Revolusi
Mahasiswa Setelah Lebih dari 30 Tahun Bre Redana ; Penulis Kolom “UDAR RASA” Kompas Minggu |
KOMPAS, 1 Agustus 2021
Keadaan
benar-benar kelam. Kehilangan orang-orang tercinta disertai perasaan ngenes, nelangsa, tidak bisa merawat,
mengantar, mengupacarakan secara selayaknya. Apa boleh buat. Agar diri tetap
tegak, terpaksa belajar mensyukuri apa yang masih dimiliki, bukan meratapi
apa saja yang telah tumbang. Dalam
keberuntungan yang masih tersisa, sejatinya enggan mengekspresikan hal lain
kecuali syukur. Ingat ungkapan Fitzgerald dalam Gatsby: ”Nak, saat kau ingin
mengkritik seseorang, ingatlah bahwa seluruh manusia di bumi belum punya
keberuntungan seperti yang engkau miliki.” Sayang
dorongan menggugat tak bisa dikekang ketika dalam masa melulu di rumah ini
saya menonton musikal klasik Les
Miserables. Sebuah saluran hiburan beberapa kali menayangkan ulang versi panggung
memperingati ulang tahun ke-34 pada 2019 musikal karya Victor Hugo tersebut. Angka
yang tak lazim, tetapi bisa dibayangkan seandainya menunggu tahun ke-35 acara
dipastikan batal diselenggarakan. Pada 2020, dunia masuk masa suram,
kesripahan. Sebenarnya
saya pernah nonton Les Miserables di Broadway, New York, puluhan tahun silam.
Begitulah sifat karya klasik, beda dibandingkan dengan sinetron kesukaan
pejabat kita. Menontonnya ulang (dan berulang-ulang) selalu mendapatkan
sesuatu yang berbeda. Kali
ini yang menyentuh saya adalah kebimbangan hukum di tengah rasa kemanusiaan
dan balas budi. Jean
Valjean kabur dari penjara Perancis. Ia ditampung seorang pastor. Di situ ia
malah mencuri benda berharga terbuat dari perak. Seorang
polisi/penegak hukum yang zakelijk, keras, kaku, bernama Javert memergokinya,
tapi sang pastor melindungi bahwa perak itu bukan dicuri, melainkan ia
berikan. Selamatlah Valjean dari jerat hukum. Selanjutnya
Valjean pindah ke kota kecil, ganti nama jadi Madeleine, merintis sebuah
usaha, sukses, kaya raya, kemudian jadi wali kota. Di
sini lagi-lagi insiden terjadi. Seorang pelacur merana hidupnya, terpisah
dari putri kecilnya. Ia juga terancam dipenjara. Tergerak oleh bela rasa
kemanusiaan, di sisi ranjang si pelacur yang menghadapi sakratul maut,
Madeleine berjanji akan melindungi dan membesarkan putrinya. Persis
saat itu penegak hukum muncul. Ia adalah orang yang sama: Javert. Kepada
Javert, Madeleine mengaku terus terang bahwa dia adalah Valjean yang dulu
mencuri perak. Kali ini ia hanya ingin diberi kesempatan untuk menyelamatkan
si dara kecil. Mungkin juga tergerak oleh rasa kemanusiaan, Javert
membiarkannya kabur. Waktu
berlalu. Perancis dilanda gelombang demonstrasi. Dipelopori mahasiswa, rakyat
melawan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan penguasa. Dalam situasi membara
mahasiswa menangkap Javert—personifikasi kekuasaan sepanjang pertunjukan.
Mahasiswa menyerahkan Javert kepada Valjean untuk dihabisi. Bagaimana
Valjean melakukannya? Mengingat
Javert pernah menyelamatkan hidupnya, Valjean pura-pura mengeksekusi, tetapi
diam-diam menyuruh Javert lari. Dalam
revolusi yang tak kunjung usai, nantinya Javert berhadap-hadapan lagi dengan
Valjean yang tengah menyelamatkan nyawa mahasiswa dalam bentrokan dengan
penguasa. Apakah
dengan dalil penegakan hukum kali ini ia harus mengeksekusi Valjean yang
telah menjadi bagian dari pemberontakan? Javert
merasa terbelah, tercabik antara tanggung jawab profesi, hukum yang tak
pandang bulu, dan sikap kemanusiaan terhadap orang yang pernah menyelamatkan
nyawanya. Hukum
jadi bimbang. Di panggung menggema nyanyian: ”Do you hear the people sing?” Adakah kalian mendengar rakyat
menyanyi? Ya,
adakah penguasa mendengar suara rakyat. Seperti
saya katakan di atas, karya klasik selalu memberikan tafsir ulang setiap kali
menontonnya kembali. Saya membandingkan dengan di sini, yang dalam pandangan
saya hukum sepertinya tak punya kebimbangan sejauh menguntungkan penguasa.
Bahkan, aturan diubah-ubah sesuai kepentingan dan selera penguasa. Koruptor
dimanja, rakyat dikadali. Gerakan
mahasiswa dalam Les Miserables juga
salah satu yang saya sukai. Pengin kuliah lagi kalau punya rezeki di negara
di mana universitas tidak dianggap bengkel. Membayangkan
elan kemahasiswaan senantiasa membuat saya merasa muda, lengkap dengan
paketnya: kegelisahan, keresahan, keengganan terhadap kemapanan. Dalam
mimpi dan bayangan itu, saya melihat negeri yang kian konservatif, normatif,
menyukai establishment, cinta buta
terhadap agama, dan banyak anak muda menjadi tua sebelum waktunya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar