Mengawal
Kualitas Hakim Andreas Eno Tirtakusuma ; Dosen Tetap Program Magister Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Pancasila |
KOMPAS, 16 Agustus 2021
Ada
dua artikel menarik yang dimuat harian Kompas. Pertama ditulis dengan judul
Dilema Kekuasaan Kehakiman (Kompas, 19/7/2021), kedua berjudul Independensi
atau Anomali Yudisial (Kompas, 4/8/2021). Kedua artikel menyoal praktik
diskon putusan, khususnya dalam kasus-kasus korupsi, bahkan artikel kedua
juga merinci kasus korupsi apa saja yang didiskon dan berapa diskon
hukumannya. Hanya
saja artikel pertama lebih membahas adanya independensi hakim, sebagai
kekuasaan yang sakral berbanding hakim sebagai manusia yang hidupnya
dipengaruhi banyak kepentingan, keinginan, dan lingkungan sekitarnya (hakim
tidak imun dan hidup di ruang hampa). Fenomena ini membawa pada misteri
apakah hakim (sang pengadil) benar-benar mengambil putusan sebagai orang yang
suci atau dipengaruhi oleh kepentingan yang melekat pada hidupnya.
Pelanggaran etika hakim yang ditemukan tidak akan menyebabkan putusannya
dapat dirubah sehingga diskon hukuman dalam putusannya tetap dapat dinikmati
terdakwa. Pada
artikel kedua, penulis mengamini Komisi Yudisial tidak memiliki kewenangan
menilai apalagi mengoreksi putusan hakim. Diskon hukuman sering diberikan
oleh hakim agung, yang adalah centre of excellence dan core of the core dari
dunia pengadilan tetapi kualitas putusannya berbanding terbalik dengan logika
hukum dan rasa keadilan masyarakat serta teori hukum dan keadilan. Disinggung
fungsi Komisi Yudisial sebagai penjaga marwah, martabat dan kehormatan hakim
agar dapat dioptimalkan perannya dalam menyeleksi hakim agung. Kebetulan
saat ini Komisi Yudisial sedang menyeleksi calon hakim agung. Tetapi
menghasilkan hakim agung yang kompeten, profesional, berintegritas, dan
bermoral yang bertanggung jawab kepada dirinya, agamanya, bangsanya, dan
Tuhannya bukan hanya ada pada pundak Komisi Yudisial. Ada cerita tentang
hakim yang memulai karir dengan penuh idealisme, tetapi idealismenya rontok
karena tercemar perbuatan koruptif setelah lama bertugas. Hasil seleksi calon
hakim yang ketat sekali pun belum tentu dapat menjamin kualitas hakim. Hakim
dituntut menghasilkan putusan yang berkualitas. Putusan hakim ibarat
mahkotanya. Putusan berkualitas akan memuliakan profesi hakim. Untuk
mewujudkan kualitas hakim dalam putusannya, setidaknya perlu adanya pemahaman
yang sama dan niat bersama dengan penegak hukum lainnya untuk mewujudkan keadilan
yang seadil-adilnya, selain perlu juga dibina kemampuan dan tanggung jawab
hakim dalam menerapkan hukum. Dalam
perkara pidana, putusan hakim didasarkan pada surat dakwaan dan segala
sesuatu yang terbukti dalam persidangan (Pasal 182 KUHAP). Surat dakwaan
adalah produk yang dibuat penuntut umum sebagai tindak lanjut hasil
penyidikan. Apabila dalam dakwaan hanya menguraikan perbuatan suap, karena
dari tahap penyidikan hanya disangkakan dengan pasal suap (yang hanya dapat
dipidana badan dan denda), membuat hakim tidak dapat memutusnya sebagai
perbuatan korupsi kerugian keuangan negara (yang dapat dipidana mati apabila
perbuatan dilakukan dalam keadaan tertentu), sekalipun masyarakat ramai
menghendakinya. Di
sisi lain, hakim lazim menginterpretasi apakah unsur perbuatan menurut pasal
yang didakwakan telah terpenuhi dari perbuatan terdakwa. Hakim memang harus
berdasar pada tekstual ketentuan undang-undang dan menjadikannya sebagai
titik tolak untuk mengadili, tetapi tidak sebagai titik akhir. Hakim perlu memberikan
arti tekstual suatu ketentuan undang-undang dalam putusannya, yang dilakukan
dengan cara menginterpretasikannya. Interpretasi Praktiknya,
ada berbagai metode interpretasi (gramatikal, historikal, sistematikal,
teleologikal ,dan sosiologikal, perbandingan hukum/komparatif dan
futuristis). Persoalannya, beda metode akan beda pula tafsiran yang
dihasilkan. Padahal tidak ada aturan yang menentukan metode mana yang harus
digunakan oleh hakim dalam peristiwa konkret tertentu. Tidak ada pula ketentuan
yang mengatur urutan hirarkikal metode-metode tersebut. Pembentuk
undang-undang pun tidak memprioritaskan metode tertentu sehingga terbuka
kemungkinan hakim akan memilih metode berdasarkan apa yang paling meyakinkan
menurut dirinya sendiri, yang belum tentu dirasa cocok oleh praktisi hukum
lain atau pun pencari keadilan. Kemungkinan ini dapat menyebabkan mengapa
putusan-putusan pengadilan rentan dianggap inkonsisten, kontroversial, dan
memancing reaksi yang berbeda-beda dari masyarakat. Kebebasan
hakim memilih metode interpretasi menjadi salah satu wujud independensi
yudisial. Sepakat dengan pendapat bahwa independensi tanpa tanggung jawab
adalah tirani dan kezaliman yang nyata. Independensi dan akuntabilitas
yudisial harus dijalankan bersamaan karena keduanya ibarat dua sisi dari koin
yang sama, yang tidak mungkin dipisahkan. Pelaksanaan
pertanggungjawaban hakim dapat dilakukan dalam bentuk kewajiban motivering.
Dalam putusan, motivering ada pada bagian pertimbangan hukum. Dari
pertimbangan hukum tersebut dapat diketahui motivasi yang melatarbelakangi
amar putusan. Kewajiban ini sudah diatur dalam Pasal 50 Undang-Undang
Kekuasaan Kehakiman. Sedemikian pentingnya sehingga Mahkamah Agung menyebut
tidak diberikannya pertimbangan hukum yang memuat alasan-alasan putusan
pengadilan dipandang sebagai suatu kelalaian dalam acara (vormverzuim),
ditegaskan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1974. Menurut
Pontier, kewajiban motivering berkaitan dengan transparansi sehingga putusan
menjadi terbuka untuk pengawasan, harus meyakinkan dan memberikan prespektif
bagi akseptasi (penerimaan, aanvaardbaar-heid) putusan tersebut. Motivering
juga berfungsi untuk yustifikasi (pembenaran, rechtsvaardiging) putusan
terhadap para pihak berperkara, terhadap “forum hukum” (forum iuridica) dan
terhadap masyarakat. Putusan yang bermutu pasti tidak akan terlepas dari
praktik motivering. Masyarakat
cenderung menilai putusan hakim hanya dari amar. Yang dilihat hanyalah diskon
hukuman, tetapi alasan-alasan hakim untuk sampai pada amar demikian luput
dari sorotan. Menilai putusan hakim semata-mata dari amarnya ibarat menilai
buku dari sampulnya saja. Perlu
ada edukasi bersama tentang praktik motivering dalam setiap putusan hakim.
Edukasi masyarakat akan mengarahkan bagian mana dari putusan yang harus
diteliti dalam mengkritisi kualitas putusan. Demikian juga dunia pendidikan
hukum berperan dalam pengajaran, pelatihan dan diskusi tentang praktik
motivering. Bila kelak mahasiswanya menjadi hakim, akan sudah mahir sehingga
putusannya benar-benar berkualitas selaras dengan logika hukum dan rasa
keadilan masyarakat serta teori hukum dan keadilan. Dari
uraian ini, semua pemangku kepentingan dalam dunia peradilan memiliki peranan
dan masing-masing bertanggung jawab menjaga marwah, martabat dan kehormatan
hakim. Hal ini tidak semata-mata menjadi fungsi Komisi Yudisial. Dengan
saling membahu satu sama lain di antara pemangku kepentingan, impian
masyarakat akan peradilan agung pasti dapat terwujud. ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/16/mengawal-kualitas-hakim |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar