REFLEKSI HUT KEMERDEKAAN RI KE-76
Membangun
Industri Dalam Negeri yang Mandiri, Berdaulat, Maju, Berkeadilan dan Inklusif Agus Gumiwang Kartasasmita ; Menteri Perindustrian RI |
DETIKNEWS, 17
Agustus 2021
Proklamasi
Kemerdekaan RI pada 76 tahun lalu merangkum aspirasi dan kehendak rakyat
Indonesia untuk menjadi bangsa yang berdaulat, mandiri, maju, dan berkeadilan
sosial. Nilai kemandirian, kedaulatan, kemajuan, dan keadilan sosial ini
sudah seharusnya selalu kita tanamkan dan lestarikan sebagai ruh, paradigma,
dan mainstream - dalam setiap upaya pembangunan di berbagai sektor, termasuk
pembangunan sektor industri manufaktur. Dalam konteks
pembangunan sektor industri manufaktur, "Mandiri" berarti
keberlangsungan industri manufaktur dalam negeri tidak boleh tergantung pada
sumber daya luar negeri. "Berdaulat" dapat dimaknai bahwa
produk-produk industri manufaktur dalam negeri mesti menjadi 'tuan' di negeri
sendiri serta dipakai oleh dan menjadi kebanggaan anak bangsa.
"Maju" artinya industri manufaktur dalam negeri memiliki daya saing
global dan menguasai pasar internasional. "Berkeadilan dan
Inklusif" memiliki makna bahwa pembangunan industri manufaktur harus
merata di seluruh wilayah atau daerah dan memberikan manfaat bagi seluruh
masyarakat hingga lapisan terbawah. Sejarah Industrialisasi di Indonesia Pembangunan
industri manufaktur dapat dikatakan diawali di zaman Orde Lama dengan
kebijakan nasionalisasi atau pengalihan kepemilikan atas perusahaan
peninggalan Belanda. Namun, secara umum pembangunan industri sulit berkembang
karena pemerintah fokus pada upaya-upaya membangun stabilitas politik.
Kondisi keuangan negara dan keterbatasan sumber daya manusia ahli dan
terampil juga turut berkontribusi terhadap terhambatnya pembangunan industri
manufaktur. Dengan kondisi tersebut, industri manufaktur pada zaman Orde Lama
secara keseluruhan memberikan sumbangan yang tidak terlalu signifikan dalam
perekonomian nasional. Kontribusinya terhadap PDB hanya berkisar di angka 8%.
Meski demikian, beberapa industri strategis berhasil dibangun antara lain PT.
Pupuk Sriwijaya yang kini menjadi perusahaan induk PT. Pupuk Indonesia
(Persero) dan PT. Semen Gresik kini menjadi perusahaan induk bagi PT. Semen
Indonesia (Persero) Tbk. Pembangunan
sektor industri manufaktur mulai berkembang pada zaman Orde Baru. Di masa
awal, industrialisasi difokuskan pada substitusi impor kebutuhan pokok,
khususnya pangan, sandang, dan papan, dan mendukung pembangunan sektor pertanian.
Pada era 1980-an kontribusi sektor industri manufaktur terhadap PDB masih
berada di angka 12,4 persen, lebih rendah dari kontribusi sektor pertambangan
dan sektor pertanian sebesar 23 persen dan 22 persen. Peristiwa oil booming
-di mana harga minyak melonjak tinggi akibat embargo minyak oleh
negara-negara Arab- menjadi momentum bagi pemerintah Orde Baru untuk
melakukan industrialisasi secara lebih ekspansif. Hasilnya, dalam kurun satu
dekade sumbangan industri manufaktur dalam PDB mencapai 20,3 persen pada
tahun 1994. Ekonomi Indonesia saat itu bahkan menjadi contoh kesuksesan
pembangunan di negara berkembang. Kontribusi industri manufaktur di masa Orde
Baru mencapai puncaknya sebesar 24,3 persen justru pada saat krisis ekonomi
tahun 1997 di mana pertumbuhan industri di tahun tersebut sebenarnya minus 13
persen. Di awal era
orde reformasi, kontribusi industri manufaktur dalam PDB mencapai 25,2 persen
pada tahun 2001. Capaian ini merupakan tertinggi sepanjang sejarah
perkembangan industri manufaktur Indonesia. Tetapi, kontribusi industri pada
tahun-tahun berikutnya cenderung stagnan, lalu perlahan terus menurun. Pada
2008, kontribusi industri manufaktur dalam PDB sempat naik ke 23,81 persen
tetapi dikoreksi menjadi 19,2 persen akibat diberlakukannya sistem akun
nasional yang baru. Tren penurunan kontribusi secara gradual terus
berlangsung hingga menyentuh 17,6 persen di tahun 2019. Penurunan
persentase kontribusi industri manufaktur dalam PDB diyakini dipicu oleh
stagnansi pertumbuhan industri manufaktur yang sebenarnya telah terjadi sejak
tahun 1996 seolah sebagai pertanda dini bagi terjadinya krisis 1997/1998.
Pada 1996 pertumbuhan industri manufaktur anjlok ke angka 6,1 persen dari
posisi 11.6 persen di tahun sebelumnya. Ini kali pertama sejak tahun 1984
pertumbuhan industri menyentuh angka 6 persen. Pada krisis 1997, pertumbuhan
industri pengolahan bahkan minus 13 persen. Semenjak itu, rata-rata
pertumbuhan industri selalu di bawah 6 persen dengan pertumbuhan rata-rata
per lima tahun berkisar di angka 5 persen. Tahun 2019 dan
2020 merupakan tahun penuh tekanan khususnya bagi sektor industri manufaktur.
Berbagai tekanan menyebabkan turunnya pertumbuhan industri manufaktur ke
posisi 4,34 persen di tahun 2019 dan minus 2,52 persen di tahun 2020. Pemicunya
adalah perang dagang antara AS dan Tiongkok dan pandemi Covid-19. Perang
dagang antara AS Tiongkok menciptakan efek berantai di mana setiap negara
meningkatkan proteksi perdagangan sehingga tercipta kembali high cost economy
dalam sistem perdagangan dunia. Di samping itu, sisi supply juga terganggu.
Tiongkok sebagai penguasa pasar ekspor dunia berusaha mencari pasar baru
untuk produk barang dan jasa mereka yang tidak bisa masuk ke AS. Meluapnya
pasokan menekan sektor industri manufaktur di negara-negara berkembang,
termasuk Indonesia. Dari segi keuangan, para investor melakukan aksi wait and
see sehingga berdampak pada ketidakpastian dan kelesuan. Pandemi
Covid-19 memberikan tekanan hebat kepada sektor industri dari dua sisi, sisi
supply dan sisi demand. Sisi supply terganggu akibat terhambatnya rantai
pasok global (supply shock). Sementara sisi demand terganggu utamanya akibat
menurunnya daya beli masyarakat. Banyak industri manufaktur yang memutuskan
mengurangi utilitas bahkan menghentikan produksinya. Pelambatan
pertumbuhan industri manufaktur sebagaimana dipaparkan di atas membuat
beberapa kalangan berpendapat bahwa sedang terjadi -atau setidaknya sudah ada
gejala deindustrialisasi di Indonesia. Nampaknya tidak demikian. Suatu negara
dapat dikatakan mengalami deindustrialisasi manakala terjadi pertumbuhan
negatif secara berturut-turut dalam kurun waktu yang cukup lama. Realitanya,
sektor industri pengolahan di Indonesia selalu menunjukkan pertumbuhan yang
positif dan selalu menjadi motor penggerak perekonomian nasional. Pertumbuhan
negatif hanya terjadi sebanyak dua kali -akibat kejadian luar biasa-, yaitu
minus 11,5 persen akibat dampak krisis 1997 dan minus 2,93 persen pada tahun
2020 akibat dampak pandemi Covid-19. Meski demikian, pada tahun berikutnya
sektor industri pengolahan kembali tumbuh positif. Di Triwulan II Tahun 2021
pertumbuhan industri manufaktur rebound ke level positif di angka 6,91
persen. Di samping itu, angka absolut kontribusi sektor industri pengolahan
dalam PDB secara umum meningkat meski secara persentasenya terhadap PDB
menurun. Ini sejalan dengan kontribusi ekspor sektor industri manufaktur
dalam ekspor nasional dan nilai investasi di sektor industri manufaktur yang
selalu meningkat dari tahun ke tahun. Kontribusi ekspor sektor industri dalam
ekspor nasional pada tahun 2020 tercatat sebesar 80,3 persen, dan pada
Januari-Juni 2021 tercatat sebesar 78,80% yang mendorong surplus neraca
perdagangan Indonesia sebesar US$8,22 miliar. Investasi di sektor industri
pun terhitung terus meningkat naik sejak tahun 2020 dan pada periode
Januari-Juni 2021 kemarin tercatat sebesar Rp. 167,1 triliun atau naik 29
persen dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2019. Masalah Utama dan Upaya Penyelesaian Meski
terbantahkan, kekhawatiran akan terjadinya deindustrialisasi di Indonesia
sepatutnya dijadikan alarm bahwa banyak hal harus dibenahi agar sektor
industri pengolahan mampu berkembang dan berperan secara berkelanjutan bagi
perekonomian nasional. Pengalaman di masa lalu memberikan pelajaran, bahwa
pertumbuhan yang tinggi saja tidak membuat ekonomi menjadi kokoh, tidak
menjadikan industri manufaktur menjadi kuat. Ada unsur yang mesti menjadi
pedoman dalam membangun perekonomian, terlebih khusus industri manufaktur,
yaitu kemandirian. Pertumbuhan ekonomi bersamaan dengan pertumbuhan industri
manufakur yang sangat pesat di masa lalu kerap kali membuat kita lupa bahwa
struktur industri manufaktur Indonesia masih sangat bergantung pada sumber
daya luar (impor). Ini tercermin dari struktur impor Indonesia yang sejak
tahun 1981 hingga kini masih sangat didominasi oleh impor bahan baku dan
penolong dan barang modal. Perkembangan
industri dan peningkatan ekspor tidak akan optimal manfaatnya jika selalu
diikuti dengan meningkatnya impor. Bahkan dalam skala tertentu, peningkatan
impor barang modal serta bahan baku dan bahan penolong justru membuat rapuh
ketahanan industri manufaktur. Manakala harga barang import meningkat, atau
saat pasokan tersendat atau bahkan terhenti akibat suatu peristiwa -seperti
pandemi yang kita alami saat ini-industri manufaktur menjadi limbung dan
bahkan mendekati kematian. Pandemi
Covid-19 membuka mata kita untuk melihat banyak hal. Antara lain masih banyak
celah kosong di sisi supply chain dalam struktur industri manufaktur
Indonesia. Sektor farmasi menjadi contoh aktual. Ketergantungan terhadap
impor bahan baku termasuk jenis obat untuk terapi Covid-19 -ditambah dengan
faktor panic buying oleh masyarakat- membuat obat terapi Covid-19 sempat
menjadi barang langka dan berharga mahal. Kita mesti bersaing dalam impor
bahan baku obat dan obat jadi dengan banyak negara yang sama-sama
membutuhkan. Dengan
keanekaragaman hayati dan sumber daya manusia yang dimiliki, Indonesia
semestinya bisa mengembangkan industri yang kuat di sektor farmasi dan alat
kesehatan. Kita mampu untuk itu. Kita sudah mengembangkan dan memproduksi
beberapa obat modern asli Indonesia (OMAI) yang telah digunakan di beberapa
negara di Eropa. Kita juga sudah mampu membuat ventilator dan generator/
konsentrator oksigen dalam negeri. Prototipenya sudah ada dan kini tengah
menunggu hasil uji klinis untuk bisa diproduksi secara massal. Jika alat-alat
kesehatan tersebut sudah bisa diproduksi, maka kemandirian industri alat
kesehatan dan sektor kesehatan kita akan semakin kuat. Untuk
mengurangi ketergantungan terhadap impor -sekaligus mendorong penguatan
struktur industri manufaktur, Kemenperin telah mengeluarkan kebijakan
Substitusi Impor 35% pada tahun 2022 dengan prioritas pada industri-industri
dengan nilai impor yang besar pada tahun 2019 seperti mesin, kimia, logam,
elektronika, makanan, peralatan listrik, tekstil, kendaraan bermotor, barang
logam, serta karet dan bahan dari karet. Strategi yang ditempuh adalah dengan
menurunkan impor guna merangsang pertumbuhan industri substitusi impor dalam
negeri, peningkatan utilitas industri domestik, dan peningkatan investasi
untuk produksi barang-barang substitusi impor. Strategi lain
adalah optimalisasi peningkatan penggunaan produk dalam negeri melalui
penetapan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) minimal 40 persen. Penetapan
TKDN dimaksudkan untuk mendorong agar semua produk yang dihasilkan industri
dalam negeri dapat diserap dalam proyek pengadaan barang/jasa di dalam
negeri, baik melalui APBN maupun anggaran BUMN/ BUMD. Kebijakan ini merupakan
wujud keberpihakan terhadap produk dalam negeri dan langkah pengawalan
terhadap keberlangsungan industri dalam negeri. Semua negara pasti
menggunakan berbagai instrumen untuk melindungi industrinya, membentengi
sektor produksinya, serta menjaga tenaga kerja dan warganya. Keberpihakan dan
dukungan pengamanan ditujukan untuk memberikan kesempatan bagi industri dalam
negeri untuk berkembang dan meningkatkan daya saing sampai mereka mapan dan
mampu bertarung di persaingan global. Jika tidak, impor semakin akan
merajalela dan industri dalam negeri tidak akan pernah bisa berdaulat di
wilayahnya sendiri. Kemandirian
dan kedaulatan industri dalam negeri juga harus didukung atau ditopang dengan
perubahan mindset dan perilaku. Dari sisi pelaku usaha, mentalitas
"serba instan" dan "tidak mau repot" membuat praktik
impor menjadi budaya ketergantungan dalam praktik pembangunan kita.
Pencerahan dan dorongan perlu diberikan agar ada transformasi pelaku usaha
dari semula pedagang menjadi industrialis, dari berorientasi impor menjadi
berorientasi produksi. Dari sisi masyarakat, dampak globalisasi dan kemajuan
teknologi telah menciptakan budaya konsumtif dan membuka luas akses
masyarakat terhadap produk-produk impor. Edukasi dan pemberdayaan perlu
digalakkan agar tumbuh watak kewirausahaan di tengah masyarakat sehingga
mereka memiliki minat untuk masuk ke sektor industri pengolahan, melalui
kewirausahaan baru atau industri kecil. Di samping itu, edukasi dan kampanye
juga diperkuat untuk menumbuhkan kebanggaan dan kecintaan masyarakat terhadap
produk-produk dalam negeri. Masyarakat mesti disadarkan bahwa mendahulukan
penggunaan produksi dalam negeri adalah perbuatan yang terpuji dan patriotik.
Dalam tujuan itu, pemerintah telah meluncurkan Gerakan Nasional Bangga Buatan
Indonesia. Pendalaman
struktur industri manufaktur Indonesia juga didorong melalui kebijakan
hilirisasi berbasis sektor primer. Hilirisasi juga bermanfaat dalam
meningkatkan nilai tambah terhadap perekonomian, peningkatan investasi dalam
negeri, pembukaan lapangan kerja, penyerapan tenaga kerja, dan pertumbuhan
industri manufaktur dalam negeri. Kita tidak boleh berpuas diri sebagai
eksportir hasil bumi baik dari pertanian maupun pertambangan. Dengan sumber
daya alam yang berlimpah, Indonesia memiliki potensi sangat besar untuk
menjadi negara eksportir berbagai produk berbasis agro, mineral, migas, dan
batubara. Di sektor industri agro, sebagai contoh Indonesia berhasil
melakukan hilirisasi minyak sawit (CPO). Dalam kurun 10 tahun ekspor produk
turunan kelapa sawit meningkat dari 20% pada 2010 ke 80% pada tahun 2020.
Sebagai produsen rumput laut terbesar kedua di dunia, Indonesia dalam empat
tahun terakhir telah berhasil meningkatkan nilai ekspor produk hilir rumput
laut dari USD 45,7 juta di tahun 2007 ke USD 96,2 juta di tahun 2020.
Indonesia juga dikenal sebagai pengolah kakao terbesar ketiga dunia. Dengan
kapasitas terpasang sekitar 800 ribu ton per tahun, ekspor produk olahan
kakao menyentuh angka USD 1,12 milyar pada tahun 2020. Hilirisasi di
sektor industri petrokimia sangat strategis karena menghasilkan bahan baku
primer untuk menopang banyak industri manufaktur penting seperti tekstil,
otomotif, mesin, elektronika, dan konstruksi. Pemerintah saat ini tengah
mengawal beberapa proyek pembangunan industri petrokimia raksasa -salah
satunya di Bintuni, Papua- dengan total nilai investasi sebesar USD 31
miliar. Sementara di
sektor industri mineral logam, saat ini telah terbangun industri stainless
steel terintegrasi dari hulu yang menghasilkan produk turunan nikel dengan
kapasitas 4 juta ton per tahun. Kapasitas produksi ditargetkan pada tahun
2022 mencapai 6 juta ton per tahun. Pemerintah juga telah membangun fasilitas
pengolahan bijih bauksit ke alumina dengan kapasitas produksi 3 juta ton per
tahun. Peningkatan
daya saing global industri di Indonesia merupakan agenda penting yang juga
menjadi perhatian Pemerintah. Laporan Competitiveness Industrial Performance
(CIP) Index Tahun 2020 menunjukkan adanya perbaikan peringkat daya saing manufaktur
Indonesia yang kini di peringkat 39 dunia. Salah satu faktor penting dalam
daya saing industri manufaktur adalah ketersediaan energi. Dengan keragaman
sumber energi yang dimiliki, Indonesia mestinya tidak dihadapkan pada
permasalahan energi. Faktanya, akses industri ke energi yang masih rendah
-akibat minimnya infrastruktur transmisi dan distribusi dan harga energi yang
mahal- masih menjadi faktor penghambat akselerasi industri manufaktur di
Indonesia. Harga rata-rata gas bumi di Indonesia tergolong mahal, berkisar
USD 9-10 per MMBTU. Mengatasi masalah energi ini jelas perlu percepatan
pembangunan infrastruktur dan perbaikan tata niaga yang lebih efisien. Tetapi
membangun infrastruktur butuh waktu dan investasi yang tidak sedikit. Karena
itu, sebagai quick wins pemerintah mengeluarkan kebijakan harga gas bumi
tertentu (HGBT) untuk beberapa sektor industri dengan harga USD 6 per MMBTU.
Tujuh sektor industri telah menerima manfaat dari kebijakan HGBT ini, antara
lain industri pupuk, industri petrokimia, industri oleokimia, industri baja,
industri kaca, industri keramik, dan industri sarung tangan karet. Kebijakan HGBT
telah terbukti meningkatkan kinerja dan daya tahan industri manufaktur
terlebih di masa pandemi. Dampaknya antara lain peningkatan utilisasi di
sektor industri kaca, industri keramik, dan industri baja, peningkatan ekspor
komoditas oleokimia dan produk keramik, dan pengurangan beban subsidi pada
industri pupuk. Kebijakan HGBT juga telah meningkatkan kepercayaan diri
pelaku industri untuk menambah investasi dengan rencana investasi senilai Rp.
191 triliun. Selain itu, di masa pandemi kebijakan ini juga mampu
meminimalisasi pemutusan hubungan kerja. Dengan sekian manfaat nyata
tersebut, penerima manfaat kebijakan HGBT rencananya akan diperluas ke 13
sektor industri lain. Asas dalam penyediaan energi bagi industri adalah asas
keadilan dengan prinsip no one left behind, sehingga dengan demikian semua
sektor industri tak terkecuali harus mendapatkan manfaat yang sama dari
kebijakan HGBT. Faktor daya
saing lain yang sangat penting adalah kualitas sumber daya manusia industri.
Dalam menyiapkan SDM industri yang terampil dan berkualitas, Kemenperin
secara konsisten menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan vokasi yang
terintegrasi dengan dunia industri. Seluruh atau 100 persen lulusan
pendidikan vokasi Kemenperin diserap oleh industri atau menjadi wirausahawan
sehingga patut menjadi role model bagi pengembangan pendidikan vokasi secara
keseluruhan di Indonesia. Pada Ratas 04 Agustus 2021 lalu, Presiden RI
memberikan arahan agar pengembangan pendidikan vokasi oleh semua kementerian/
lembaga harus terorkestrasi dengan baik dengan orientasi pada kebutuhan SDM
industri. Dalam rangka itu beberapa hal perlu mendapatkan perhatian, yaitu:
1) Kurikulum pendidikan vokasi hendaknya disusun bersama-sama dengan dunia
industri dengan mengedepankan pembelajaran berbasis proyek riil di dunia
kerja, 2) Guru, dosen, dan tenaga pengajar/ pendidik agar senantiasa didorong
untuk update terhadap perkembangan teknologi dan mendapatkan pelatihan
upskilling sesuai dengan tuntutan dunia kerja, 3) Tenaga pengajar dan mentor
dari pelaku industri agar diperbanyak, 4) Industri harus dijadikan sebagai
sekolah dan tenant, dan 5) Riset terapan harus dikembangkan sebagai teaching
factory/ teaching industry. Daya saing dan
kemajuan industri manufaktur juga sangat tergantung pada kemampuan industri
dalam merespon dan beradaptasi dengan dinamika dan tren global. Dewasa ini
ada beberapa tren dunia, yaitu perubahan teknologi, tuntutan pembangunan
industri hijau, dan peningkatan pasar di sektor industri halal. Tren
perubahan teknologi saat ini dan ke depan akan didominasi oleh teknologi
informasi dan komunikasi, internet of things, wearable devices, otomatisasi
dan robotik, serta artificial intelligence. Dalam rangka itu, Pemerintah
mengintensifkan implementasi kebijakan Making Indonesia 4.0 sebagai inisiatif
untuk percepatan pembangunan industri memasuki era industri 4.0. Penerapan
Industri 4.0 akan mendorong revitalisasi sektor manufaktur agar lebih efisien
dan menghasilkan produk berkualitas. Penerapan Industri 4.0 di Indonesia juga
diharapkan akan menarik investasi di bidang industri, karena industri di
Indonesia akan lebih produktif dan berdaya saing tinggi dengan peningkatan
kemampuan tenaga kerja Indonesia dalam mengadopsi teknologi. Kesuksesan
implementasi Making Indonesia 4.0 akan mendorong pertumbuhan PDB riil sebesar
2 persen per tahun, meningkatkan kontribusi industri manufaktur dalam PDB
sebesar 25% pada tahun 2030, dan meningkatkan jumlah lapangan kerja dari 20
juta ke 30 juta lapangan kerja pada tahun 2030. Tujuh sektor industri menjadi
fokus utama penerapan program ini yakni makanan dan minuman, tekstil dan
busana, otomotif, kimia, elektronika, farmasi, dan alat kesehatan. Ketujuh
sektor tersebut ditargetkan memberikan kontribusi terhadap total PDB
manufaktur sebesar 70 persen, ekspor manufaktur sebesar 65 persen, dan
penyerapan pekerja industri sebesar 60 persen. Di samping
tren perubahan teknologi, tren dunia lain yang harus diadaptasi oleh industri
manufaktur dalam rangka peningkatan daya saing global adalah tuntutan
pembangunan industri yang berwawasan lingkungan atau industri hijau (green
industry) sebagai bagian dari Agenda Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
(Sustainable Development Goals, SDGs). Tujuan dari pengembangan industri
hijau adalah penurunan emisi gas rumah kaca, efisiensi energi dan air,
penerapan ekonomi sirkular, efisiensi material, penurunan pencemaran
lingkungan, dan peningkatan serapan tenaga kerja. Pemerintah telah menetapkan
tujuh aspek standar industri hijau, yaitu bahan baku, energi, air, emisi gas
rumah kaca, proses produksi, produk, pengelolaan limbah, dan manajemen
pengusahaan. Dari perspektif lingkungan, penerapan industri hijau pada tahun
2019 berhasil menurunkan 39,22 juta ton CO2equivalen, penghematan energi
senilai Rp. 3.5 triliun, dan penghematan air setara Rp. 230 miliar. Hingga
saat ini, 895 perusahaan industri telah mendapatkan penghargaan atas upayanya
dalam membangun industri hijau. Tren global
lain yang tak boleh dilewatkan oleh industri manufaktur adalah peningkatan
peluang pasar dan investasi di sektor industri halal. Potensi pasarnya
sebesar USD 2 Triliun di tahun 2017 dan diprediksi meningkat menjadi USD 3
Triliun di tahun 2023. Ekonomi halal di mana sektor industri manufaktur dapat
berperan penting antara lain makanan dan minuman halal, produk obat-obatan
halal, produk kosmetik halal, dan produk busana dan mode halal. Sebagai
negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia belum berperan besar
di ekonomi halal. Dalam rangka mengoptimalkan peran tersebut, Pemerintah
tengah mendorong pembangunan kawasan-kawasan industri halal terintegrasi yang
memiliki fasilitas laboratorium halal, lembaga pemeriksa halal, instalasi
pengolahan air baku halal, dan sistem jaminan halal di bawah pembinaan
Kemenperin bekerja sama dengan lembaga terkait yaitu BPJPH dan MUI dalam hal
verifikasi kehalalan. Di samping
peningkatan kemandirian, kedaulatan, pendalaman struktur industri, dan
peningkatan daya saing, aspek lain yang harus dikedepankan dalam pembangunan
industri manufaktur adalah aspek keadilan yang mencakup pemerataan dan
inklusivitas. Pertumbuhan industri yang pesat di masa lalu telah menyebabkan
jurang kesenjangan antara Jawa dan wilayah luar Jawa. Sekitar 81 persen dari
total 33.926 unit usaha industri berada di pulau Jawa. Pemerataan pertumbuhan
industri manufaktur sangat penting dalam upaya pemerataan ekonomi karena
sektor industri manufaktur berperan penting dalam pembentukan baik PDB maupun
PDRB. Dengan demikian, kontribusi sektor industri terhadap perekonomian
nasional akan bertambah secara siginifikan jika diiringi dengan pemerataan
pembangunan industri di semua daerah. Dalam rangka pemerataan pertumbuhan
industri manufaktur, Pemerintah, sebagaimana diamanatkan dalam RPJMN
2020-2024, yaitu tengah mengembangkan 27 Kawasan Industri yang sebagian besar
tersebar di luar Pulau Jawa. Adapun
pembangunan industri yang inklusif dilakukan dengan meningkatkan peran
masyarakat -khususnya pelaku usaha kecil dan menengah (IKM)- sebagai bagian
dalam supply chain industri manufaktur. Peningkatan peran sektor IKM ini akan
membantu ketahanan industri manufaktur dalam negeri. Pada krisis ekonomi
1998, ketangguhan dan kemampuan adaptasi pelaku usaha kecil dan menengah
telah terbukti menjadi tulang punggung ketahanan ekonomi nasional. Lebih
dalam dari itu, melalui pemberdayaan IKM, pembangunan industri manufaktur
sekaligus diarahkan juga untuk membantu pemecahan masalah sosial ekonomi
masyarakat bawah khususnya dalam memperluas kesempatan kerja dan pemerataan
pendapatan masyarakat yang pada ujungnya mempercepat pengentasan kemiskinan. Tantangan
dalam pembangunan industri sangat berat dan kompleks serta memerlukan waktu
dan proses yang tidak instan. Karena itu, diperlukan tekad yang kuat dan
dukungan dari semua pihak. Tetapi yakinlah, selama tekad untuk menunaikan
amanat perjuangan kemerdekaan tersemat di hati dan pikiran kita semua,
industri manufaktur Indonesia yang mandiri, berdaulat, maju, berkeadilan, dan
inklusif akan segera terwujud sehingga industri manufaktur Indonesia akan
semakin dibanggakan di dalam negeri serta dihormati dan disegani di kancah
persaingan global. ● Sumber : https://news.detik.com/kolom/d-5685250/catatan-menteri-perindustrian-di-hut-kemerdekaan-ri-ke-76 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar