Rapor
Pendidikan JC Tukiman Taruna ; Pengajar Program Doktor Ilmu Lingkungan
(PDIL) dan Ketua Dewan Penyantun UNIKA Soegijapranata Semarang |
KOMPAS,13 September 2021
Gebrakan
Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Nadiem Makarim selama ini
sudah “sangat” banyak, terbaru penghapusan Badan Standar Nasional Pendidikan
(BSNP), dan berikutnya Asesmen Nasional (AN) yang kelak akan menghasilkan
rapor pendidikan bagi sekolah dan dinas pendidikan. Pengukur
tingkat kepercayaan publik pada Kemendikbudristek saat ini cukuplah satu
saja, yaitu yang penulis sebut contra ac dicta sunt; berlawanan dengan yang
dikatakan atau tidak. Tegasnya, adakah satu kata dan perbuatan; adakah bukti
atas apa yang diwacanakan. Karena
itu, sampai 2021 ini berakhir (empat bulan lagi), sebaiknya Kemendikbudristek
membuktikan dulu adanya sinyal-sinyal keberhasilan dari apa yang selama ini
diwacanakan lewat berbagai kebijakan, sebelum ada gebrakan lain. AN
yang terdiri dari Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Lingkungan diharapkan
sebagai langkah tepat memetakan kualitas pendidikan Indonesia di tengah
pandemi Covid-19. Hasil AN akan dimuat dalam sebuah platform bernama Rapor
Pendidikan. Rapor
ini kelak akan diberikan kepada kepala sekolah dan dinas pendidikan sebagai
“dokumen rahasia,” Maksudnya, pembagian atau pengumuman hasil AN tidak dapat
diakses secara luas, dan hanya pihak sekolah (satuan pendidikan) yang
bersangkutan saja dapat melihat hasil AN miliknya. Kemdikbudristek
mengatur, hanya kepala dinas pendidikan saja bisa melihat hasil AN seluruh
sekolah di wilayahnya. Atas rapor pendidikan itulah, selanjutnya kepala
sekolah dan kepala dinas pendidikan bisa merencanakan tindak lanjut
peningkatan kualitas pendidikan di wilayah masing-masing. Rapor
pendidikan juga tidak akan memuat baik skor individu murid sebagai subyek
asesmen, apalagi rankingnya, skor masing-masing guru, maupun skor sekolah.
Rapor pendidikan juga tidak akan dipublikasikan; dan hal itu dilakukan antara
lain untuk menghindari adanya “hukuman” atau “sangsi sosial” terhadap
sekolah, bahkan mungkin terhadap guru dan peserta didik. Pada
tahap awal “turunnya” rapor pendidikan, Kemendikbudristek berharap
masing-masing sekolah merefleksikan diri, bercermin dan tergerak untuk
merencanakan peta perbaikan sekolahnya. Mengapa
hasil AN berupa rapor pendidikan harus dirahasiakan sedemikian rupa, padahal
arahnya adalah untuk pemetaan kualitas pendidikan sekolah dan wilayah?
Mampukah hanya kepala sekolah dan kepala dinas pendidikan saja kelak membuat
pemetaan itu? Sengaja
akan dimatikankah peran serta masyarakat untuk menyumbangkan pemikiran dalam
penyusunan peta peningkatan kualitas pendidikan? Dan, pada zaman seperti ini,
siapa dapat menjamin kerahasiaan apa pun atau siapa pun? Satu kata dan perbuatan Ada
contoh kuno namun bagus terkait tokoh yang berpegang pada satunya kata dan
perbuatan. Adalah Francis Bacon (1561-1626), filsuf Perancis yang menggebrak
dominasi mazhab Skolastik yang sangat kuat mengakar dengan metode
deduktifnya. Gebrakannya harus ia bayar sampai masuk penjara dan kena denda
40.000 franc. Memang tak berapa lama ia di penjara, karena dilepaskan dengan
janji agar sisa hidupnya harus berada di pengasingan dan hanya boleh menulis
buku. Konsisten
dan konsekuen dengan janjinya, Bacon berhasil menulis sejumlah buku, antara
lain Novum Organum, Advancement of Learning, serta New Atlantis, dan semuanya
bercorak menentang metode deduktif kaum Skolastik. Sebagai ganti dan
buktinya, Bacon menawarkan metode induktif eksperimental; dia melakukan
sendiri eksperimennya dengan mengadakan percobaan pendinginan ayam dengan
salju. Namun, justru di situlah Bacon meninggal karena terpaan musim dan hawa
dingin yang luar biasa. Apa
yang mendasari metode induktif eksperimental Bacon? Ia memikirkan serius
bagaimana caranya mengubah metafisika yang spekulatif dengan yang ilmiah
eksperimental; karena itu pikiran kita harus mampu mengalihkan ke arah
penyelidikan dan melihat kenyataan-kenyataan empirik. Akal
manusia, kata Bacon, harus digunakan untuk mendapatkan kebenaran, karena
knowledge is power (Endang Daruni Asdi dan Husnan Aksa, 1981). Bisa
dipastikan AN menerapkan metode induktif, bahkan bisa dikategorikan
eksperimental mengingat asesmen kompetensi minimum (terutama bagi peserta
didik) sebaiknya menggunakan uji coba dulu, baik instrumen maupun siswanya.
Uji coba sangat penting karena instrumen yang baik hanya mungkin tersusun
jika diperkaya pengalaman empirik. Ketika
kami berempat (di bawah pimpinan seorang professor peneliti dari Selandia
Baru) melaksanakan tes EGRA (early grade reading assessment) di Sumba (2016),
dalam bacaan yang kami sodorkan, ada kata warung yang tak dikenal oleh satu
siswa pun. Untung ketidaktahuan itu kami ketahui pada saat uji coba
instrumen, yang tentu saja segera kami ganti dengan kata kios (lazim
dipergunakan dalam percakapan sehari-hari) ketika EGRA yang sesungguhnya kami
lakukan bagi siswa kelas II SD. Simpulan
singkatnya, AN selayaknya sangat kuat berdasarkan dan merekam pengalaman
empirik siswa, guru, dan juga kepala sekolahnya; supaya rapor pendidikan yang
kelak dihasilkan, benar-benar membuktikan satunya hasil dengan kebijakan
Kemendikbudristek sebagaimana diharapkan agar memenuhi syarat untuk membuat
pemetaan kualitas pendidikan Indonesia. ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2021/09/13/rapor-pendidikan/ |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar