Ran
Tan Tan Dahlan Iskan ; Mantan CEO Jawa Pos |
DISWAY, 24
Agustus 2021
SETIAP
kali ke Hangzhou saya hampir selalu makan malam dengan wanita ini: tidak
perlu saya sebutkan namanyi. Ia bisa setahun tiga kali ke Iran. Ada bisnis di
sana. Setiap
kali ke Iran ia pakai kerudung. Untuk menutup rambutnyi. Ia juga pakai rok
panjang –dan baju atasan lengan panjang. Itu
sama sekali tidak masalah baginyi. Kadang ia sendirian ke Iran. Bisa juga
bersama manajer-manajernyi: ia sendiri direktur di perusahaan itu. Tehran,
ibu kota Iran, sudah lama punya kereta bawah tanah: made in China. Sejak
1999. Itulah jaringan kereta bawah tanah terpanjang di Timur Tengah: 253 Km.
Terdiri dari 6 jalur. Kini masih dibangun lagi jalur yang ke 7. Menlu
Jepang Toshimitsu Motegi ke Iran pekan lalu. Ia bertemu presiden baru Iran
Ibrahim Raisi. Sang Presiden minta agar dana Iran yang sudah lama dibekukan
Jepang dicairkan. Nilainya USD 3 miliar, sekitar Rp 45 triliun. Pembekuan itu
atas instruksi Amerika Serikat. Jepang
memang masih berhubungan dengan Iran. Negara-Negara Barat selalu titip salam
ke Iran lewat Jepang. Salam apa pun. Demikian juga Iran, selalu menitipkan
kepentingannya ke dunia Barat lewat Jepang. *** Di
Pakistan saya kaget. Terutama kalau saya masuk ke jalan-jalan kecil. Untuk
mencari restoran khas Pakistan. "Ni
hao, ni hao, ni hao," sapa anak-anak kecil di pinggir jalan. Mereka
mengira saya orang yang datang dari Tiongkok. Setiap ada orang berpostur
lebih kecil, tanpa kumis dan jenggot, mereka sangka dari Tiongkok. Itu
menandakan orang Pakistan sudah begitu biasa melihat orang Tiongkok. Begitu
banyak proyek Tiongkok di Pakistan. Setiap
menjelang pemilu, isu Tiongkok selalu muncul. Negatif. Tapi pemenang
pemilunya selalu meneruskan program kerja sama ekonomi kedua negara. Bagi
Tiongkok sudah biasa melihat gejolak antar suku di Pakistan. Pun gejolak
antar aliran agama. Sudah begitu banyak pendatang dari Tiongkok –umumnya
tenaga kerja– tewas oleh kebencian seperti itu. Berkali-kali. Di banyak
wilayah. Minggu
lalu pun masih terjadi. Di dekat Gwadar. Bom bunuh diri. Tiga orang
meninggal. Padahal pengamanan Gwadar sudah sangat ketat. Sampai saya pun
tidak bisa mencapai Gwadar. Dua tahun lalu. Itulah
pelabuhan Samudera yang baru. Yang dibangun di kawasan miskin Pakistan.
Menghadap ke Samudera Hindia. Dilengkapi dengan kawasan ekonomi khusus. Awalnya
Singapura yang membangun megaproyek itu. Singapura tidak tahan. Mangkrak.
Lalu diambil alih Tiongkok. Dari
Gwadar akan dibangun rel kereta api sampai Tiongkok. Juga pipa gas. Kalau
bisa lewat Afghanistan. Tapi sulit. Amerika menguasai Afghanistan. Tiongkok
pun bikin rencana yang sangat mahal: lewat perbatasan Pakistan-Tiongkok. *** Kini
dengan Amerika Serikat meninggalkan Afghanistan, hambatan itu hilang.
Gwadar-Afghanistan lebih dekat. Jalur itu melewati kawasan paling tandus dan
miskin di Pakistan Barat. Pengalaman
panjang Tiongkok membangun jalan tol di kawasan pegunungan membuat alam
Afghanistan biasa-biasa saja. Pun juga rel kereta api di kawasan seperti itu. Rel
dan jalan tol jalur Tiongkok-Afghanistan-Gwadar (Pakistan) itu membuat
Afghanistan seperti tiba-tiba punya laut. Sekeras
pertentangan golongan di Afghanistan pun, di mata Tiongkok, tidak akan
serumit di Pakistan. Golongan apa pun ada di Pakistan. Saling bermusuhan.
Tiongkok sudah terbiasa dengan situasi Pakistan. Bagi Tiongkok Afghanistan
tidak akan terlalu rumit. Paling-paling dari Pastun ke Pastun. Sedang di
Pakistan pemenang pemilunya sulit ditebak. Memang,
mantan Wakil Presiden Afghanistan Amrullah Saleh tidak ikut kabur ke luar
negeri. Ia pilih pulang kampung. Ke pegunungan di Panjshir. Pegunungan ini
begitu terpencil. Tidak ada suku Pastun di situ. Di
distrik Panjshir itu Taliban tidak bisa masuk. Juga tidak berusaha masuk. Itu
distrik kecil. Penduduknya kurang dari 150.000. Di
distrik inilah mantan wakil presiden melakukan konsolidasi kekuatan.
Senjata-senjata ex Soviet dan Amerika dibawa ke kampung itu. Sang mantan
wapres mendeklarasikan diri sebagai pejabat sementara Presiden Republik
Afghanistan. Itu, katanya, didukung kedutaan Afghanistan di Tajikistan –yang
masih satu suku dengan mantan wapres. Taliban
tidak terlihat berang atas pernyataan itu. Sama sekali tidak ada maksud untuk
menyerang distrik itu. Para ahli di Pakistan menilai penguasaan distrik
Panjshir itu tidak akan menjadi faktor konflik yang lebih besar. Para
pengamat di Pakistan juga menilai Taliban sudah "berubah". Mereka
tidak menggunakan kata ''berubah'' melainkan ''sudah lebih
berpengalaman". *** Iran,
Pakistan, dan Afghanistan jelas di tangan Tiongkok. Tiga-tiganya negara Islam
dengan gaya masing-masing. Tiongkok
begitu kuat memegang filsafat Deng Xiaoping ini: tidak peduli kucing itu
hitam atau putih, yang penting bisa menangkap tikus. Paku
kecil cukup pakai palu kecil. Untuk paku besar barulah pakai palu besar.
(Dahlan Iskan) ● |
Sumber : https://www.disway.id/r/1656/ran-tan-tan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar