Menilik
Kebenaran Filsafati atas Kesimpulan Komnas HAM tentang TWK Abdul Rachmad Budiono ; Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya |
KOMPAS, 8 September 2021
Alan
Chalmers, seorang filsuf, dalam bukunya What
is Thing Called Science?, mengatakan, ”Personal
opinion or preferences and speculative imaginings have no place in science”.
Proposisi Alan Chalmers ini menegaskan bahwa derajat ilmiah atau scientific tidak bisa diraih kalau
proposisi itu berangkat dari pendapat pribadi atau personal opinion. Karena
logika adalah bagian ilmu filsafat, sementara ilmu filsafat adalah bagian
ilmu, maka kebenaran filsafati tidak bisa diraih jika suatu proposisi
dibangun dari pendapat pribadi. Tanggal
16 Agustus 2021, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas
HAM) mengeluarkan Keterangan Pers Nomor 027/HM.00/VII/2021 tentang Hasil
Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM atas Peristiwa Dugaan Pelanggaran HAM
dalam Proses Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan Pegawai KPK menjadi Aparatur
Sipil Negara. Kesimpulan nomor 1 hasil pemantauan Komnas HAM tersebut adalah
”Proses alih status pegawai KPK menjadi ASN melalui asesmen TWK hingga
pelantikan pada 1 Juni 2021 diduga kuat sebagai bentuk penyingkiran terhadap
pegawai KPK tertentu dengan latar belakang tertentu, khususnya mereka yang
terstigma atau terlabel Taliban”. Apakah
proposisi dalam kesimpulan Komnas HAM tersebut mempunyai derajat kebenaran
filsafati? Proposisi
terbentuk atas konsep-konsep. Penalaran terbentuk atas proposisi-proposisi.
Penalaran menghasilkan kebenaran. Sebagian kebenaran disebut kebenaran
filsafati. Kebenaran filsafati adalah kebenaran ilmiah yang dilekati derajat
filsafat. Logika praktis Logika
praktis adalah olah pikir ilmiah yang digunakan untuk memedomani pembentukan
konsep, proposisi, dan penalaran. Kesimpulan adalah salah satu wujud
penalaran. Hal-hal yang akan diuraikan singkat berikut ini merupakan contoh
logika praktis. Kesimpulan
nomor 1 hasil pemantauan Komnas HAM tersebut terdiri atas tiga konsep.
Pertama, konsep proses alih status pegawai KPK menjadi ASN melalui asesmen
TWK hingga pelantikan pada 1 Juni 2021. Kedua, konsep diduga kuat sebagai
bentuk penyingkiran. Ketiga, konsep terhadap pegawai KPK tertentu dengan
latar belakang tertentu, khususnya mereka yang terstigma atau terlabel
Taliban. Sesungguhnya
(maaf) kalimat sebagai proposisi yang dibentuk oleh Komnas HAM tersebut tidak berdasarkan tata
bahasa Indonesia yang baik dan benar. Seharusnya kalimat sebagai proposisi
yang dibentuk adalah, ”Komnas HAM menduga kuat proses alih status pegawai KPK
menjadi ASN melalui asesmen TWK hingga pelantikan pada 1 Juni 2021 sebagai
bentuk penyingkiran terhadap pegawai KPK tertentu dengan latar belakang
tertentu, khususnya mereka yang terstigma atau terlabel Taliban." Jika
kalimat sebagai proposisi ini yang dibentuk oleh Komnas HAM, sesungguhnya
lebih mudah untuk diuji apakah proposisi itu berderajat kebenaran filsafati
atau tidak. Agar lebih obyektif, saya ikuti kalimat sebagai proposisi yang
dibentuk oleh Komnas HAM tersebut. Konsep
yang pertama, yaitu proses alih status pegawai KPK menjadi ASN melalui
asesmen TWK hingga pelantikan pada 1 Juni 2021. Frasa ini merupakan satu
konsep yang dibangun atas serangkaian peristiwa hukum oleh beberapa lembaga.
Konsep ini merupakan konsep yang bebas nilai atau free value. Dikatakan
demikian, sebab faktanya memang ada peristiwa sebagai dasar pembentukan
konsep tersebut. Konsep yang bebas nilai bisa dijadikan dasar untuk
pembentukan proposisi. Konsep
yang kedua, yaitu diduga kuat sebagai bentuk penyingkiran. Di sinilah
sesungguhnya Komnas HAM mulai meninggalkan kaidah-kaidah kefilsafatan.
Kesimpulan kefilsafatan yang berbuah kebenaran filsafati harus berangkat dari
konsep yang bebas nilai. Contoh,
gadis itu menangis. Proposisi ini dibentuk dari dua konsep yang bebas nilai,
yaitu ”gadis” dan ”menangis”. Ada proposisi ”gadis itu menangis”, karena
faktanya memang ada gadis menangis. Proposisi ini akan sangat berbeda jika
diganti dengan, ”gadis dungu itu menangis”. Di dalam konsep ”gadis dungu” ada
lekatan nilai yang disebut dengan penuh nilai atau full value. Proposisi
tidak bisa dibentuk dari konsep yang penuh nilai. Kalaupun proposisi dibentuk
dari konsep yang penuh nilai, lekatan nilai ini harus dibuktikan lebih
dahulu. Agar Komnas HAM tidak melekatkan nilai tanpa membuktikan, ia harus
membuktikan tentang konsep ”menyingkirkan”. Konsep
”menyingkirkan” yang dibangun oleh Komnas HAM sudah pasti tidak sama dengan
arti konsep ”menyingkirkan” secara denotatif. Konsep ”menyingkirkan” di dalam
proposisi ”Orang itu menyingkirkan batu-batu yang berserakan di jalan” pasti
sangat berbeda dengan konsep ”menyingkirkan” di dalam proposisi ”KPK
menyingkirkan pegawai tertentu”. Kalau Komnas HAM tidak bisa secara obyektif
membuktikan kebenaran lekatan nilai pada konsep ”menyingkirkan” yang
dibangunnya, Komnas HAM telah menjauh dari kebenaran filsafati. Jika
Komnas HAM membangun proposisi ”KPK telah memberhentikan pegawai KPK
tertentu”, Komnas HAM telah mengawali penalarannya dengan proposisi yang
bebas nilai, sebab faktanya KPK memang memberhentikan pegawai KPK yang tidak
lulus TWK. Apabila Komnas HAM membangun konsep, proposisi, dan penalarannya
dengan menjauhkan diri dari lekatan-lekatan nilai, kesimpulannya akan semakin
bisa diterima oleh khalayak yang amat luas. Konsep
ketiga, yaitu pegawai KPK tertentu dengan latar belakang tertentu, khususnya
mereka yang terstigma atau terlabel Taliban. Frasa panjang ini merupakan satu
konsep. Konsep ini luar biasa lekatan nilainya (atau full value-nya). Di mana
lekatan nilainya? Sesungguhnya,
kalaupun konsep itu dilonggarkan menjadi, ”pegawai KPK tertentu dengan latar
belakang tertentu”, saja sudah mengandung lekatan nilai. Sebab, kata
”tertentu” yang kedua, yaitu kata ”tertentu” yang menyertai frasa ”Pegawai
KPK tertentu” sudah menunjukkan lekatan nilai, misalnya, skornya rendah,
tidak patuh, membangkang, dan lain-lain. Lekatan nilai ini sudah pasti
menjadi luar biasa jika ditambah dengan frasa ”khususnya mereka yang
terstigma atau terlabel Taliban”. Dengan
demikian secara argumentum a contrario, masih dalam lingkup logika, siapa pun
pegawai KPK yang ikut TWK, sepanjang ia atau mereka terstigma Taliban, maka
ia atau mereka tidak akan lulus. Bagaimana mungkin Komnas HAM akan bisa
membuktikan lekatan-lekatan nilai itu, agar konsep yang dibangunnya bebas
nilai, sehingga kesimpulannya mempunyai derajat kebenaran filsafati? Terstigma
taliban (saya tulis tanpa huruf kapital karena maksudnya sebagai kata sifat
atau ajektif) berarti bukan Taliban, melainkan mempunyai sifat seperti
Taliban. Sifat Taliban (orang Taliban atau kelompok Taliban) sudah pasti amat
beragam, ada yang baik, dan pasti ada yang buruk. Atas fakta yang seperti apa
atau atas fakta yang bagaimana Komnas HAM bisa membuat konsep pegawai KPK
yang terstigma Taliban. Dengan
cara bagaimana Komnas HAM bisa menghilangkan lekatan nilai ”terstigma
Taliban”. Rasanya stigma itu dilekatkan dengan personal opinion. Kembali ke
awal tulisan ini, derajat ilmiah apalagi kebenaran filsafati tidak mungkin
diraih jika konsep-konsep yang dijadikan dasar pembentukan proposisi itu
penuh nilai atau full value. Tes wawasan kebangsaan Sebuah
tes, termasuk TWK, tentu tidak fair jika substansinya dipersoalkan oleh
peserta tes yang tidak lulus tes tersebut. Betapapun, perancang sebuah tes,
pasti memasukkan mekanisme untuk memperoleh subyek (orang) dengan kualifikasi
tertentu sesuai dengan kebutuhan. Rancangan
tes yang demikian itu, pasti ada yang obyektif, dan pasti ada yang subyektif.
Keobyektifan diperlukan, tetapi kesubyektifan juga harus diakui.
Alasan-alasan kesubyektifan sebuah tes harus diakui karena kepentingan
seseorang atau lembaga yang menyelenggarakan tes tidak semua bisa
diobyektifkan. Contoh,
sebuah perusahaan film memerlukan seorang artis untuk memerankan tokoh cerita
yang sudah dirancang sebelumnya. Serangkaian tes diadakan oleh perusahaan
film tersebut. Artis yang ikut tes banyak. Akhirnya peserta tes tiggal dua
artis, misalnya Syahrini dan Luna Maya. Seluruh syarat obyektif dipenuhi oleh
dua artis ini. Direksi perusahaan film itu ingat bahwa misalnya ia pernah
berjabat tangan dengan Luna Maya, ibu Luna Maya satu desa dengan ibunya, dan
lain-lain hal yang bersifat subyektif. Akhirnya pilihan jatuh ke Luna Maya.
Bagaimana mungkin tes itu dikatakan sebagai sarana menyingkirkan Syahrini. Karena
sebuah tes, termasuk TWK ada unsur-unsur subyektif, dan hal ini diakui, maka
sesungguhnya tidak ada pranatanya orang-orang yang tidak lulus tes protes
atas ketidaklulusannya. Kesimpulan sebagai proposisi ”Proses
alih status pegawai KPK menjadi ASN melalui asesmen TWK hingga pelantikan
pada 1 Juni 2021 diduga kuat sebagai bentuk penyingkiran terhadap pegawai KPK
tertentu dengan latar belakang tertentu, khususnya mereka yang terstigma atau
terlabel Taliban” adalah salah satu kesimpulan Komnas HAM. Kesimpulan ini
menurut logika merupakan proposisi. Sebelumnya
sudah dibahas bahwa kesimpulan Komnas HAM tersebut terdiri atas tiga konsep.
Dua dari tiga konsep yang dijadikan dasar pembentukan kesimpulan sebagai
proposisi tersebut penuh nilai bahkan ada yang luar biasa penuh nilai.
Proposisi yang dibentuk berdasarkan konsep yang penuh nilai tidak pernah bisa
mempunyai derajat ilmiah yang berujung pada kebenaran filsafati. Dengan
demikian, kesimpulan nomor 1 yang disampaikan oleh Komnas HAM dalam siaran
pers tanggal 16 Oktober (Agustus, red.)
2021 tersebut tidak mempunyai derajat kebenaran filsafati karena dua dari
tiga konsep pembentuknya penuh nilai. Sebagai
tindak lanjut dari kesimpulan tersebut Komnas HAM memberikan rekomendasi,
yang salah satunya adalah ”Memulihkan status pegawai KPK yang dinyatakan
tidak memenuhi syarat untuk dapat diangkat menjadi ASN KPK, yang dapat
dimaknai sebagai bagian dari upaya menindaklanjuti arahan Presiden yang
sebelumnya telah disampaikan kepada publik. Hal mana sejalan dengan putusan
MK Nomor 70/PUU-XVII?2019 dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa
pengalihan status pegawai KPK tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk
diangkat menjadi ASN”. Ada
lompatan logika dalam rekomendasi tersebut. Ilustrasi berikut ini akan
membuktikan proposisi saya tersebut. (a) Setiap orang yang mencuri dipidana
(premis mayor), (b) Burhan mencuri (premis minor), dan kesimpulannya: (c) Burhan
dipidana. Ini adalah silogisme yang sejak ribuan tahun lalu diakui sebagai
dasar penting penegakan hukum. Prinsipnya penegakan hukum adalah pemberlakuan
silogisme. Sekarang
perhatikan hal berikut ini. (a) Setiap orang yang mencuri dipidana (premis mayor),
(b) Burhan diduga mencuri (bukan premis minor), maka tidak bisa disimpulkan,
(c) Burhan dipidana. Kalau Komnas HAM baru ”menduga”, mengapa rekonendasinya
pemerintah harus memulihkan status pegawai KPK yang dinyatakan tidak memenuhi
syarat. Bagaimana kalau ternyata dugaan Komnas HAM itu salah. Soal
merugikan sebagaimana dikutip dari putusan MK, saya perlu menyampaikan hal
ini. Ada mahasiswa cerdas, rajin kuliah, rajin mengumpulkan tugas, sopan,
agamis, dan ditambah hal-hal positif lainnya. Mahasiswa tersebut lulus dengan
nilai A. Sementara itu ada mahasiswa tidak cerdas, malas kuliah, malas
mengumpulkan tugas, tidak sopan, tidak agamis, ditambah hal-hal negatif
lainnya. Mahasiswa tersebut memperoleh nilai E yang berarti tidak lulus.
Apakah mahasiswa yang disebut terakhir ini dirugikan? Jawabannya pasti tidak. Kalau
untuk diangkat menjadi ASN harus dipenuhi sejumlah syarat, sementara ada
orang yang tidak memenuhi syarat tersebut dan orang tersebut tidak diangkan
menjadi ASN, sudah pasti orang tersebut tidak dirugikan. Ada orang dirugikan
jika seluruh syarat dipenuhi dan orang tersebut tidak diangkan menjadi ASN,
barulah orang tersebut dirugikan. Nah,
betapapun kecil, saya ingin klungsu-klungsu udhu (pepatah bahasa Jawa yang
artinya kecil) mengungkapkan pikiran saya yang dilatarbelakangi filsafat,
sesuatu yang sudah saya dalami sejak puluhan tahun yang lalu. Selamat bekerja
Komnas HAM. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar