Jumat, 06 Agustus 2021

 

Pamer Kekuatan Flotilla NATO di Laut China Selatan

Marsetio ;  Guru Besar Universitas Pertahanan, Kepala Staf TNI

KOMPAS, 6 Agustus 2021

 

 

                                                           

Di tengah suasana perang di berbagai negara menghadapi gelombang kedua pandemi Covid-19 dengan varian Delta yang mengganas, sebuah “pertempuran” lain terjadi di Laut China Selatan (LCS).

 

Kapal induk Angkatan Laut Inggris, HMS Queen Elizabeth, melakukan unjuk kekuatan (show of force) di perairan impulsif tersebut dengan kawalan kapal-kapal kombatan berbagai jenis, termasuk 250 pasukan marinir. Kontan, China yang merasa sebagai penguasa LCS menyambutnya dengan latihan perang di sana.

 

Flotilla Angkatan Laut Inggris pimpinan HMS Queen Elizabeth dengan 18 jet tempur di geladaknya itu dapat disebut sebagai armada laut NATO (North Atlantic Treaty Organization/Pakta Pertahanan Atlantik Utara), mengingat di barisan kapal-kapal tersebut terdapat kapal perang Belanda, Italia dan Amerika Serikat (AS).

 

Mereka hadir di sana untuk melaksanakan freedom of navigation and operation (FONOP), sebuah konsep yang selama ini dijadikan AS alasan untuk berlayar di LCS dengan mengabaikan keberatan dan kemarahan China. Kini, alasan itu digunakan Inggris, sekutu utama AS, untuk berlayar di LCS.

 

Kepentingan NATO

 

NATO beroperasi di kawasan Eropa, Amerika Utara dan di berbagai wilayah konflik yang melibatkan negara anggota. Pembentukan pakta itu di tahun 1949 tidak terlepas dari dinamika Perang Dingin setelah berakhirnya Perang Dunia II dan munculnya Blok Barat dan Timur. Namun, setelah runtuhnya Uni Soviet tahun 1991, NATO yang kini beranggota 30 negara tak lagi berperan sentral sebab tidak ada lagi ancaman perang besar.

 

Inggris pun praktis tak pernah mengerahkan armada tempurnya melintasi samudra, sebagaimana sering dilakukan di masa kolonialisme abad ke-19, kecuali tahun 1982 ketika berperang melawan Argentina dalam Perang Falkland (Malvinas) selama dua bulan di Atlantik Selatan. Kini, Angkatan Laut Inggris ke luar pangkalan dan menggelorakan kembali semboyan British Rule the Waves, menjelajah samudera sejak Mei 2021. Mereka berlayar ke Asia Timur menuju titik panas di LCS.

 

Kembali ke panggung global

 

HMS Queen Elizabeth akan berada di kawasan Indo-Pasifik sampai Desember 2021 dan selama itu akan pamer kekuatan serta berlatih dengan sekutunya: Singapura, Filipina, Malaysia, Selandia Baru, maupun negara-negara Quadrilateral Security Dialogue (Quad) yang terdiri dari Jepang, AS, India, Australia.

 

Inggris juga menugaskan dua fregatnya secara permanen akan berada di kawasan Indo-Pasifik mulai akhir 2021. Ini adalah wajah baru Inggris yang ingin kembali tampil di panggung global mendampingi AS dalam membendung upaya China yang berambisi menjadi negara adidaya (superpower).

 

Kehadiran armada Inggris di kawasan Indo-Pasifik juga merupakan bagian dari usaha Inggris untuk memainkan peran mereka di kancah global. Hal itu juga senada dengan upaya yang diambil oleh Perancis dan negara-negara Eropa lainnya, mengalihkan perhatian ke LCS mengingat pertumbuhan ekonomi China dan kekuatan militernya yang semakin tidak terbendung.

 

Armada tempur Inggris memang sudah lama tidak tampil di tingkat dunia. Praktis setelah berakhirnya Perang Pasifik tahun 1945, Inggris yang dulu malang melintang di berbagai perairan dunia secara perlahan surut. Kedigdayaan negara itu beralih ke AS yang setelah Perang Dunia II tampil sebagai negara adidaya tunggal, menyusul bubarnya kekuatan Uni Soviet bersama Pakta Warsawa bentukannya.

 

Pada sisi lain, China dengan kekuatan ekonominya tampil ke panggung dunia, menjadi penantang AS. Kekuatan ekonomi dan militer yang besar membuat China mampu menanamkan pengaruh dan “merebut hati” berbagai negara. Negeri itu menaburkan dana infrastruktur ke 150 negara melalui program Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative). China juga membangun angkatan laut mereka menjadi Blue Water Navy dengan dua kapal induk, Liaoning dan Shandong, serta dukungan pangkalan militernya di Pulau Fierry Cross, Sri Langka, dan Djibouti.

 

Ketegangan di LCS

 

Kedigdayaan China dengan ekonomi dan militer yang kuat membuat negeri itu secara sepihak percaya diri menyatakan 90 persen perairan LCS sebagai wilayah kedaulatannya.

 

Tanpa memedulikan Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Taiwan sebagai negara klaiman, China menerapkan sembilan garis putus-putus berdasarkan alasan traditional fishing ground semata. China pun membangun pulau buatan di sana sebagai basis militer lengkap di Pulau Fiery Cross dan Scarborough yang hanya berjarak 220 kilometer dari pantai Filipina.

 

Negeri Panda itu juga menolak putusan Permanent Court of Arbitration atas gugatan yang diajukan Filipina. Mahkamah Internasional di Den Haag itu menyatakan klaim China atas sembilan garis putus-putus (nine-dash line) tidak memiliki dasar hukum. Namun, China tidak ambil peduli, dan menjadikan sembilan garis putus-putus itu sebagai batas maritimnya dengan negara-negara di sekitar LCS.

 

China juga menggunakan konsep gray zone operation, membentuk dan mengirimkan ratusan kapal-kapal ikan sipil sebagai milisi laut dengan kawalan Coast Guard ke perairan sengketa. Filipina melaporkan keberadaan 220 kapal milisi China di perairan yang juga diklaim Filipina. Kapal-kapal milisi penangkap ikan China merupakan elemen kejut dalam bentuk infiltrasi militer sekaligus untuk memperkuat klaim historis China atas perairan sengketa.

 

Ambisi China untuk menguasai LCS yang kaya sumber daya mineral juga diperkuat dengan menerbitkan Undang- Undang Coast Guard awal 2021 yang memberi kewenangan pada penjaga pantai China untuk mengambil berbagai langkah penting, termasuk menggunakan senjata, bila klaim kedaulatan China dilanggar oleh kekuatan asing. Coast Guard China memiliki kewenangan yang sama dengan angkatan lautnya dalam menjaga kedaulatan China.

 

Keperkasaan China tersebut mendapat tantangan sengit dari AS yang bukan negara klaiman dalam konflik LCS. Dengan alasan FONOP, kapal perang AS dan sekutunya berkali-kali hadir di LCS meski dapat protes keras dari China.

 

Diplomasi ASEAN

 

LCS menjadi magnet perseteruan karena perairan itu memiliki cadangan minyak yang diperkirakan mencapai 213 miliar barrel, serta gas alam yang sangat besar. Perairan LCS juga sangat strategis sebagai jalur perdagangan internasional maupun jalur pelayaran kapal-kapal perang. Itu sebabnya, AS berkepentingan hadir di sana untuk mendukung mobilitas negeri itu dalam menjalankan peran dominasi globalnya.

 

Dalam konteks seperti itulah kehadiran Inggris di LCS dapat dimaknai sebagai sinyal kesiapan NATO bersama sekutu-sekutunya di Indo-Pasifik untuk memperkuat keamanan dan kebebasan di LCS. Risiko yang mungkin timbul adalah terjadinya konflik bersenjata yang merugikan stabilitas kawasan.

 

Dalam kaitan itu, Indonesia bersama dengan negara-negara ASEAN harus terus mengambil peran aktif diplomasi untuk menyelesaikan permasalahan LCS. Pada kondisi seperti itu, peran ASEAN sebagai jembatan dan penyeimbang berdasarkan "ASEAN Outlook on the Indo-Pacific" dapat digunakan untuk meredam eskalasi konflik yang terjadi. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar