Bapanas
dan Kebijakan Perberasan Khudori ; Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia
(AEPI) dan Komite Pendayagunaan Pertanian (KPP) |
REPUBLIKA, 13 September 2021
Presiden Jokowi mengeluarkan
Peraturan Presiden No 66 Tahun 2021 tentang Badan Pangan Nasional (Bapanas).
Bapanas merupakan amanah UU Pangan No 18 Tahun 2012, yang harus dibentuk
paling telat 17 November 2015. Meski telat, harapan
ditumpukan pada institusi baru ini. Pertama, perpres mendesain Bapanas
lembaga superbodi: mengurus pangan hulu-hilir dari ketersediaan, stabilisasi
pasokan dan harga, penganekaragaman konsumsi, kerawanan pangan dan gizi,
serta keamanan pangan. Kedua, Bapanas punya tiga
tugas strategis: melakukan koordinasi, perumusan, dan penetapan kebijakan
pangan; koordinasi pelaksanaan kebijakan pangan; dan pengadaan, pengelolaan,
dan penyaluran cadangan pangan melalui BUMN bidang pangan. Ada sembilan komoditas
yang diurus, yakni beras, jagung, kedelai, gula konsumsi, bawang, daging
ruminansia, daging unggas, telur unggas, dan cabai. Daftar bisa berubah
sesuai situasi. Ketiga, Bapanas menerima
pengalihan wewenang dan kuasa urusan pangan dari Kementan, Kemendag, dan
Kementerian BUMN. Ini menyangkut kebijakan
stabilisasi harga dan distribusi pangan, ekspor-impor pangan, jumlah cadangan
pangan pemerintah yang dikelola BUMN pangan, penetapan harga pembelian
pemerintah dan rafaksi harga, dan penugasan ke Bulog. Diakui atau tidak, urusan
yang dialihkan itu selama ini menjadi biang keributan antarkementerian,
karena ego sektoral atau melindungi pemburu renten. Salah satu contoh yang
baik adalah kebijakan di beras. Sejak 2017, pemerintah
mengubah kebijakan subsidi pangan dari
beras sejahtera (Rastra, dulu bernama Raskin) jadi bantuan pangan nontunai
(BPNT) atau Program Sembako. Semula terintegrasi hulu-tengah-hilir, menjadi
terfragmentasi. Di hilir, Kementan
mewajibkan Bulog menyerap gabah/beras petani sesuai harga pembelian
pemerintah (HPP). Di tengah, Bulog mengelola dan mendistribusikan beras ke
seluruh wilayah RI. Di hilir, Bulog
menyalurkan beras untuk korban bencana, bantuan pangan, dan operasi pasar. Di
luar itu, tatkala masih ada Raskin/Rastra, Bulog bisa menyalurkan hampir 3
juta ton beras per tahun buat pasar tertawan: 15,5 juta keluarga. Setelah berubah jadi
Program Sembako, keluarga sasaran tak lagi menerima beras Bulog, tapi uang
transferan setiap bulan Rp 200 ribu. Uang hanya bisa dibelanjakan kebutuhan
pokok, salah satunya beras, di outlet yang ditunjuk. Dibandingkan Rastra,
Program Sembako lebih tepat administrasi, sasaran, dan waktu. Skema ini juga
tidak mendistorsi pasar gabah/beras dan rumah tangga miskin/rentan tak perlu
menyediakan Rp 1.600/kg beras untuk menebus seperti pada Rastra. Dana APBD pendamping dari
kabupaten/kota seperti saat Rastra dapat direalokasikan untuk yang lain. Itu
pelbagai keuntungan perubahan ini. Masalahnya, seiring
perubahan itu, penyaluran beras Bulog di hilir anjlok drastis, dari rata-rata
2,825 juta ton periode 2014-2017, tinggal 351 ribu ton pada 2019, dan habis
pada 2020. Sebagai pengganti outlet
penyaluran yang hilang, pemerintah menyediakan opsi operasi pasar yang
disebut ketersediaan pasokan dan stabilisasi harga (KPSH). Agar volumenya
besar, operasi pasar digelar sepanjang tahun. Selain menyalahi prinsip
dasar operasi pasar, langkah ini membuat subsidi terarah menjadi tercemar
subsidi umum. Lebih dari itu, cara ini juga akan membuat salah urus
perberasan nasional makin akut. Seperti diatur di Inpres 5
Tahun 2015, Perpres 48 Tahun 2016, dan PP 13 Tahun 2016, kebijakan perberasan
masih terintegrasi, tetapi implementasinya terbuka di hilir. Maka itu, kala
tak ada lagi penyaluran beras di hilir, tak relevan mengharuskan Bulog
menyerap gabah/beras petani di hulu. Seiring hilangnya outlet
penyaluran pasti itu, manajemen Bulog mengerem penyerapan domestik. Periode
2010-2016, rerata penyerapan beras 2,4 juta ton/tahun, tapi dua tahun
terakhir (2019-2020) hanya 1,2 juta ton. Tahun ini bisa jadi lebih kecil
lagi. Penyerapan gabah/beras
yang mengecil membuat petani tak terlindungi. Buktinya, sepanjang
Januari-Agustus 2021, harga gabah di petani dan penggilingan jatuh di bawah
HPP. Kasus bulanan antara 5,29-46,66 persen di petani, di penggilingan
5,43-44,68 persen. Umumnya, harga gabah jatuh
di bawah HPP saat panen raya (Februari-Mei). Persentasenya pun kecil. Pada
2016-2019, persentase kejatuhan tertinggi hanya 11 persen. Harga gabah jatuh
saat panen gadu yang mulai Juni amat langka. Rupanya, kasus harga gabah
jatuh di petani sudah masif terjadi sejak 2020: berlangsung sembilan bulan.
Tahun-tahun sebelumnya tiga hingga lima bulan per tahun. Perubahan drastis
kebijakan perberasan membuat kebijakan jadi fragmentaris. Petani menjadi
pihak paling dirugikan. Saat ini, selain daya beli
terpukul pandemi, beleid harga eceran tertinggi beras membuat pasar lesu.
Penggilingan/pedagang mengerem penyerapan karena merosotnya insentif giling
gabah, menyetok beras, dan mendistribusikannya, pasar beras kian lunglai. Bulog, pihak terakhir yang
bisa menggairahkan pasar justru mengerem penyerapan. Ada kebutuhan mendesak
mereformulasi kebijakan perberasan agar beleid yang fragmentaris kembali
terintegrasi. Tangan dingin Bapanas amat ditunggu. ● Sumber : https://www.republika.id/posts/20226/bapanas-dan-kebijakan-perberasan |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar