Senin, 02 Agustus 2021

 

Revolusi Mahasiswa Setelah Lebih dari 30 Tahun

Bre Redana ;  Penulis Kolom “UDAR RASA” Kompas Minggu

KOMPAS, 1 Agustus 2021

 

 

                                                           

Keadaan benar-benar kelam. Kehilangan orang-orang tercinta disertai perasaan ngenes, nelangsa, tidak bisa merawat, mengantar, mengupacarakan secara selayaknya. Apa boleh buat. Agar diri tetap tegak, terpaksa belajar mensyukuri apa yang masih dimiliki, bukan meratapi apa saja yang telah tumbang.

 

Dalam keberuntungan yang masih tersisa, sejatinya enggan mengekspresikan hal lain kecuali syukur. Ingat ungkapan Fitzgerald dalam Gatsby: ”Nak, saat kau ingin mengkritik seseorang, ingatlah bahwa seluruh manusia di bumi belum punya keberuntungan seperti yang engkau miliki.”

 

Sayang dorongan menggugat tak bisa dikekang ketika dalam masa melulu di rumah ini saya menonton musikal klasik Les Miserables. Sebuah saluran hiburan beberapa kali menayangkan ulang versi panggung memperingati ulang tahun ke-34 pada 2019 musikal karya Victor Hugo tersebut.

 

Angka yang tak lazim, tetapi bisa dibayangkan seandainya menunggu tahun ke-35 acara dipastikan batal diselenggarakan. Pada 2020, dunia masuk masa suram, kesripahan.

 

Sebenarnya saya pernah nonton Les Miserables di Broadway, New York, puluhan tahun silam. Begitulah sifat karya klasik, beda dibandingkan dengan sinetron kesukaan pejabat kita. Menontonnya ulang (dan berulang-ulang) selalu mendapatkan sesuatu yang berbeda.

 

Kali ini yang menyentuh saya adalah kebimbangan hukum di tengah rasa kemanusiaan dan balas budi.

 

Jean Valjean kabur dari penjara Perancis. Ia ditampung seorang pastor. Di situ ia malah mencuri benda berharga terbuat dari perak.

 

Seorang polisi/penegak hukum yang zakelijk, keras, kaku, bernama Javert memergokinya, tapi sang pastor melindungi bahwa perak itu bukan dicuri, melainkan ia berikan. Selamatlah Valjean dari jerat hukum.

 

Selanjutnya Valjean pindah ke kota kecil, ganti nama jadi Madeleine, merintis sebuah usaha, sukses, kaya raya, kemudian jadi wali kota.

 

Di sini lagi-lagi insiden terjadi. Seorang pelacur merana hidupnya, terpisah dari putri kecilnya. Ia juga terancam dipenjara. Tergerak oleh bela rasa kemanusiaan, di sisi ranjang si pelacur yang menghadapi sakratul maut, Madeleine berjanji akan melindungi dan membesarkan putrinya.

 

Persis saat itu penegak hukum muncul. Ia adalah orang yang sama: Javert. Kepada Javert, Madeleine mengaku terus terang bahwa dia adalah Valjean yang dulu mencuri perak. Kali ini ia hanya ingin diberi kesempatan untuk menyelamatkan si dara kecil. Mungkin juga tergerak oleh rasa kemanusiaan, Javert membiarkannya kabur.

 

Waktu berlalu. Perancis dilanda gelombang demonstrasi. Dipelopori mahasiswa, rakyat melawan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan penguasa. Dalam situasi membara mahasiswa menangkap Javert—personifikasi kekuasaan sepanjang pertunjukan. Mahasiswa menyerahkan Javert kepada Valjean untuk dihabisi.

 

Bagaimana Valjean melakukannya?

 

Mengingat Javert pernah menyelamatkan hidupnya, Valjean pura-pura mengeksekusi, tetapi diam-diam menyuruh Javert lari.

 

Dalam revolusi yang tak kunjung usai, nantinya Javert berhadap-hadapan lagi dengan Valjean yang tengah menyelamatkan nyawa mahasiswa dalam bentrokan dengan penguasa.

 

Apakah dengan dalil penegakan hukum kali ini ia harus mengeksekusi Valjean yang telah menjadi bagian dari pemberontakan?

 

Javert merasa terbelah, tercabik antara tanggung jawab profesi, hukum yang tak pandang bulu, dan sikap kemanusiaan terhadap orang yang pernah menyelamatkan nyawanya.

 

Hukum jadi bimbang. Di panggung menggema nyanyian: ”Do you hear the people sing?” Adakah kalian mendengar rakyat menyanyi?

 

Ya, adakah penguasa mendengar suara rakyat.

 

Seperti saya katakan di atas, karya klasik selalu memberikan tafsir ulang setiap kali menontonnya kembali. Saya membandingkan dengan di sini, yang dalam pandangan saya hukum sepertinya tak punya kebimbangan sejauh menguntungkan penguasa. Bahkan, aturan diubah-ubah sesuai kepentingan dan selera penguasa. Koruptor dimanja, rakyat dikadali.

 

Gerakan mahasiswa dalam Les Miserables juga salah satu yang saya sukai. Pengin kuliah lagi kalau punya rezeki di negara di mana universitas tidak dianggap bengkel.

 

Membayangkan elan kemahasiswaan senantiasa membuat saya merasa muda, lengkap dengan paketnya: kegelisahan, keresahan, keengganan terhadap kemapanan.

 

Dalam mimpi dan bayangan itu, saya melihat negeri yang kian konservatif, normatif, menyukai establishment, cinta buta terhadap agama, dan banyak anak muda menjadi tua sebelum waktunya. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar