Mural
Sosial dan Reklame Politik di Ruang Publik Sumbo Tinarbuko ; Pemerhati Budaya Visual dan Dosen Komunikasi
Visual FSR ISI Yogyakarta |
KOMPAS, 9 September 2021
”… apabila usul ditolak tanpa
ditimbang suara dibungkam kritik dilarang tanpa
alasan dituduh subversif dan mengganggu
keamanan maka hanya ada satu kata: mural’’ Seperti
itulah penampakan visual mural sosial yang direkatkan di ruang publik. Materi
pesan verbal mengutip sebagian puisi fenomenal karya Wiji Thukul, berjuluk
”Peringatan”. Mural sosial didominasi warna merah darah. Sisi kiri diterakan
ilustrasi wajah Wiji Thukul. Tangan kanan mengepal sambil memekikkan diksi
mural! Mural
sosial tersebut memancarkan daya ganggu visual sangat tinggi di mata publik.
Mengapa demikian? Karena sang pembuat mural sosial mendekonstruksi sekaligus
mempelesetkan diksi lawan diganti diksi mural. Adapun ilustrasi tangan Wiji
Thukul tidak digambarkan mengepalkan jarinya, tetapi dipelesetkan menggenggam
kuas rol untuk mempertegas visualisasi diksi mural. Dalam
perspektif komunikasi visual, pelesetan pesan verbal dan pesan visual mural
sosial sungguh cerdas. Mural sosial yang diunggah akun Instagram
@aktivismahasiswa.ind tersebut menggunakan pendekatan guyon parikena.
Terjemahan bebasnya: bergurau dalam konteks menyindir. Pola komunikasi visual
semacam ini memerlukan kecerdasan visual tingkat tinggi. Mengapa
sang pembuat mural sosial memilih memparodikan diksi lawan diganti diksi
mural? Patut diduga, pameran mural sosial di ruang publik menjadi trending
topic pada era pandemi ini. Hal itu terjadi karena mural sosial dimasukkan ke
dalam kotak pro dan kontra ketika direkatkan konteks kritik sosial. Masalahnya
kemudian, mengapa keberadaan mural sosial dianggap menjadi bagian gangguan
visual di ruang publik? Adapun baliho dan billboard politik mendapatkan
perlakukan sebaliknya? Pada
titik ini, sejatinya ada garis perjuangan yang sama antara mural sosial dan
reklame politik. Keduanya didedikasikan menjalankan kerja komunikasi visual.
Mereka berupaya menyampaikan gagasan pesan verbal dan pesan visual. Ditujukan
kepada siapa? Tentu diperuntukkan bagi para pihak yang diposisikan sebagai
komunikan alias target sasaran. Sementara
itu, perbedaan fisik di antara keduanya tampak mencolok. Mural sosial
memiliki niat mulia menyampaikan realitas sosial atas permasalahan ekonomi,
kesehatan, pendidikan, sosial, serta kebudayaan yang membelit hidup dan
kehidupan masyarakat. Di dalam goresan visual mural sosial tidak tampak upaya
untuk memperebutkan kursi kekuasaan. Mereka mengejar implementasi sila kedua
Pancasila. Kata kunci dari mural sosial: kemanusiaan, keadilan, dan
bermartabat. Sebaliknya,
pesan visual dan pesan verbal reklame politik tertuju pada satu pintu gerbang
besar, yakni bagaimana upaya partai politik mengumandangkan nama ketua
parpolnya. Ikhtiar politik seperti itu sengaja dilakukan secara terstruktur,
sistematis, dan masif. Tujuannya sangat pragmatis, memperoleh dukungan publik
dalam kontestasi perebutan kursi calon presiden pada ajang Pilpres 2024. Baliho politik Perjamuan
demokrasi Pilpres 2024 belum dimulai. Namun, sejumlah parpol mengawalinya
dengan menggelar pesta reklame politik di ruang publik. Medianya berwujud
billboard, spanduk, dan baliho politik. Siapakah personel pesta reklame
politik? Secara kasatmata, terlihat parpol dengan penanda visual merah,
kuning, dan hijau. Ketiga parpol itu dengan bangga unjuk diri di ruang
publik. Mereka bersuara nyaring melantunkan lagu berisi pesan visual dan
pesan verbal politik. Apa
pesan politik yang dikumandangkannya? Parpol dengan penanda merah: Puan
Maharani Ketua DPR RI, ”Kepak Sayap Kebhinekaan’’. Parpol warna hijau: Gus
Muhaimin 2024, ”Padamu Negeri Kami Berbakti’’. Adapun parpol warna kuning:
Airlangga Hartarto 2024, ”Kerja untuk Indonesia’’. Sejatinya,
pesan politik itu dikumandangkan guna mengatrol jenama ketua parpol yang
menjadi jagoan mereka. Pada pesta reklame politik ini, ketua parpol
diposisikan sebagai komoditas politik. Mereka ditawarkan lewat bursa
kontestasi politik calon presiden Pilpres 2024. Strategi
komunikasi politik semacam itu sepintas terlihat sukses. Realitas sosialnya
jauh panggang dari api. Yang mereka terima bukan dukungan dan sanjungan.
Justru kebalikannya. Mereka diserang warganet lewat protes digital. Wujudnya
unggahan meme serta teks status bernada sumbang yang berhamburan di linimasa
medsos. Pada titik ini, mereka justru terjerembab di tengah ikhtiar
mendongkrak elektabilitas jenama sang ketua parpol. Ironisnya, mereka
terperosok dalam perkara miskomunikasi politik. Miskomunikasi politik Pesta
reklame politik yang digelar sejumlah parpol diberi nilai jelek oleh
masyarakat dan warganet. Rangkaian kerja komunikasi visual guna
mengumandangkan nama jagoannya menyebabkan mereka masuk ke dalam kubangan
miskomunikasi politik. Sebuah jalinan proses komunikasi politik yang gagal
menggandeng kesepahaman makna antarpara pihak yang dijadikan target sasaran. Fenomena
miskomunikasi politik merepresentasikan tabiat egoisme politik. Oknumnya
sejumlah parpol yang menggelar pesta reklame politik. Dampaknya, patembayatan
sosial warganet dan masyarakat menjadi gaduh, bahkan terbelah dalam
polarisasi warna penanda visual parpol. Selain
menciptakan kegaduhan sosial, peserta pesta reklame politik senang menebar
sampah visual reklame politik. Mereka mengabaikan ekologi dan keramahan
visual di ruang publik. Akibat turunannya, kemerdekaan visual masyarakat di
ruang publik tercerabut dari akarnya. Ujungnya menjadi bencana sosial. Celakanya,
teroris visual sebagai pelaku penebar sampah visual reklame politik merasa
tidak berdosa. Masyarakat
dan warganet juga menganggap pergelaran pesta reklame politik sebagai
tindakan nir-empati. Di tengah keprihatinan nasional akibat serangan massal
virus korona, mereka menggelontorkan fulus dalam jumlah besar. Dana tanpa
batas itu digunakan membayar mahar produksi reklame politik. Hal
itu menyebabkan jurang kesenjangan sosial semakin meluas dan melebar. Di satu
sisi, masyarakat dan warganet tidak memiliki uang untuk memenuhi kebutuhan
primer. Adapun penampakan visual reklame politik di ruang publik terlihat
melimpah ruah. Peristiwa itu semakin meneguhkan makna konotasi surplus gizi
politik yang dimiliki parpol peserta pesta reklame politik. Agar
miskomunikasi politik dapat didekonstruksi sesuai fitrah komunikasi politik
yang baik dan benar. Sudah saatnya pesta reklame politik di ruang publik
dihentikan. Mereka wajib banting setir. Mereka harus membangun komunikasi
dialogis. Sebuah proses komunikasi politik dua arah berdasarkan rasa empati
yang tinggi. Semua
itu wajib dilakukannya agar calon pemilih mendapatkan rasa keadilan yang
bermartabat. Sebab, sesungguhnya mereka tidak butuh pencitraan tebaran
billboard, spanduk, dan baliho politik di ruang publik. Parpol
berikut ketua yang dijagokan menjadi capres seyogianya mengedepankan niat
tulus untuk merangkul masyarakat dan warganet. Pelukan hangat itu
diejawantahkan lewat program pemberdayaan warga terdampak pandemi Covid-19.
Yang tidak boleh dilupakan, bantulah dan berpihaklah kepada mereka. Yang
harus senantiasa diingat: tunjukkan karya nyata yang langsung dapat dirasakan
kebermanfaatannya. ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2021/09/09/mural-sosial-dan-reklame-politik-di-ruang-publik/ |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar