Oligarki
sebagai Musuh dari Bangsa Sendiri Firman Noor ; Kepala Pusat Penelitian Politik, LIPI |
KOMPAS, 21 Agustus 2021
Bung
Karno penah berkata bahwa bangsa Indonesia di kemudian hari akan menghadapi
tantangan yang lebih besar, karena akan berhadap dengan musuh yang adalah
bangsa sendiri. Setelah berhasil mengusir penjajahan asing, bangsa ini
sejatinya masih akan berhadapan dengan musuh. Para musuh yang menyebabkan
cita-cita yang termaktub dalam pembukaan konsitusi dan agenda reformasi tidak
kunjung mewujud. Cita-cita
untuk dapat memajukan kesejahateraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa,
demi terwujudnya bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur.
Cita-cita akan Indonesia yang terbebas dari korupsi, kolusi nepotisme (KKN),
yang menegakkan hukum, yang kekuasaan tidak absolut melainkan yang terbagi
hingga ke darah-daerah guna memperkuat eksistensi masyarakat lokal dengan
segala kearifannya dan melembagakan supremasi sipil. Dalam
situasi saat ini, bisa jadi lawan atau musuh bangsa yang kerap mematahkan
cita-cita bersama itu adalah oligarki. Sebuah entitas yang tidak suka akan
kesederajatan. Sebuah kelompok kecil dan eksklusif yang hanya peduli akan
dirinya sendiri. Sebuah elemen yang orientasi utamanya adalah mengamankan
kepentingannya melalui pengendalian kekuasaan, baik secara langsung maupun
tidak (by proxy). Sebuah invisible hand yang tidak peduli jika
segenap aktifitasnya menghisap usaha-usaha rakyat, khususnya menengah-kecil,
sehingga gagal mandiri, atau memperlemah tatanan sosial-budaya mulai dari
perkotaan hingga pedalaman, atau bahkan berkontribusi dalam menghancurkan
lingkungan hidup. Keberadaannya
selalu bersama para petinggi, tidak pernah bersama rakyat apalagi kaum
tertindas sebagaimana para pahlawan biasa berada. Mereka selalu merasa diri
spesial dan akan selalu mempertahankan kespesialannya itu. Oligarki
menempatkan kepentingan diri dan kroninya di atas segalanya, sehingga
manakala ada kebaikan yang ditimbulkan untuk khalayak, itu lebih sekadar efek
(yang kebetulan saja). Atau memang sengaja dirancang, namun tetap dalam
rangka mengamankan kepentingan mereka saat ini atau jangka panjang. Untuk itu
mereka tak segan memainkan banyak peran. Dalam
situasi yang mengharuskan mereka terlihat membela demokrasi dan orang banyak,
para oligark tidak segan melakukan itu. Sikap ini sejalan dengan waktak
oligark yang agile, adaptif, oportunis dan pastinya memiliki kesadaran
politik tinggi. Hal yang menyebabkan mereka terus dapat eksis dan tidak mudah
ditaklukan Oligarki
dalam pandangan Aristoteles memang berkonotasi positif, yakni pemerintahan
oleh sedikit orang yang berorientasi kepentingan umum. Aristoteles memilih
istilah plutokrasi sebagai lawan oligarki karena memiliki spirit yang
eksklusif. Namun,
seiring dengan perjalanan waktu istilah oligarki ini makin diterima sebagai
sesuatu yang negatif. Alasannya adalah karena sifatnya yang eksklusif, tidak
sejalan dengan hakekat kedaulatan rakyat yang memang menyaratkan keterlibatan
esensial dari rakyat banyak. Itulah
mengapa orang seperti Robert Michels menggunakan istilah “Hukum Besi
Oligarki” dalam karyanya tentang partai politik, sebagai bentuk penamaan
kritis terhadap situasi sebuah organisasi yang telah kehilangan sentuhan
spirit equality (persamaan), karena terbenam dalam jerat kekuasan segelintir
orang. Istilah itu pulalah yang digunakan oleh banyak pemerhati politik,
seperti Winters, Robison dan Hadiz, dalam argumen-argumen akademis mereka
saat menggambarkan kondisi politik kita dewasa ini. Saat
ini praktik oligarki diyakini bukannya semakin melemah melainkan semakin
kuat. Keberadan oligarki adalah salah satu benalu yang mewarnai kehidupan
politik bangsa ini. Keberadaan para “saudagar-politik” ini memang pasang surut. Pada
masa ketika idealisme demikian kuat dan kekuatan bangsa diarahkan untuk
kepentingan melawan penjajah atau saat kehidupan politik masih bernuansakan
ideologi yang kental, seperti pada masa-masa sebelum Orde Baru, oligarki
seperti virus yang lemah. Namun, manakala pemerintahan atau penguasa mulai
menggantungkan diri dan memberikan fasilitas kepada mereka, maka segera
negara akan bergantung pada mereka. Akibatnya virus itu menjadi aktif dan
menjalar kemana-mana. Situasi
ini diperburuk dengan meredupnya kemandirian partai-partai. Sejak tahun
1970-an akhir, lambat tapi pasti partai-partai makin mengandalkan campur
tangan “orang kuat” atau pihak eksternal. Akibatnya menjadi eksklusif,
berorientasi top-down, dan akhirnya bergantung juga pada pemerintah dan
kroni-kroninya. Partai
menjadi sekadar aksesoris demokrasi yang tidak lagi berpijak kuat di akar
rumput. Di sisi lain, masa awal hingga pertengahan 1990-an, negara pun telah
semakin bergantung pada oligark, yang diantaranya telah menjadi pemain aktif
di parlemen dan pada partai penguasa. Pada masa-masa itu juga, dalam rangka
mempertahankan kekuasaan yang dibungkus dengan semangat pembangunan, rezim
menyolidkan kelompok-kelompok pengusaha besar dalam barisan pendukungnya.
Indonesia pun lengkap terjajah. Setelah
sukses berperan sebagai kaki tangan Orde Baru, oligarki di Era Reformasi
berganti wajah. Sebagai salah satu warisan Orde Baru, oligarki tidak mati
melainkan bertransformasi dan makin meluas dalam eksosistem politik baru,
termasuk adanya desentralisasi. Dengan kehidupan demokrasi yang semakin mahal
penuh konsesi dan kompensasi, khususnya terkait dengan pelaksanaan pemilu
baik pusat maupun daerah, keberadaannya bukan saja sebatas pelengkap namun
juga penentu. Daya
rusak yang ditimbulkan oligarki meliputi banyak dimensi. Tidak saja dalam
moral politik yang saat ini makin terabaikan dan melahirkan
petualang-petualang politik tanpa etika, namun pula terkait dengan
tercerabutnya hak-hak masyarakat adat. Bukan saja terkait dalam soal
meranggasnya pelaksanaan rule of law, namun juga kerusakan lingkungan fatal
dengan kerugian material dan immaterial yang fantastis. Tidak saja merenggut
hakekat demokrasi substansial, namun pula menggerus rasa keadilan sosial. Dalam
kondisi seperti itu, oligarki saat ini jelas adalah musuh bersama bagi kita.
Dengan eksistensinya yang kerap tersamar, mereka sejatinya adalah “imagined
enemy” yang dulu pernah dibayangkan oleh Bung Karno, musuh dari bangsa
sendiri. Untuk
itu diperlukan penguatan kesadaran bagi siapa saja akan bahaya oligarki ini.
Kesadaran itu harus ditularkan, termasuk melalui dunia pendidikan kita, baik
formal maupun informal. Berbagai kalangan, khususnya civil society yang
bergerak pada berbagai bidang, termasuk dunia kampus, juga harus mulai dan
terus berperan sebagai garda terdepan dalam menumbuhkan kesadaran ini. Saat
ini tidak banyak pilihan selain kalangan civil society yang masih dapat terus
melanjutkan estafet penyadaran. Meski berat, namun sudah merupakan suatu hal
yang lumayan manakala ide besar oligarki sebagai musuh bersama dapat bergulir
dan mudah-mudahan pada akhirnya dapat menguasai benak kebanyakan masyarakat
kita, terutama generasi muda. Kita tidak perlu ragu, sebab perubahan besar
kerap berawal dari soal yang sederhana, kadang hanya dari sekadar wacana. ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/21/oligarki-sebagai-musuh-dari-bangsa-sendiri/ |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar