Glorifikasi
Menyambut Pembebasan Pelaku Pencabulan Anak Bagong Suyanto ; Dekan FISIP Universitas Airlangga |
MEDIA INDONESIA,
8 September 2021
SESUNGGUHNYA
seorang mantan narapidana memiliki hak untuk melanjutkan kehidupannya setelah
mereka bebas menjalani hukuman. Akan tetapi, dalam kasus Saipul Jamil,
persoalan yang berkembang berbeda. Artis yang dihukum karena melakukan tindak
pencabulan terhadap anak ini, ketika bebas, justru dijemput bak pahlawan,
dikalungi bunga dan diarak para penggemarnya. Tidak sedikit
warga masyarakat yang keberatan terhadap glorifikasi menyambut pembebasan
Saipul Jamil. Kenapa? Karena sebagai mantan terpidana kasus pedofilia,
penyambutan yang meriah pada momen kebebasan Saipul Jamil terkesan berlebihan
serta tidak berempati pada perasaan dan nasib korbannya. Sejumlah
stasiun televisi, yang memanfaatkan kebebasan Saipul Jamil sebagai momen
untuk menarik minat pemirsa sebanyak-banyaknya, tidak luput dari kritik
masyarakat. Ulah media elektronik yang mengundang dan mewawancarai Saipul
Jamil dinilai hanya mengejar rating, tetapi abai terhadap norma kepatutan. Bisa
dibayangkan, apa yang berkecamuk di benak korban ulah Saipul Jamil dan juga
korban kasus pedofilia lain ketika melihat bagaimana seorang pelaku tindak
pencabulan anak dielu-elukan begitu rupa. Glorifikasi penyambutan mantan napi
pedofilia yang berlebihan, bukan saja tidak elok, tetapi juga berisiko
terhadap konstruksi sosial masyarakat akan kasus serupa di kemudian
hari. Idola Sebagai
seorang artis, Saipul Jamil memang memiliki nilai jual. Setelah bebas dari
hukuman penjara, ia justru kebanjiran order untuk tampil di berbagai acara
media elektronik. Tentu, menjadi hak Saipul Jamil menikmati glorifikasi
kebebasannya, sekaligus menjadikan hal itu sebagai pintu untuk masuk kembali
pada dunia hiburan yang membesarkan namanya. Cuma yang
menjadi masalah, apa dampak glorifikasi yang berlebihan dan tidak tepat
sasaran itu bagi kasus pelecehan seksual yang menimpa anak-anak. Kita tahu, pelecehan
seksual adalah tindak kejahatan kemanusiaan yang serius karena dampaknya yang
menimbulkan trauma--semacam luka psikologis--yang tidak pernah selesai
sepanjang hidup korban. Bagi korban
pelecehan seksual, apa yang mereka alami adalah mimpi buruk yang
berkepanjangan. Berbeda dengan pelaku pelecehan yang sering kali bebas
setelah menjalani hukuman, korban pelecehan seksual tak jarang harus
menanggung penderitaan sepanjang hidupnya. Rasa malu, perasaan bahwa dirinya
kotor, dan ketakutan yang mencengkeram pikirannya akan terus menghantui
sampai kapan pun. Di kalangan
masyarakat yang permisif, sebagian masyarakat tanpa sadar biasanya bersikap
mendua. Pada tataran luar, mereka biasanya memang bersimpati pada anak-anak
yang menjadi korban tindak pelecehan seksual. Akan tetapi, di sisi yang lain,
mereka tak jarang juga melupakan tindak kejahatan yang dilakukan pelaku.
Terutama, jika pelaku adalah artis idola mereka. Berbeda dengan
korban yang kehidupan dan masa depannya nyaris terpuruk, pelaku pelecehan
seksual umumnya lebih mudah bangkit dari keterpurukan. Meski mereka disanksi
dan harus mendekam di penjara untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya,
setelah hukuman selesai dijalani mereka biasanya sudah menganggap
persoalannya selesai. Impas. Seolah penderitaan yang ditanggung korban
sebanding dengan penderitaan pelaku selama menjalani kehidupan di balik
kerangkeng penjara. Alih-alih
bertobat, pengalaman telah banyak membuktikan bahwa tidak sekali-dua kali
terjadi pelaku tindak pelecehan seksual yang sudah bebas, dalam tempo singkat
mengulangi kembali perbuatannya. Tindakan masyarakat, yang mengelu-elukan
pelaku karena mereka artis pujaannya, bukan tidak mungkin bisa berdampak
buruk dalam upaya membangun wacana perlindungan bagi korban tindak pelecehan
seksual. Dalam kasus
pelecehan seksual, yang namanya sanksi informal masyarakat sebetulnya akan
berfungsi lebih efektif. Walaupun pelaku sudah menjalani hukuman di penjara,
sanksi informal dari masyarakat niscaya akan bisa menjadi watchdog yang
efektif, mencegah kejadian serupa terulang. Namun, lain soal tatkala media
elektronik memberi perlakuan yang berbeda. Bahkan, seolah pelaku tindak
pelecehan seksual ditempatkan dalam posisi sebagai korban yang patut
dikasihani, atau pahlawan yang baru saja menjalani masa pertapaannya di
penjara. Memastikan Menghapus,
atau sama sekali tidak memberi ruang bagi para mantan narapidana untuk
memperbaiki kehidupannya setelah menjalani hukuman, tentu tidak seyogianya
dilakukan. Memberi kesempatan kedua kepada pelaku tindak kejahatan agar dapat
memperbaiki kehidupannya tidak ada salahnya dicoba. Meski demikian, adalah
tugas masyarakat dan aparat penegak hukum untuk memastikan agar pelaku tindak
pencabulan seksual tidak mengulang kembali kelakuannya. Dengan
membiarkan glorifikasi terhadap pembebasan artis yang merupakan pelaku
pedofilia, salah satu risiko yang mungkin timbul ialah munculnya wacana yang
salah. Penyambutan dan penghormatan yang berlebihan terhadap mantan pelaku
pedofilia bukan tidak mungkin akan melahirkan konstruksi masyarakat yang
keliru tentang bahaya tindak pelecehan seksual dan bagaimana kita seharusnya
memperlakukan pelaku pedofilia. Pada masa
pascabebas dari hukuman penjara, tentu masih harus diuji oleh waktu, apakah
pelaku pedofilia benar-benar bertobat, ataukah akan kembali terperosok dalam
lubang yang sama. Untuk memastikan agar pelaku pedofilia menempuh rute hidup
yang diharapkan dan tidak kembali membahayakan masyarakat, dua hal penting
yang perlu digarisbawahi adalah: Pertama,
memastikan agar media elektronik dan media massa pada umumnya bersedia
berempati kepada para korban tindak pelecehan seksual. Lebih dari sekadar
peristiwa hukum, pedofilia adalah tindak kejahatan yang melukai dan bahkan
sering kali membunuh masa depan korban beserta keluarganya. Bagaimana cara
media memperlakukan pelaku dan menghormati korban tindak pelecehan seksual
seyogianya menjadi sesuatu hal yang dikaji dengan mendalam. Tentu tidak elok
jika media terjebak pada kapitalisme dan komersialisasi yang hanya mengejar
pemasukan serta rating, tetapi lupa pada tanggung jawab moral untuk mendidik
masyarakat. Kedua,
memastikan agar masyarakat tidak terpengaruh atau larut dalam glorifikasi
yang dikembangkan media elektronik. Terlepas bahwa media selalu berpatokan
pada prinsip ‘berita atau kejadian buruk adalah berita yang bagus’, sebagai
pengonsumsi informasi masyarakat harus memiliki kedewasaan dalam menyikapi
pemberitaan media. Cara yang
paling mudah ialah matikan televisi dan jangan ikut melihat tayangan yang
tidak bermutu. Akan tetapi, anjuran seperti ini sering kali tidak mudah
diikuti karena godaan untuk mengikuti pemberitaan selebritas dan infotainment
umumnya sangat besar. Masyarakat perlu menakar ulang dan menjadi pengingat
anggota keluarga yang lain agar satu sama lain bisa saling mengontrol jika
ada yang keliru. Mengonsumsi
berita dan rupa-rupa informasi tentang selebritas memang selalu menarik
perhatian. Meski demikian, bersikap empati terhadap korban tindak pelecehan
seksual dan tidak melakukan hal-hal yang kontraproduktif tentu menjadi
tanggung jawab pemirsa media. Dengan memperhatikan kedua hal di atas, saya
yakin glorifikasi seperti dalam kasus Saipul Jamil akan dapat diredam dengan
sendirinya. Semoga. ● |
Sumber : https://mediaindonesia.com/opini/431089/glorifikasi-menyambut-pembebasan-pelaku-pencabulan-anak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar