  https://www.watyutink.com/topik/berpikir-merdeka/Musim-PKI-yang-Sepi-dan-Devaluasi-Kapital-Simbolik

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar