Mempertanyakan
Kewenangan Ombudsman Alamsyah Saragih ; Anggota Ombudsman RI Periode 2016-2021 |
KOMPAS, 21 Agustus 2021
Pernyataan
bahwa Ombudsman RI tak berwenang memeriksa proses alih status pegawai KPK
mulai mencuat setelah Ombudsman RI menyelesaikan Laporan Akhir Hasil
Pemeriksaan (LAHP) alih status pegawai KPK. Penyampaian hasil temuan,
pendapat, dan tindakan korektif kepada publik merupakan bagian dari
akuntabilitas Ombudsman RI agar publik dapat mengawasi Ombudsman RI. Keberatan
pada dasarnya merupakan hal yang telah diatur melalui Peraturan Ombudsman RI
Nomor 48 Tahun 2021. Salah satu keberatan KPK adalah mengenai kewenangan
Ombudsman. Memang terasa janggal ketika KPK baru menyampaikan keberatan
tentang kewenangan Ombudsman setelah pemeriksaan selesai. Sejak awal KPK
mengikuti semua proses, bahkan menandatangani semua berita acara pemeriksaan.
Wajar jika akal sehat publik terganggu. Polemik
mengenai kewenangan Ombudsman dalam mengawasi proses alih status pegawai KPK
terkait tiga hal. Pertama, Ombudsman dinyatakan telah mencampuri kebebasan
hakim dalam memutus karena pokok perkara yang sama sedang menjadi obyek
gugatan ke PTUN. Kedua, alih status pegawai KPK dipandang beberapa pihak
bukan merupakan domain pelayanan publik. Kedua, Ombudsman telah mencampuri
kewenangan pengadilan karena melakukan uji materi terhadap peraturan KPK No
1/2020 yang merupakan kewenangan absolut Mahkamah Agung. Ombudsman mencampuri PTUN? Ombudsman
telah mengatur prosedur penyelesaian laporan melalui Peraturan Ombudsman No
48/2021. Semua laporan selalu diverifikasi apakah telah dan sedang menjadi
obyek gugatan di pengadilan. Ini untuk memastikan ketentuan pada Pasal 8 Ayat
(1) Huruf g Undang-Undang Ombudsman RI yang mengatur bahwa dalam melaksanakan
kewenangannya, Ombudsman dilarang mencampuri kebebasan hakim dalam memberikan
putusan. Sebetulnya
sebelum menindaklanjuti laporan, Ombudsman telah melakukan verifikasi
langsung apakah dan tidak ditemukan ada gugatan ke PTUN. Pendapat pertama
yang disampaikan melalui media online oleh dua guru besar ternyata hoaks
belaka. Mungkin pernyataan dua guru besar didasarkan atas feeder informasi yang keliru. Bukan pelayanan publik? Undang-Undang
No 25/2009 tentang Pelayanan Publik telah mengatur tentang lingkup pelayanan
publik. Di ketentuan umum telah diatur bahwa pelayanan publik mencakup
barang, jasa, dan pelayanan administratif. Pada Pasal 5 Ayat (2)
undang-undang ini diatur bahwa pekerjaan merupakan bagian dari pelayanan
publik. Ini yang menyebabkan Ombudsman memandang bahwa proses alih status
pegawai KPK merupakan bagian dari pelayanan administratif. Pasal
5 Ayat (7) UU Pelayanan Publik bahkan mengatur bahwa pelayanan administratif
juga menyangkut tindakan administratif pemerintah yang diwajibkan oleh negara
dan diatur dalam peraturan perundang-undangan dalam rangka mewujudkan
perlindungan pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda warga
negara. Ombudsman berpandangan bahwa tes wawasan kebangsaan (TWK) dalam alih
status pegawai KPK merupakan lingkup pelayanan administratif yang terkait
dengan perlindungan kehormatan dan martabat pelapor. Ombudsman
adalah lembaga negara yang telah memiliki pengalaman panjang dalam mengawasi
pelayanan kepegawaian mulai dari rekrutmen CPNS hingga menangani proses
mutasi yang meniadakan hak-hak prosedural pegawai manakala rekomendasi Komisi
Aparatur Sipil Negara (KASN) atau putusan PTUN tak dilaksanakan. Tak jarang
pula rekomendasi KASN atau putusan PTUN yang tak dijalankan oleh terlapor
akhirnya dilaksanakan eksekusinya setelah dilaporkan ke Ombudsman. Ombudsman melakukan uji materi? Ombudsman
memang melakukan penelusuran apakah malaadministrasi dalam prosedur
pembentukan suatu peraturan perundang-undangan berpotensi menyebabkan
terjadinya malaadministrasi dalam pelaksanaan pelayanan publik. Ini penting
untuk mengetahui konteks. Ketentuan ini diatur pada Pasal 8 Ayat (2)
Undang-Undang Ombudsman RI. Hal ini berbeda sama sekali dengan uji materi
yang menghasilkan putusan membatalkan atau memperkuat suatu peraturan
perundang-undangan. Rangkaian
penelusuran prosedur pembentukan peraturan oleh Ombudsman RI akan
menghasilkan saran untuk perbaikan suatu peraturan perundang-undangan oleh
penyelenggara pelayanan publik. Baik untuk penyempurnaan organisasi maupun
prosedur agar tak terjadi malaadministrasi dalam pelaksanaan peraturan
tersebut. Jadi, bukan menyangkut keabsahan suatu norma dalam peraturan
perundang-undangan. Suatu
peraturan yang sah tetap dapat menjadi penyebab malaadministrasi dalam
pelaksanaannya. Sebagai contoh adalah Peraturan Menteri PAN-RB No 61/2018
yang mengatur tentang rekrutmen CPNS pada 2018. Semula rekrutmen tak
menerapkan masa sanggah sehingga berpotensi merugikan peserta karena tak ada
kesempatan untuk menyampaikan sanggahan atas hasil yang mereka terima. Atas
saran Ombudsman dilakukan perbaikan dengan menerapkan masa sanggah yang
diterapkan hingga 2021. Dalam
peristiwa alih status pegawai KPK, Ombudsman menemukan beberapa
malaadministrasi dalam pembentukan peraturan KPK No 1/2021 yang menyebabkan
terjadinya pelaksanaan TWK yang merugikan pegawai KPK yang sedang menjalani
proses alih status. Salah satunya adalah penyisipan ketentuan TWK dalam
rancangan peraturan KPK tersebut yang dilakukan pada akhir masa pembentukan
rancangan peraturan dan tak diumumkan melalui situs internal KPK sesuai SOP. Dalam
penyisipan tersebut peraturan KPK yang dibentuk tidak mengatur konsekuensi
dari TWK. Ombudsman juga menemukan ketidaksiapan BKN dalam menjalankan asesmen
sehingga TWK terpaksa dilaksanakan dengan memanfaatkan instrumen yang tidak
digunakan untuk asesmen aparatur sipil. Alhasil, alih status dinilai tak
sesuai dengan arahan Presiden sebagai atasan tertinggi dalam administrasi
pemerintahan. Oleh
karena itu, Ombudsman meminta dilakukan tindakan korektif yang pada intinya
menyangkut dua hal. Pertama, menyarankan perbaikan pengaturan tentang
konsekuensi dari pelaksanaan TWK agar masalah serupa tidak berulang. Kedua,
merehabilitasi hak-hak pegawai yang telah mengalami kerugian akibat rangkaian
malaadministrasi dalam pelaksanaan peraturan tersebut. Sebagaimana
biasa, Ombudsman akan membahas secara saksama bersama pelapor atau terlapor
yang menyampaikan keberatan, mengoreksi hal-hal yang relevan, dan membahas
cara-cara menjalankan tindakan korektif. Terkait alih status pegawai KPK,
tahapan ini penting agar arahan Presiden Jokowi selaku pimpinan administratif
tertinggi dapat dijalankan. Presiden
telah menyampaikan bahwa hasil tes wawasan kebangsaan terhadap pegawai KPK
hendaknya menjadi masukan untuk langkah-langkah perbaikan KPK, baik terhadap
individu-individu maupun institusi KPK dan tidak serta-merta dijadikan dasar
untuk memberhentikan 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos tes. ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/21/mempertanyakan-kewenangan-ombudsman/ |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar