Merayakan
Tradisi Menjaga Subak dan Komodo Rasid Rachman ; Dosen Sekolah Tinggi Filsafat Theologi
Jakarta |
KOMPAS, 22 Agustus 2021
Harian
Kompas, Rabu (4/8/2021) halaman 15, memuat berita bahwa UNESCO kembali
menyampaikan ”peringatan untuk Indonesia” atas satu masalah, yakni budaya,
dengan dua kasus. Kasus pertama, subak, lanskap di Catur Angga Batukaru, yang
dikenal sebagai obyek wisata persawahan berundak-undak (terasering) di Jatiluwih.
Kedua, Taman Nasional Komodo dengan keberadaan komodo. Saya
menyatukan kedua kasus tersebut karena masalah tersebut berkaitan langsung
dengan warisan dan tradisi. Kedua kasus tersebut bernilai budaya dalam
mengatur kehidupan bermasyarakat secara harmonis. Masalahnya,
pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) melihat kedua warisan dunia tersebut,
yaitu subak dan komodo, melulu pada soal kunjungan wisatawan. Pihak KLHK
menghargai usulan UNESCO untuk TN Komodo. Namun, KLHK menegaskan bahwa
pembangunan tersebut bertujuan untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas
kunjungan dengan skala internasional (Media Indonesia, 4 Agustus 2021). Kasus
subak adalah kejaran industri wisata yang menyebabkan krisis sosial di Bali
(Jurnal Masyarakat Indonesia, Vol. 42 No. 2, Desember 2016). Apakah subak dan
komodo di TN Komodo hanya soal industri wisata? Tampilan dan terkandung Subak,
secara tampilan, adalah sistem irigasi pengairan sawah di Bali. Banyak
wisatawan memotret persawahan berundak ini. Namun, subak menyimpan kandungan
sistem budaya dan adat. Filosofi
subak adalah harmonisasi hubungan timbal balik manusia dengan Sang Pencipta
dan manusia dengan sesama dan dunia sekitar. Air persawahan dibagi secara
adil menurut adat. Adat mengacu pada kerja manusia dalam mengolah alam. Subak
merupakan perekat masyarakat demi menjaga keadilan, kedamaian, keutuhan
ciptaan, dan hidup harmonis dengan alam. Komodo
(Varanus komodoensis) adalah salah satu hewan purba yang hidup hanya di Pulau
Komodo, Pulau Rinca, dan beberapa pulau lain di sekitarnya, di Indonesia.
Sekalipun terkenal, keberadaan komodo hanya di sebagian kecil wilayah
Nusantara. Pada
satu sisi, secara tampilan, komodo adalah obyek wisata. Para pelancong
tertarik untuk mengetahui cara komodo memburu dan memakan mangsa, ukurannya,
berkembang biak, menjalani kehidupan, lama umurnya, kekuatan dan daya
tahannya. Bagi Indonesia, komodo adalah devisa. Pada
lain sisi, melihat komodo dari perspektif budaya. Bagi masyarakat lokal di
pulau-pulau tersebut, komodo, atau disebut ora, adalah leluhur. Bagi
masyarakat Indonesia, TN Komodo adalah kebanggaan dan keunikan. Bagi sebagian
masyarakat dunia, tubuh komodo sepola dengan semua reptil sejenis, seperti
cicak, buaya, kadal, bunglon, tokek, adalah ”nenek moyang”. Pola dasar reptil
ini berupa gambar di rumah atau kampung adat, profil kain dan busana adat,
dan tato tubuh. Baik
subak maupun komodo harus dilihat dalam perspektif adat dan budaya. Subak dan
komodo menata dan menjaga fungsi ekologi, sosial, budaya, dan spiritual
masyarakat. Tentu, hal memelihara dan mengangkat budaya tidak lantas
mengabaikan nilai ekonomi. Namun, masalahnya, mengangkat nilai ekonomi sering
kali mengorbankan nilai adat dan budaya. Meritualkan tradisi Sekalipun
subak di Bali dan komodo di Nusa Tenggara Timur bukan tampilan ritus semacam
festival, kedua hal tersebut adalah ritus hidup berdasarkan keberadaannya.
Berdasarkan tiga pandangan Catherine Bell tentang ritual, pertama, ritual
merupakan aksi tampilan. Ritus menampilkan kebiasaan dan rutinitas tanpa
rencana dan berjalan dengan sendirinya karena didorong oleh gelora dan
dinamika kehidupan yang terekspresi secara fisik. Ritual hidup mampu bertahan
selama berada di habitatnya secara alami. Indonesia
menyimpan kekayaan hewani dan alami yang dipelihara oleh masyarakat setempat.
Hewan dan alam tetap terjaga dengan baik selama terjaga habitatnya, yaitu
lingkungan tanah, air, udara, dan sistem kehidupannya. Sebaliknya, hewan dan
alam menjadi bencana ketika manusia mengubah, sekalipun tidak sampai merusak,
habitat. Menjaga subak dan komodo adalah dengan membiarkan mereka hidup
menurut cara alami di habitatnya. Memanjakan turis dengan resor, jembatan
megah, dan jalan mulus akan membunuh kedua makhluk itu. Kedua,
ritual merupakan mekanisme yang membentuk dan menjaga interaksi sosial dan
pengalaman individual dalam menata pembedaan pikir dan aksi. Keberadaan subak
dan komodo selama ini bukan hanya mempertahankan interaksi manusia dengan
manusia dan manusia dengan alam, tetapi juga menggiatkan kehidupan alam
semesta. Masyarakat
sekitar subak dan TN Komodo rutin mengatur pola hidup, waktu mulai dan
selesai bekerja, cara mencari nafkah secara elok, atau jenis asupan yang
dikonsumsi. Semuanya berkaitan dengan pola saling tergantung, bukan ambisi
menekan dan menguasai. Inti klasifikasi kedua ini, baik subak maupun komodo,
adalah hal ketahanan sosial komunitas (community resilience). Alih fungsi
makhluk pemelihara adat dan budaya ini dapat menyebabkan perubahan sosial. Ketiga,
ritual merupakan perekat harmonis kesatuan komunitas dari ancaman atau
potensi perpecahan. Intinya, ritual merupakan jalan keluar agar kekakuan
tidak menjadi satu-satunya pegangan hidup bermasyarakat. Keberadaan subak dan
komodo membuat masyarakat sekitar tetap menyelesaikan masalah dengan
musyawarah untuk mufakat, bukan dengan pentung, teriak-teriak, atau membangun
sikap intoleransi. Keberadaan komodo mengaktifkan masyarakat selalu bekerja
sama untuk saling menjaga keramahtamahan dan merasa aman dengan orang asing. Memandang
subak dan komodo secara ritual memperlihatkan ketergantungan dan
pemeliharaan. Selama keberadaan subak dan komodo terpelihara, selama itu pula
kehidupan akan terpelihara. Namun, subak dan komodo bukan hanya hal
memandanginya, tetapi juga memperlakukannya. Peringatan
UNESCO menyadarkan bahwa untung ada lembaga internasional bidang pendidikan
dan kebudayaaan. Alih-alih mengalihfungsikan ruang subak dan TN Komodo demi
industri wisata, tantangan bagi pemerintah dan masyarakat kita adalah
memelihara dengan membiarkan subak dan komodo eksis dan bertumbuh sebagaimana
alam kehendaki. ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/22/merayakan-tradisi-menjaga-warisan-subak-dan-komodo/ |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar