Minggu, 08 Agustus 2021

 

Revolusi Kultural Pancasila

Lukas Luwarso ;  Jurnalis Senior, Kolumnis

WATYUTINK, 6 Agustus 2021

 

 

                                                           

Pejabat dan pegawai Perguruan Tinggi Negeri (PTN) Indonesia diminta untuk membaca Pancasila setiap Rabu dan Jumat pukul 10.00 pagi. Permintaan ini tertuang dalam Surat Edaran “Pelaksanaan Apel Pagi bagi Pegawai di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek),” pada 21 Juli 2021.

 

Surat edaran untuk PTN itu adalah konsekuensi surat “Imbauan Apel Pagi Pancasila” Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, dikeluarkan 14 Juni 2021. Apel Pagi Pancasila perlu rutin diadakan untuk: (1) meningkatkan rasa kebangsaan dan cinta tanah air, (2) pengabdian pada negara dan rakyat, (3) ketaatan pada Pancasila dan UUD 45. Imbauan ini berlaku untuk seluruh Aparatur Sipil Negara, tak terkecuali pegawai PTN.

 

Ritual Apel Pagi Pancasila setiap Rabu dan Jumat itu melengkapi kegiatan apel pagi setiap Senin yang sudah berjalan bertahun-tahun. Ini masih belum cukup. Surat Edaran Kemendikbudristek juga meminta pegawai PTN mendengarkan lagu Indonesia Raya setiap Selasa dan Kamis.

 

Praktis, Senin sampai Jumat, setiap pagi, pegawai PTN akan sibuk dengan urusan upacara pagi melafalkan Pancasila atau mendendangkan Indonesia Raya. Kegiatan simbolik “cinta bangsa” ini berlaku saat bekerja di kantor atau di rumah, secara luring atau daring. Ada apa dengan aparatur sipil negara (ASN), sehingga perlu diberi tambahan aktivitas rutin pagi hari bernuansa ideologis seperti ini?

 

Ritual Apel Pagi Pancasila, mau tak mau, mengingatkan “revolusi kebudayaan” di China yang diberlakukan pada 1966 -1976 oleh Mao Zedong. Partai Komunis China saat itu merasa perlu membentengi masyarakat dari ancaman elemen “borjuis-kapitalis” dan “tradisionalis”. Antara lain dengan membaca dan menghafal tulisan dan pemikiran Mao Zedong.

 

Revolusi Kebudayaan China digelar oleh pemerintahan Partai Komunis China sebagai dalih atas kegagalan program “Great Leap Forward”, lompatan besar ke depan. Program pembangunan lima tahunan pemerintah China itu gagal, dan justru menjadi penyebab kelaparan masal (dijuluki “Great Chinese Famine”). Tentu agak jauh menganalogikan kegiatan Apel Pagi Pancasila Indonesia dengan Revolusi Kebudayaan China. Namun ada sedikit kesamaannya, dalam hal terobsesi dengan upaya indoktrinasi ideologi negara.

 

Revolusi Kebudayaan China era 1960-an masih bisa dipahami, karena saat itu perang ideologi memang nyata. Namun di abad-21 cukup menggelikan rasanya upaya program indoktriner terkait ideologi negara masih diterapkan. Era konflik ideologi dianggap telah lewat. Khususnya ideologi-ideologi “besar” yang pernah diyakini mampu membawa kemaslahatan manusia.

 

Daniel Bell, pada 1960, menyatakan ideologi “telah mati” melalui buku The End of Ideology: On the Exhaustion of Political Ideas in the Fifties. Menurutnya ideologi politik berbasis pemikiran era 1800-an, telah ketinggalan zaman, kadaluarsa. Karena tata politik lebih didorong oleh kemajuan ilmu dan teknologi, ketimbang mazhab berpikir ideologis yang kaku dan kerap manipulatif. Retorika ideologi terbukti sering tak bermakna, selain hanya menjadi slogan atau  semboyan. Ideologi terbukti mudah disalahgunakan untuk vested interest politik.

 

Pemerintahan yang sibuk dengan urusan “ideologi” lazimnya adalah negara otoriter. Indonesia pernah mengalami di era Orde Baru Soeharto, melalui program penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Program karikatural penataran P4 terbukti hanya menjadi dalih praktik korupsi, kolusi dan nepotisme Orba.

 

Pancasila beberapa tahun terakhir terkesan mulai menjadi semacam “obyek fetishisme”. Kecenderungan ini mulai muncul ketika pemerintah mendirikan lembaga Unit Kerja Presiden - Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP - Pancasila) yang kemudian diperluas menjadi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Pancasila dipuja, disanjung, dan digandrungi secara berlebihan menjadi ornamen simbolik kebangsaan dan kenegaraan. Pancasila menjadi obyek, seperti jimat atau mantra.

 

Hafal sila-sila Pancasila dan mampu melafalkan dengan baik adalah prasyarat penting bagi yang ingin disebut “Pancasilais.” Sebagaimana jimat atau mantra, jika tidak dihafal dan dilafalkan dengan benar, maka keampuhannya akan hilang. Negara Orde Baru adalah contoh karikatural upaya menghayati mantra Pancasila secara banal, melalui ritual indoktrinasi penataran P4 dan sejenisnya.

 

Sikap superficial tidak terhindari jika perspektif dalam memahami Pancasila bersifat fetishisme ideologi. Keyakinan ideologi, sebagai konsep abstrak dan utopian, hanya relevan jika rumusannya diterapkan dengan serius dalam sistem penyelenggaraan kenegaraan. Bukan cuma dipakai sekadar sebagai mantra, atau digembar-gemborkan dalam pidato dan sambutan. Termasuk ide jenius membuat Apel Pagi  sebagai ritual kegiatan pegawai negeri.

 

Upaya internalisasi ideologi Pancasila yang bersifat doktriner, sebagai program untuk mem-Pancasilakan rakyat (atau pegawai) akan selalu terlihat karikatural. Negara, cukup memastikan Pancasila benar-benar menjadi pedoman bagi seluruh kebijakan undang-undang, peraturan, dan praktik kepengelolaan negara yang dilaksanakan oleh eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Menjadikan ideologi Pancasila relevan dalam masyarakat sebagai rujukan atau pedoman aparat negara dalam menyelesaikan persoalan gesekan politik, sosial, ekonomi, atau keagamaan dalam masyarakat.

 

Alih-alih menggelar apel pagi untuk ASN, revolusi kultural Pancasila, jika memang dianggap perlu, perlu diterapkan dalam policy pemerintah dan peraturan negara. Prioritas “apel pagi” perlu ditujukan kepada para politikus dan pejabat pengambil keputusan. Karena merekalah yang pertama-tema perlu lebih direvolusionerkan pemahaman dan penghayatannya pada Pancasila.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar